Korupsi Era SBY Lebih Parah dari Masa Soeharto

Selasa, 11 Oktober 2011 – 20:07 WIB
JAKARTA - Praktisi hukum Johnson Panjaitan mengatakan korupsi yang berlangsung di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini jauh lebih dahsyat dibanding era Presiden Soeharto berkuasa"Kalau di era Pak Harto korupsi terjadi di bawah meja, sekarang malah sampai meja-mejanya dikorup," kata Johnson, dalam diskusi bertema 'Politik Anggaran sama dengan Politik Bagi-bagi Kekuasaan dan Kooptasi', di Rumah Perubahan 2.0, Jakarta, Selasa (11/10).

Bersama Johnson Panjaitan, ikut ambil bagian aktivis anti korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, dan Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Menurut Johnson, salah satu sumber korupsi adalah Badan Anggaran (Banggar) DPR

BACA JUGA: DPR Desak Freeport Penuhi Hak Karyawan

Demikian bobroknya Banggar, hingga sepertinya tidak mungkin lagi diperbaiki
"Perbaikan tidak bisa kita lakukan baik pada sistem maupun personel yang ada di Banggar

BACA JUGA: Karyawan Ingin Freeport Terbuka

Jadi sebaiknya Banggar dibubarkan saja,” ujar Johnson.

Pendapat senada juga datang dari Abdullah Dahlan
Menurut dia, kewenangan Banggar yang terlalu besar sebagai alat kelengkapan DPR terbukti menjadi sumber korupsi

BACA JUGA: KY Mengaku Terima Bocoran Vonis Mochtar Mohammad

Sejumlah kasus korupsi yang terungkap belakangan ini berawal dari kesepakatan antara Banggar, Kementerian, dan pengusaha terkait proyek di pemerintahan.

“Pola-pola pembajakan APBN sudah didesain sejak awal, yaitu sejak masih di kementerianIni terjadi karena kementerian dipimpin kader-kader ParpolPadahal kita tahu, problem terbesar Parpol adalah tidak mandiri dalam hal pendanaanItulah sebabnya Parpol menempatkan orang-orangnya di kementerian dan di Banggar sebagai para pemburu renteKasus Wisma Atlet menjadi contoh dan bukti nyata adanya pola-pola pembajakan APBN,” papar Dahlan.

Di tempat yang sama, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Sebastian Salang menuding APBN yang disusun pemerintah dan DPR disusun untuk kepentingan elit.

“Kalau kita perhatikan komposisinya, APBN memang disusun untuk para elit di pemerintahan dan DPRPos-posnya jelas, sebagian besar untuk biaya birokrasiSedangkan proyek-proyeknya, bukan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyatSebab, jika untuk penguatan dan peningkatan kesejahteraan petani atau nelayan, misalnya, tidak ada cash back untuk bupati, walikota, kepala dinas dan DPR atau DPRDPeran negara untuk mensejahterakan rakyat tidak adaRakyat harus berjuang mati-matian sendiri,” ungkap Sebastian.

Dikatakannya, praktek para koruptor itu pada umumnya melakukan mark up pada sisi pengeluaranTapi saat ini ada lagi cara baru yakni praktek mark down pada sisi penerimaan.

"Contohnya pada sisi penerimaan cukai rokok dan produk tembakauNilainya dari tahun ke tahun memang terus meningkatNamun dengan penerimaan yang kini sekitar Rp60 triliun, mestinya bisa jauh ditingkatkan lagi, terutama jika dikaitkan dengan volume produksi rokok yang mencapai ratusam miliar batang tiap tahun," ujar Sebastian.

Koordinator Rumah Perubahan 2.0 Abdulrachim mengatakan, sebetulnya pelaku praktik mark down dari sisi penerimaan sudah ada yang tertangkap, yaitu Gayus TambunanNamun para penegak hukum tampaknya lebih suka mengadili Gayus untuk kasus sebuah perusahaan yang cuma beberapa ratus juta rupiah dan pemalsuan paspor.

“Kalau begini cara penanganan hukum bagi koruptor, maka ke depan korupsi pasti akan semakin membesarPertanyaannya, seriuskah SBY dalam memberantas korupsi seperti berkali-kali dikatakannya? Pertanyaan berikutnya, apakah dia masih layak dipertahankan sampai 2014," tanya Abdulrachim(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Jangan Main-main Soal Tapal Batas!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler