Korupsi Hambat Pembangunan Otda

Rabu, 26 November 2008 – 14:48 WIB

JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida menegaskan, tujuan otonomi daerah tersendat karena pencegahan dan pemberantasan korupsi di daerah mandulPadahal, otonomi daerah bertujuan mendekatkan pengambilan kebijakan dengan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan partisipasi mereka.

Makanya, cita-cita mewujudkan masyarakat sejahtera melalui praktik good and clean governance yang dilaksanakan pemerintah daerah menjadi sulit

BACA JUGA: Sakit, Bupati Lombar Dibantarkan

Partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan yang bertujuan menciptakan pemerintahan transparan dan akuntabel sesuai kebutuhan masing-masing daerah selama ini hanya sekadar simbolik
“Tidak utuh,” tegas Laode.

Fenomena ini, lanjut Laode,  sungguh memprihatinkan karena penentuan alokasi anggaran belanja lebih banyak ditentukan secara kompromistik antara eksekutif dan legislatif di daerah

BACA JUGA: Ngotot Tidak Salah Gunakan Wewenang

"Rakyat tidak mengetahui persis, mereka diikutkan hanya simbolik
Kasus seperti ini masih terjadi.”

Keadaan diperparah karena arahan vertikal dari instansi di pusat ke instansi daerah untuk
pelaksanaan program justru menciptakan kolaborasi konspiratif dengan pihak-pihak terkait di daerah

BACA JUGA: Bulyan Bilang Proyek itu Putusan Panitia

“Daerah menperoleh uang dengan uang, membeli uang untuk mendapatkan uang,” ujar Laode dalam diskusi publik “Desentralisasi Korupsi: Carut Marut Otonomi Daerah” kerjasama DPD dengan Pusat Kajian Anti-Korupsi (PuKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (26/11).

Ia menjelaskan, kebiasaan kepala daerah yang banyak membawa uang ke Jakarta untuk

menyelesaikan urusan daerah tidak sekadar mencukupi kebutuhan perjalanan mereka tetapi sebagian disetorkan kepada pejabat departemen/kementerian tertentuWalhasil, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan dasar melalui pembangunan sarana atau prasarana sesuai kebutuhan mereka menjadi terabaikan“Malah semakin buruk,” tukasnya.

Kecenderungannya, daerah-daerah menjadi tak terkendaliKebebasan pemerintah daerah untuk menentukan alokasi anggaran belanja mereka kian tak terbatas sementara panduan dan supervisi pemerintah pusat masih lemah“Pejabat pusat cenderung memanfaatkan kebebasan pejabat daerah dengan prinsip saling menguntungkan“

Sangat disayangkan, civil society yang diharapkan berperan mencegah dan memberantas korupsi di daerah turut pula termandulkan karena terpengaruh tawaran materi para pejabat daerah yang korup“Sebagian aktivis antikorupsi di daerah masih istiqomah, tetapi sebagian yang lain sudah terbeli,” sambung Laode.

Terjadilah pelanggaran prinsip-prinsip administrasi pengelolaan anggaran belanja daerah yang semakin memburuk seperti dihasilkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan opini disclaimer Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menaik dari tahun ke tahun.

“Korupsi di daerah kian merajalela sajaUnsur-unsur Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) lebih memilih berkompromi,” katanya

Ke depan kita berharap pemerintah pusat harus memberikan panduan dan supervisi beserta reward and punishment-nya kepada pemerintah daerah yang melaksanakan reformasi birokrasi atau yang tidak melaksanakannya sebagai perwujudan praktik good and clean governanceMasyarakat harus berperan dalam setiap tahapan proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan kebijakan di daerah, dan membekali civil society dengan kemampuan analisis, advokasi, publikasi, dan pemantauan anggaran belanja daerah.

Sementara itu, Wakil Dekan FH UGM Hari Purwanto menegaskan, korupsi bukan budaya orang Indonesia yang berarti masih bisa dicegah dan diberantas bersama-sama“Korupsi hanya penyakit akut yang harus segera ditangani dan diobati.” Oleh karenanya, apakah korupsi disebabkan otonomi daerah yang carut-marut menyebabkan korupsi harus terus menerus didalami.

Laporan Korupsi yang dirilis PuKat FH UGM menyebutkan, sejak otonomi daerah digulirkan korupsi di daerah tumbuh subur bak cendawan di musim hujanMeskipun penegakan hukum diupayakan, korupsi masih saja marak.

Seiring waktu, kasus demi kasus mulai terungkapTerbukti, periode tahun 2003-2007, korupsi di daerah menempatik urutan teratas perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan total 73%Trend Corruption Report PuKAT FH UGM juga menyebutkan 38% dari 40 kasus di Indonesia terjadi di provinsi dan kabupaten/kota.

PuKAT FH UGM mencatat, korupsi di daerah didominasi pejabat pemerintah daerahTak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya, pelaku korupsi berkisar antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kepala daerah bersangkutanModusnya yang paling sering adalah penyalahgunaan anggaran belanja daerah, diikuti suap-menyuap antara aparat pejabat daerah dengan swasta atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)(Fas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Waspadai Preman Modus Baru


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler