jpnn.com, JAKARTA - Mantan Komisioner KPKPN sekaligus Advokat Peradi Petrus Selestinus menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap bertindak arogan dan mengintimidasi saksi-saksi.
Padahal, kata dia, undang-undang mewajibkan KPK memberikan perlindungan kepada saksi yang hendak memberikan keterangan. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar saksi dalam keadaan bebas dari rasa takut, bebas dari tekanan dan intimidasi.
BACA JUGA: KPK Bakal Umumkan Tersangka Baru Kasus Korupsi di Kemenag dan MA
“Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti sangat vital dalam pemberantasan korupsi. Karena itu posisi saksi menjadi sangat penting,” kata Petrus Selestinus dalam diskusi Bertajuk “KPK di Persimpangan Jalan, Antara Politis dan Hukum” yang diselenggarakan Lembaga Advokasi untuk Demokrasi dan Pembangunan (LANDEP) di Jakarta, Senin (16/12).
Selain Petrus, turut hadir sebagai pembicara yakni Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis dan Pengamat Politik Ray Rangkuti.
BACA JUGA: Petrus Selestinus: Ini Jadi Momentum Bagi Firli Bahuri Cs Membuat KPK Tampil Makin Digdaya
Lebih lanjut, Petrus mengatakan dalam praktik peradilan, kewajiban perlindungan terhadap saksi diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahkan seorang saksi dalam keadaan tertentu tidak wajib memenuhi panggilan.
“Baik karena alasan kesehatan atau menjalankan tugas negara atau karena menjalankan ibadah agama, maka kewajiban untuk menjadi saksi ditunda,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini.
BACA JUGA: Jawaban Tegas Petrus Selestinus Terkait Polemik Ketentuan Peralihan UU KPK Hasil Revisi
Salah satu saksi yang dirugikan KPK, menurut Petrus ialah politikus Golkar,
Melchias M. Mekeng. Diketahui, Mekeng tak hadir pada 22 November 2019 lalu saat diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi untuk kasus suap dan gratifikasi yang diterima eks Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Eni Maulani Saragih.
Mekeng diketahui, sudah dipanggil oleh KPK sebanyak tiga kali untuk menjadi saksi. Namun ketika itu, Mekeng memberikan surat penundaan kehadiran lantaran tengah mengurus kerja di DPR.
Kemudian, Mekeng kembali dipanggil KPK pada panggilan keempat pada 8 Oktober 2018. Namun, dirinya tak hadir dalam pemeriksaan dan mengaku sakit. Meski begitu, Mekeng tak memberikan surat sakit untuk menginformasikan ke KPK
Petrus mengatakan, pemanggilan Mekeng terus-menerus bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 UU KPK juncto pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yaitu melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
"Meskipun KPK tahu bahwa Melchias M. Mekeng sedang melaksanakan Tugas Negara di luar negeri, tetapi terus menerus memanggil untuk menciptakan posisi offside demi memudahkan untuk dikriminalisasi dengan tindak pidana baru yaitu menghalangi penyidikan," katanya.
Dia menegakan konsekuensi yuridis dari "tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" adalah KPK tidak boleh mempublish pernyataan-pernyataan dengan narasi yang tidak etis, arogan apalagi mengancam akan melakukan pencarian keberadaan saksi yang sedang menjalankan tugas negara di luar negeri, atau sakit atau menjalankan ibadah agama.
“KPK seharusnya bersikap menunda pemanggilan terhadap Saksi yang sedang berhalangan karena sedang menjalankan tugas negara, atau karena sakit atau karena sedang menjalankan ibadah agama, sebagai wujud dari sikap "melindungi" atau oleh KUHAP disebut "tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab", yaitu tindakan yang tidak melanggar hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut, masuk akal dan layak serta menghormati HAM," pungkasnya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich