jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mendalami korporasi yang melakukan dugaan tindak pidana rasuah kasus dugaan suap di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan.
KPK pun memeriksa mantan Kepala Balai BTP Jawa Tengah Bram Hertasning dan Direktur Utama PT Bilindo Andase periode 2022 Syarifuddin.
BACA JUGA: Hari Anti-Korupsi Sedunia 2024: BRI Life & KPK Perkuat Komitmen Berantas Korupsi
Bram diperiksa terkait pengadaan paket pekerjaan enam Perbaikan Perlintasan Sebidang Wilayah Jawa dan Sumatera pada 2022.
"Saksi satu (Bram) didalami terkait dengan pemberian fee kepada Kepala BTP Semarang," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika dalam keterangannya, Senin (2/12).
BACA JUGA: Fokus Berkelanjutan, LPKR Libatkan Lini Bisnis Kelola Sampah dan Limbah
Selain itu, KPK juga memeriksa Syarifuddin untuk didalami terkait pekerjaan di Kemenhub.
"Didalami terkait pekerjaan subkon ke PT KAPM," kata Tessa.
BACA JUGA: Ada Sayembara Berhadiah Rp 8 M Bagi yang Bisa Tangkap Harun Masiku, KPK Angkat Bicara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga ketua kelompok kerja (pokja) proyek di Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (DJKA Kemenhub) ke sel tahanan, Kamis (28/11).
Ketiga ketua pokja, yakni Hardho, Edi Purnomo, dan Budi Prasetiyo ditahan setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek DJKA Kemenhub.
Penetapan tersangka dan penahanan terhadap ketiga ketua pokja tersebut merupakan pengembangan dari penyidikan kasus suap yang dilakukan Direktur PT Istana Putra Agung, Dion Renato Sugiarto kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) BTP Semarang, Bernard Hasibuan dan Kepala BTP Semarang, Putu Sumarjaya. Sebenarnya, KPK menetapkan satu orang lagi sebagai tersangka, yakni PPK Dheky Martin. Namun, Dheky tidak turut ditahan lantaran tidak memenuhi panggilan pemeriksaan tim penyidik.
Asep Guntur memaparkan, Hardho yang merupakan ketua pokja proyek paket peningkatan jalur kereta api Lampegan-Cianjur tahun anggaran 2022-2023 diduga menerima kertas berupa catatan pengaturan pemenang proyek tersebut dari PPK bernama Syntho Pirjani Hutabarat yang telah divonis dalam kasus ini.
Dalam catatan itu disebutkan sejumlah pihak yang diatur memenangkan proyek tersebut, yakni paket I oleh Dion dengan bendera PT Rinenggo Ria Raya, paket 2 Muchammad Hikmat dengan bendera PT Tirtamas mandiri, paket 3 seorang anggota Komisi V DPR dari Dapil Jabar dengan perusahaan PT Nazma Tata Laksana, paket 4 Fahmi atau Wahyu Purwanto dengan perusahaan PT Putra Kharisma.
Dengan pengaturan itu, Hordha menerima fee sebesar Rp 321 juta dari Dion Renato. Selain itu, Hardho juga diduga menerima fee senilai total Rp 670 juta terkait sejumlah proyek di DJKA Kemenhub.
Sementara Edi Purnomo diduga menerima suap sebesar Rp 140 juta untuk memenangkan PT KA Properti Manajemen yang merupakan anak usaha PT KAI untuk menggarap proyek perbaikan perlintasan sebidang wilayah Jawa dan Sumatera tahun 2022.
Selain itu, Edi juga menerima fee sekitar Rp 285 juta atas sejumlah proyek lainnya di DJKA Kemenhub.
Tak hanya itu, Hardho dan Edi bersama-sama dengan Budi Prasetyo dan Dheky Martin serta sejumlah anggota pokja lainnya menerima total Rp 800 juta dari Dion. Suap itu terkait proyek jalur ganda KA elevated Solo Balapan-Kadipiro.
Atas perbuatannya, keempat tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Usut Kasus Investasi Fiktif, KPK panggil Dirut Taspen Antonius Kosasih
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga