jpnn.com - SAMARINDA - Tudingan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bahwa ada potensi mafia tambang batu-bara dan migas bermain di provinsi ini, ditanggapi santai Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim, Amrullah. Dia menyebut, saat ini pejabat tak berani “bermain” karena KPK punya banyak modus operasi untuk menelusuri.
Trik-trik itu dibalut dengan koordinasi dan supervisi (korsup) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiap tiga bulan. Saat itu, setiap pemerintah kota/kabupaten diwajibkan melaporkan seluruh kegiatan pertambangan batu bara di daerahnya.
BACA JUGA: Supir Truk Tewas Tertimpa Kontainer yang Dibawanya
“Silakan saja kalau ada yang berani,” tutur Amrullah, kemarin. “Mereka (KPK) tidak sebatas menerima laporan saja. Sampai turun mengecek kebenaran di lapangan. Itu dilakukan tanpa sepengetahuan Distamben atau pemerintah daerah. Mereka memonitor terus. Pura-pura menjadi pengusaha untuk mengurus izin,” paparnya seperti dilansir Kaltimpost.
Dengan “operasi senyap” KPK ini, dia meyakini tak ada lagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang berani tak melaksanakan kewajibannya dari membayar jaminan reklamasi (jamrek), royalti, ataupun tak mengantongi nilai pokok wajib pajak (NPWP) sebelum mengeksploitasi batu bara. Pun begitu, pemerintah selaku penerbit IUP dinilainya tak berani bermain mata dengan pengeruk emas hitam.
BACA JUGA: Fisik Terminal Teluk Lamong Sudah Selesai
Diakuinya, langkah korsup KPK masih sebatas pencegahan. Tentu, akan merambah ke tahap penindakan jika ada perusahaan bandel yang tak menggubris hal itu. “Selesai pencegahan, ya penindakan,” sebut dia.
Selain itu, pemegang IUP yang tak clean and clear (CnC) tak diperkenankan mengirimkan hasil batu baranya. Royalti pun harus dilunasi terlebih dulu sebelum melakukan pengiriman. “Jadi tak bisa lagi membayar di belakang,” ucap pria berkacamata itu.
BACA JUGA: DOB Caringin Terganjal Persyaratan yang Belum Lengkap
Sedari di dermaga, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) akan mencegah hal itu dengan pemeriksaan dokumen. “Tentu mereka (KSOP) tahu risikonya kalau berani meloloskan,” ujarnya. Dalam waktu dekat bahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan seluruh KSOP di kabupaten/kota untuk membahas hal itu.
Dia mengklaim, upaya pengawasan telah dijalankan lebih baik. Tak hanya lembaga antirasuah saja, Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turut memelototi kegiatan pertambangan di provinsi ini.
Sementara, Pengamat Ekonomi dan Keuangan Daerah dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Aji Sofyan Effendi mengatakan, celah untuk melakukan permainan selalu terbuka lebar. Ada tiga hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yakni transparansi dan akuntabilitas pemerintah maupun keuangan daerah, adanya oknum pengusaha nakal, dan lemahnya pengawasan pemerintah. Jadi tak hanya Kaltim, daerah lain pun juga demikian. “Sebut saja Papua yang kaya akan sumber daya alam (SDA) atau Sumatra,” ucapnya.
Tidak menutup kemungkinan, lanjut dia, daerah kaya SDA di Tanah Air memiliki celah untuk melakukan hal tersebut. Nah, karenanya akuntabilitas dan transparansi pemerintah maupun keuangan daerah harus jelas di mata publik. “Sehingga pengawasan boleh dilakukan,” ujarnya.
Menurut Sofyan, di Benua Etam itu sudah terjadi. Seolah pemerintah daerah menutup mata sebelah kiri lantas membiarkan mata kanan terbuka lebar. “Artinya mereka (pemerintah) sudah tahu, tapi membiarkan terjadi,” katanya.
Dia mengatakan, modus yang dilakukan seperti penunggakan royalti, tak memiliki NPWP, kecenderungan pemerintah “bermain mata” dengan pengusaha, dan tak menunaikan pembayaran reklamasi. Itu semua sebenarnya sudah terjadi. “Namun tak ada ketegasan hukum,” katanya.
Aji Sofyan menyebut, law enforcement di Kaltim masih lemah. Tak usah jauh memandang, kasus anak tenggelam di kolam tambang di Samarinda saja hingga sekarang belum ada kejelasan.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, sejak 2011 hingga sekarang, sudah delapan anak jadi korban dari kegiatan keruk-mengeruk hasil bumi itu. Teranyar, kasus tenggelamnya Nadia Tazkia Putri (10) April lalu di Palaran, Samarinda.
“Belum ada kan, pengusaha tambang yang dijerat dengan hukuman berat,” katanya lagi.
“Atau pengusaha tambang yang tak membayar royalti di penjara. Padahal itu merugikan negara,” sambungnya.
Dia menyatakan, pemerintah bukannya tak menyadari hal tersebut. Memang diberikan peringatan, namun peringatan tersebut hanya berupa teguran melalui media. Kalaupun ada surat tertulis ke perusahaan bersangkutan, tindak lanjutan sudah bisa dipastikan. “Otomatis kerugian negara terjadi secara masif,” tuturnya.
Dia menambahkan, lemahnya pengawasan pemerintah menjadi tolak ukur untuk melihat penyelewengan kekuasaan. Akhirnya budaya cuek dengan keadaan yang merugikan masyarakat dan negara mengakar kuat. “Bisa saja pura-pura tidak tahu atau tahu tapi tutup mata dan telinga,” tegasnya.
Terpisah, Dekan Fakultas Hukum Unmul Ivan Zairani Lisi mengatakan, potensi untuk memberantas mafia tambang di daerah bisa dilakukan. Sebenarnya, secara kasatmata memang ada beberapa indikasi di Kaltim boleh terlihat. “Namun itu hanya indikasi,” katanya.
Dia menyatakan, kebanyakan penguasa tambang di Kaltim berasal dari luar Benua Etam. “Entah siapa di belakangnya,” tuturnya.
Nah, kata dia, berkaitan dengan hal itu kemungkinan pemerintah daerah memberikan “fasilitas” tertentu untuk memberikan kemudahan. “Misalnya menunda jamrek,” sebutnya.
Walau demikian, lanjutnya, semua itu hanya potensi. Belum ada benang merahnya. Tak menutup kemungkinan bola panas dari kasus Jero Wacik menggelindir ke Kaltim. “Tapi permainan di Kaltim itu rapi,” pungkasnya.
Diwartakan, Dinamisator Jatam Kaltim Merah Johansyah menyebut, ada sejumlah potensi mafia tambang bermain. Di antaranya, pembayaran dana jamrek pascatambang dan pengelolaannya. Dia mencontohkan yang terjadi di Kukar. “Dana yang disetor ke bank daerah, angkanya berbeda dengan neraca keuangan Distamben (Dinas Pertambangan dan Energi Kukar),” ujar dia.
Selisih angka itu tambahnya, berpeluang dimanfaatkan mafia. “Itu jelas menjadi temuan BPK, 2012 lalu. Jangan-jangan di dalamnya ada mafia. Berupaya memainkan bunga,” tegasnya.
Belum lagi persoalan pajak. Dalam koordinasi dan supervisi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di provinsi ini, ditemukan 139 perusahaan yang tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). “Pengemplang pajak seperti ini berarti mafia. Jumlahnya yang banyak, sama saja kejahatan tersistematis,” ucapnya.
Diketahui, puluhan pemegang IUP di Benua Etam menunggak pembayaran royalti hingga Rp 3,3 triliun. Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dari 1.443 IUP di Kaltim, sebanyak 128 izin belum menempatkan jamrek. Dan sebanyak 11 IUP belum mereklamasi pascatambang.
Padahal indikasinya telah jelas bahwa ada masalah pertambangan di Kaltim. Selain itu, banyaknya pembayaran royalti yang menunggak. “Apakah ada pembiaran sehingga diberi toleransi untuk itu?” tanyanya. (ril*/ypl/che/k9)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Daerah Perbatasan Rawan Penyelundupan TKI Ilegal
Redaktur : Tim Redaksi