KPK Pelototi Penyelenggaraan Pemilu di NTB

Minggu, 25 Oktober 2020 – 20:52 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu daerah yang diawasi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.

Sebab, daerah itu dinyatakan sebagai salah satu provinsi dari 26 daerah yang pernah terjadi tindak pidana korupsi. 

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Gus Nur Ditangkap, Kapolda Marah Besar, Honorer K2 Galau dan Menangis

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, dari data lembaganya dalam kurun waktu 2004-2020, terdapat 12 kasus korupsi di NTB. Kasus itu ada yang sedang diusut, atau sudah diproses hukum.

“Ini memprihatinkan bagi kita,” kata eks Kepala Baharkam Polri itu pada Minggu (26/10).

BACA JUGA: Lomba Kampung Sehat di NTB Ikut Mencegah Penularan Covid-19

Selain NTB, yang memiliki catatan 12 kasus ialah Jambi dan Sulawesi Utara. Ada juga DKI Jakarta 61 kasus dan Bali 5 kasus. Di samping itu, Firli mengakui sebaran kasus korupsi hampir terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. 

"Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah pernah terlibat korupsi,” kata Firli. 

BACA JUGA: Tragedi Banyak Petugas yang Meninggal di Pemilu 2019, Jangan Terulang di Pilkada 2020!

Firli mengharapkan, sebanyak delapan dari 34 provinsi yang belum ditemukan tindak pidana korupsi oleh KPK untuk terus berbenah diri dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Begitu juga daerah-daerah yang pernah diusut KPK.

Firli menambahkan, sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala daerah tersebut paling banyak adalah kasus suap, sebanyak 704 kasus.

"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," kata Firli.

Dalam kesempatan sama, Firli juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasar hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada 2015, 2017, dan 2018, ditemukan potensi adanya kaitan kepentingan dengan profil penyumbang atau donatur. 

Menurut Firli, sumbangan donatur atau dari hasil survei KPK menemukan, sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. 

Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp 18,03 miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp 15,17 juta.

Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat kabupaten atau kota harus memegang uang antara Rp 5-10 miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp 65 miliar. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi Pilkada NTB. Terlebih di Pilkada Sumbawa, salah satu paslon terdapat adik Gubernur NTB Zulkieflimansyah. 

"Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana," katanya.

Uchok mengatakan, juga mengajak semua pihak memantau penyelenggaraan Pilkada tersebut. Jangan sampai ada kecurangan atau permainan gubernur yang dapat menguntung salah satu paslon. "Itu sangat dilarang jika sampai terjadi," tutur Uchok. (tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler