jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periksa tiga orang saksi untuk tersangka suap pengurusan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) sawit PT Adimulia Agrolestari (AA), mantan Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan Rabu (7/12) pihaknya memeriksa tiga orang saksi dari pihak swasta.
BACA JUGA: Dalami Kasus Mafia Tanah, KPK Periksa 3 Perusahaan soal Suap kepada Kepala BPN Riau
“Kami lakukan pemeriksaan saksi TPK Pengurusan perpanjangan Hak Guna Usaha PT AA tahun 2021, untuk tersangka MS,” kata Ali kepada JPNN.com.
Pemeriksaan itu dilakukan di Kantor KPK di Jalan Kuningan Persada Kav.4, Setiabudi, Jakarta.
BACA JUGA: KPK Tangkap Kepala Daerah di Jatim Ini dengan Sejumlah Pihak, Sekarang Digiring ke Jakarta
“Tiga orang dari pihak swasta yang kami periksa adalah Adji Abimanyu, Firdaus Fibry, Muhammad Haris Kampay,” bebernya.
Tim penyidik KPK sudah menahan tersangka MS selama 20 hari terhitung 1 Desember 2022 sampai dengan 20 Desember 2022 di Rutan KPK pada Kavling C1 gedung ACLC.
BACA JUGA: Usut Kasus Korupsi Alokasi Bantuan Keuangan, KPK Periksa Wabup Pamekasan
Sebelumnya KPK telah mengumumkan beberapa orang sebagai tersangka dalam kasus yang juga menjerat mantan Bupati Kuansing, Andi Putra ini.
Nama-nama tersangka itu adalah M Syahrir yang merupakan Kepala Kanwil BPN Riau, Frank Wijaya selaku Pemegang Saham PT AA dan juga Sudarso, General Manager PT AA.
Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT AA berperan memerintahkan dan menugaskan Sudarso untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU PT AA yang segera akan berakhir masa berlakunya ditahun 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
Selanjutnya Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M Syahrir yang menjabat selaku Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA.
Sekitar Agustus 2021, Sudarso menyiapkan menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
Sudarso menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M Syahrir sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura, dengan pembagian 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka.
M Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA. Dari pertemuan tersebut, Sudarso lalu melaporkan permintaan M Syahrir itu kepada bosnya Frank Wijaya.
Sudarso lantas mengajukan permintaan uang sebesar 120 ribu dollar Singapura atau setara dengan Rp 1,2 Miliar ke kas PT AA dan disetujui oleh Frank Wijaya.
"Sekitar September 2021, atas permintaan MS menyerahkan uang dari tersangka SDR. Hal itu dilakukan di rumah dinas MS. Dengan syarat agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun," jelas Ali Fikri.
Setelah menerima uang tersebut, M Syahrir kemudian memimpin ekspos permohonan perpanjangan HGU PT AA dan menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuansing yang menyatakan tidak keberatan dengan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar dan rekomendasi ini dapat dipenuhi Frank Wijaya.
Terkait penerimaan uang, diduga M Syahrir memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan diantaranya para pegawai Kanwil PBN Riau dan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Kampar.
Dalam kurun waktu September 2021 sampai dengan 27 Oktober 2021, M Syahrir menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadinya maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut sejumlah sekitar Rp791 juta yang berasal dari Frank Wijaya.
"Selain itu pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," urai Ali Fikri.
Atas perbuatan itu, tersangka M Syahrir sebagai penerima suap atau gratifikasi melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (mcr36/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Rizki Ganda Marito