KPK Pernah Berikan Rekomendasi Agar BPJS Tak Defisit, Tetapi Diabaikan

Kamis, 14 Mei 2020 – 17:12 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah memberikan rekomendasi dari hasil kajian agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit. Namun, rekomendasi tanpa menaikkan iuran BPJS itu tidak pernah digubris hingga saat ini.

Surat rekomendasi itu diserahkan KPK secara resmi ke Presiden Jokowi pada 30 Maret 2020 atau sebelum adanya keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

BACA JUGA: KPK Beri Peringatan 3 Daerah di Jabar soal Pendataan Bansos

"KPK sudah kirim surat rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, tanpa menaikkan iuran. Tetapi enggak ditanggapi itu surat," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat dikonfirmasi, Kamis (14/5).

Berikut rekomendasi KPK kepada pemerintah agar BPJS Kesehatan tidak defisit tanpa meningkatkan iuran:

BACA JUGA: Sudah Seharusnya KPK Bekerja Lebih Senyap

1. Kementerian Kesehatan segera menyelesaikan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) untuk seluruh jenis penyakit yang diperlukan. Kasus klaim operasi katarak dan rehabilitasi medik (fisioterapi) pada 2018 merupakan contoh di mana ketiadaan PNPK dapat menyuburkan unecessary treatments yang berujung pada pengeluaran yang tidak perlu. Saat ini baru 33 dari 74 PNPK (45 persen) yang telah diselesaikan dan menjadi panduan penangan penyakit sebagai dasar klaim ke BPJS kesehatan dan masih ada 60 PNPK judul baru yang diusulkan hingga 2024. Sebagai rujukan, pada praktik di negara maju dengan PNPK yang relatif jelas, praktek unnecessary treatment masih tetap terjadi pada tingkat 5-10 persen dari total klaim. Tanpa adanya PNPK yang lengkap maka dipastikan persentase akan lebih tinggi.

2. Penertiban kelas Rumah Sakit (RS) perlu disegerakan. Pada 2018, KPK, Kemenkes dan BPJS kesehatan mengunjungi enam RS, di mana empat RS mengajukan klaim ke BPJS dengan kelas RS yang tidak sesuai dengan standar Kemenkes. RS tersebut seharusnya mengajukan klaim dengan kelas yang lebih rendah. Over-payment dari klaim empat RS ini bernilai Rp 33 miliar per tahun atau Rp 8,25 miliar per RS per tahun. Kemenkes telah melakukan reviu terkait kelas RS se-lndonesia dan klaim ke BPJS. Didapati 898 RS tidak sesuai kelasnya. KPK merekomendasikan agar surat Kemenkes HK.04.01/1/2963/2019 tentang hal di atas segera ditindaklanjuti dengan penurunan kelas RS berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Dinas Kesehatan pemerintah daerah. Penertiban ini akan berdampak pada berkurangnya over-payment sekitar Rp 6 triliun setiap tahun secara signifikan karena klaim RS berdasarkan kelas.

BACA JUGA: Brigjen Panca Putra Simanjuntak 11 Bulan di KPK Pimpin 21 OTT, Balik Lagi ke Polri

3. Kebijakan mengenai urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri sebagai mana sudah diatur dalam Permenkes 51 tahun 2018 tentang Urun biaya dan selisih biaya dalam program Jaminan Kesehatan, agar segera diimplementasikan. Urun biaya merupakan upaya untuk meminta kepada peserta yang mampu kesediaan menanggung 10 persen dari biaya kesehatan. Upaya ini perlu segera dilakukan karena klaim dari peserta mandiri justru jauh lebih besar dari penerimaan iurannya. Kami juga merekomendasikan agar urun biaya dikenakan berjenjang tergantung kelas serta besaran klaim atau jenis penyakit. Per akhir 2018, total klaim dari peserta mandiri (PBPU) mencapai Rp 22 triliun. Sehingga co-payment sebesar 10 persen akan menghemat pengeluaran BPJS sebesar Rp 2,2 triliun. Urun-biaya dapat dinaikkan hingga 30 persen untuk peserta mandiri kelas I, lebih rendah untuk kelas II dan seterusnya.

4. Kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim atas penyakit katastropik agar mulai dikenalkan sebagai bagian dari upaya pencegahan. Penyakit yang muncul karena gaya hidup misalnya merokok, kurang gerak badan, makan berlemak dan manis, dan Iain-lain saat ini mendominasi total klaim. Untuk itu, manfaat yang diberikan untuk peserta dengan riwayat gaya hidup tidak sehat perlu segera dibedakan dan dibatasi.
Per akhir 2018 klaim atas penyakit katastropik mencapai Rp 28 triliun (30 persen dari total klaim) sehingga pembatasan manfaat akan mengurangi pengeluaran secara signifikan.

5. Kebijakan Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta perlu segera diakselerasi implementasinya. Saat ini sektor swasta membayar iuran BPJS Kesehatan karena regulasi mewajibkan, sementara tetap membayar premi asuransi swasta lain bagi pegawainya untuk kemudahan pelayanan ketika sakit. Kementerian Kesehatan harus memimpin dan mengakselerasi CoB agar biaya kesehatan bisa ditanggung bersama antara swasta dan pemerintah. Praktik di negara Jepang dan Korea penerapan CoB sebesar 20-30 persen. Bila diterapkan di Indonesia menunjukkan bahwa CoB dapat mengalihkan klaim ke asuransi swasta sebesar Rp 600 miliar per tahun.

6. Untuk mengatasi tunggakan iuran dari peserta mandiri dan merujuk pada kasus serupa di BPJS Tenaga Kerja beberapa waktu yang lalu, KPK merekomendasikan untuk mengaitkan kewajiban membayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik. Misalnya untuk pelayanan perpanjangan SIM, STNK, Imigrasi dan sebagainya. Sehingga peserta mandiri mendapatkan pelayanan publik secara penuh ketika kewajiban pembayaran iuran sudah dipenuhi. (tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler