jpnn.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menghormati putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menyatakan terdakwa suap dan gratifikasi mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrahman dan menantunya, Rezky Herbiyono terbukti bersalah sebagaimana dakwaan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Namun, lembaga antikorupsi itu tetap melakukan banding atas vonis yang berikan majelis hakim untuk kedua terdakwa tersebut. Pasalnya, tidak semua tuntutan Tim JPU KPK diakomodasi majelis hakim dalam putusanya.
BACA JUGA: Nurhadi dan Menantunya Divonis Lebih Ringan dari Tuntutan, Jaksa KPK BandingÂ
"Terkait putusan tersebut, JPU menyatakan banding karena memandang ada beberapa pertimbangan majelis hakim yang belum mengakomodasi apa yang dituntut oleh Tim JPU KPK," tutur Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Kamis (11/3).
Oleh karena itu, Ali menegaskan KPK segera menyusun argumentasi dalam memori banding untuk didaftarkan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
BACA JUGA: Nurhadi dan Menantunya Cuma Divonis Sebegini, Tanpa Kewajiban Bayar Uang Pengganti
"Kami akan segera menyusun argumentasi dalam memori banding terkait hal tersebut yang kemudian akan diserahkan kepada PT Jakarta melalui PN Jakarta Pusat,” ungkap Ali.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis enam tahun penjara, denda masing-masing RP 500 juta, subsider tiga bulan kurungan kepada terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono.
BACA JUGA: Dewas KPK Minta Jokowi segera Tunjuk Pengganti Artidjo
Majelis menyatakan Nurhadi dan Rezky Herbiyono terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan beberapa kali.
Namun, vonis majelis ini lebih rendah dari tuntutan JPU KPK.
"Mengadili, menyatakan terdakwa satu Nurhadi dan terdakwa dua Rezky Herbiyono, melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan beberapa kali," ucap Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri membacakan amar putusan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3).
Nurhadi dan Rezky terbukti menerima suap sebagaimana diatur Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Keduanya juga terbukti menerima gratifikasi sebagaimana diatur Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Dalam persidangan yang lalu, JPU KPK menuntut Nurhadi 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, subsider enam bulan kurungan.
Rezky dituntut 11 tahun pidana penjara, denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Keduanya juga dijatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti Rp 83.013.955.000.
Namun, dalam vonis majelis hakim, Nurhadi dan Rezky tidak diberikan hukuman berupa uang pengganti karena keduanya tak merugikan keuangan negara.
Hakim meyakini Nurhadi dan Rezky hanya menerima gratifikasi Rp 13.787.000.000.
Putusan ini lebih rendah dari tuntutan JPU KPK yang menganggap Nurhadi dan Rezky menerima gratifikasi Rp 37.287.000.000 dari sejumlah pihak yang berperkara di lingkungan pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK).
Hakim menganggap penerimaan gratifikasi dari Freddy Setiawan senilai Rp 23,5 miliar tidak terbukti.
Uang itu dinilai mengalir ke Rahmat Santoso, adik ipar Nurhadi, yang merupakan tim kuasa hukum Freddy.
Sementara itu, uang suap yang diyakini majelis hakim diterima Nurhadi juga lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Hakim meyakini Nurhadi hanya menerima suap Rp 35.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto.
Berdasarkan tuntutan sebelumnya, jaksa meyakini Nurhadi menerima suap Rp 45.726.955.000.
Uang suap tersebut diberikan untuk memuluskan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait gugatan perjanjian sewa menyewa depo kontainer. (mcr9/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Dea Hardianingsih