KPK Tetapkan Pengacara Lukas Enembe Jadi Tersangka, Petrus Selestinus Bereaksi, Menohok

Sabtu, 06 Mei 2023 – 11:45 WIB
Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus merespons langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan advokat atau pengacara Gubernur Nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai tersangka.

Pengacara Lukas Enembe yang berstatus tersangka komisi antirasuah itu berinisial R.

BACA JUGA: KPK Sita Lagi Aset Lukas Enembe dari Papua hingga Jaksel, Nilainya Sebegini

Petrus Selestinus menilai KPK saat ini berada dalam kondisi anomali atau ketidakteraturan yang luar biasa dalam penegakan kukum ketika menghadapi profesi Advokat yang sedang menjalankan tugas sebagai Pembela dan Penasihat Hukum bagi seorang tersangka.

“Tindakan kepolisian dari KPK terhadap seorang Advokat, atas sangkaan melanggar Pasal 21 UU Tipikor, jelas merupakan tindakan yang bersumber dari keputusan yang bersifat "contra legem" sehingga menimbulkan anomali yang luar biasa bagi profesi Advokat,” ujar Petrus Selestinus, Sabtu (6/4).

BACA JUGA: KPK Tetapkan Dua Tersangka Baru Penyuap Lukas Enembe, Siapa?

Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini menyebut beberapa Advokat telah menjadi korban anomali penegakan hukum oleh KPK terutama ketika KPK menerapkan Pasal 21 UU Tipikor terhadap profesi Advokat dengan mengabaikan ketentuan Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Selain itu, kata Petrus, KPK mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 26/PUU-XI/2014, tanggal 14 Mei 2014 serta asas hukum lex posterior derogat legi priori.

BACA JUGA: KPK Sita Tanah dan Hotel Hasil Rasuah Lukas Enembe di Papua

Padahal putusan MK No. 26/PUU-XI/ 2014 tanggal 14 Mei 2014 itu bersifat erga omnes yang serta merta mengikat KPK.

Oleh karena itu, KPK harus tunduk pada kaidah Pasal 16 sampai Pasal 19 UU Advokat dan Putusan MK No. 26/PUU-XI/2014, yang memperluas wilayah imunitas profesi Advokat tidak saja dalam area persidangan pengadilan, akan tetapi juga ketika Advokat sedang menjalankan tugas profesinya di luar Pengadilan.

Menurut Petrus, sejak tanggal 14/5/2014, penerapan ketentuan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tipikor harus dikecualikan bagi profesi Advokat yang sedang menjalankan tugas.

Sebab, berdasarkan "asas lex posterior derogat legi priori", di mana hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama, maka profesi para Advokat tidak tunduk pada ketentuan Pasal 21 UU Tipikor.

Posisi Advokat Itu Oposan

Di dalam KUHAP, UU KPK, UU Tipikor dan UU Advokat, seorang Advokat diposisikan sebagai "oposisi" dengan sejumlah hak istimewa guna menghadapi kekuasaan KPK, Polri, Jaksa dan Hakim yang digdaya.

Artinya pembentuk UU dan MK melihat realitas dan mengkonstatir potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilan oleh KPK, Jaksa, Polisi dan Hakim.

Oleh karena itu, Advokat harus diberikan hak istimewa dan imunutas. 

Petrus mengatakan hak istimewa dan imunitas yang diberikan UU kepada Advokat merupakan senjata bagi profesi Advokat dengan jaminan kebebasan, kemerdekaan dan independensi dalam menjalankan tugas profesinya.

“Tujuannya untuk melindungi diri dan Kliennya yang sedang dibela dari sikap kesewenang-wenangan KPK, Polri, Jaksa dan Hakim, dengan itikad baik demi menegakan hukum dan keadilan bagi kliennya,” kata Petrus.

Artinya seandainyapun benar bahwa Advokat RR ketika menjalankan tugasnya sebagai Pembela dan Penasihat Hukum Lukas Enembe pernah menyarankan agar Lukas Enembe tidak memenuhi panggilan KPK, maka saran yang diberikannya itu merupakan kewajiban hukum bagi profesinya.

“Dengan demikian KPK tidak boleh berpandangan sempit dan cengeng seolah-olah dengan sikap Advokat yang menyarankan kliennya untuk memenuhi panggilan KPK lantas saran dan pendapat hukum Advokat itu mau diadili dengan instrumen Pasal 21 UU Tipikor. Ini jelas keliru, masa KPK mau mengadili pendapat hukum Advokat,” kata Petrus Selestinus.

Alasannya, karena Advokat RR tahu kondisi riil kliennya Lukas Enembe dalam keadaan sakit, sehingga menurut KUHAP dan UU Advokat, seorang Advokat harus memberikan nasihat dan pendapat hukum tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh Lukas Enembe, terutama tidak memenuhi panggilan KPK, karena alasan sakit.

“Alasan layak dan patut bahkan melanggar hukum dan HAM, jika harus memenuhi panggilan KPK ketika itu,” ujar Petrus.

Oleh karena itu, menurut Petrus, perintah pencekalan dan penetapan status tersangka yang dikeluarkan oleh KPK terhadap Advokat R yang sedang menjalankan tugas sebagai Pembela dan Penasihat Hukum Lukas Enembe merupakan keputusan yang bersifat "contra legem" dan paradoksal dengan UU Advokat dan putusan MK.

Pasal 21 UU Tipikor Dikecualikan

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 dan Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003  Tentang Advokat yang kemudian diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/ 2013, tanggal 14 Mei 2014, bahwa Advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun secara pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik, untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang Pengadilan.

Artinya, sejak 14/5/2014, kedigdayaan KPK terhadap profesi Advokat sudah runtuh dimana KPK tidak dapat lagi menggunakan instrumen Pasal 21 UU Tipikor untuk menjerat profesi Advokat.

Pada Pasal 19 Ayat (1) UU Advokat, dikatakan bahwa Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dia ketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.

Sedangkan pada Ayat (2), Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya, terhadap penyitaan, penyadapan dan lain-lainnya.

Dalam kasus R, KPK sengaja tidak mempertimbangkan ketentuan tentang sejumlah hak istimewa yang melekat dalam diri seorang Advokat menurut UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang kemudian diperluas dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/ 2023, tanggal 14 Mei 2014.

“Hal itu mengikat sekaligus membatasi wewenang KPK ketika akan mengambil tindakan hukum terhadap Advokat dalam membela kliennya,” kata Petrus Selestinus.

Tindakan mencekal dan menetapkan Advokat R sebagai Pembela dan Penasihat Hukum Lukas Enembe menjadi tersangka, karena konsultasi dan saran yang diberikan apapun substansinya, pasti didasarkan pada iktikad baik dan yang terbaik buat Lukas Enembe.

Hal ini tentu memperhatikan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 KUHAP dan Pasal 19 UU Advokat bagi pelaksanaan tugas KPK.

Petrus menilai apa yang dilakukan Advokat R dalam tugas membela Lukas Enembe harus dipandang sebagai sebuah tindakan hukum yang maksimal dan profesional dari seorang Advokat terhadap Klien.

Sebab, berdasarkan realiatas dan fakta-fakta hukum yang ada, bahwa Lukas Enembe berada dalam kondisi kesehatan fisik dan psikologis yang tidak memadai untuk menghadapi tindakan hukum dari KPK dan penghakiman oleh publik.

KPK harus ingat bahwa ketika KPK mencurigai Advokat R karena memberikan pendapat dan saran agar Lukas Enembe tidak kooperatif kepada KPK, maka KPK telah mengadili isi pembicaraan antara Advokat R dengan Klien yang dijamin kerahasiaan oleh UU Advokat termasuk perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat, sebagai pelanggaran Hukum dan Etik.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler