KPK: Uang \'Terima Kasih\' untuk Penghulu adalah Gratifikasi

Keterbatasan Anggaran jadi Penyebab

Rabu, 18 Desember 2013 – 15:09 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan rapat koordinasi dengan unsur Kementerian Agama, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Bappenas, dan Dirjen Anggaran, Rabu (18/12). Dalam rapat itu mereka membahas soal gratifikasi khususnya dalam praktek pelaksanaan nikah oleh Kantor Urusan Agama (KUA).

"Tema pokoknya mengenai upaya-upaya sinergis yang bisa dilakukan oleh KPK bersama-sama dengan stake holder tentang persoalan mengenai gratifikasi atau hal-hal yang terkait gratifikasi, yang menyangkut tentang praktek pelaksanaan nikah oleh KUA di berbagai tempat, terutama yang berawal dari Jawa Timur, khususnya Kediri," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam konferensi pers di KPK, Jakarta, Rabu (18/12).

BACA JUGA: Sejumlah Fraksi Tolak Perppu MK Diundangkan

Busyro menjelaskan, persoalan itu harus dibenahi dari sisi sistem. Karena menyangkut sistem, maka pendekatannya harus dilakukan secara sistemik.

Karena itu, KPK mengundang pihak-pihak yang terkait dengan gratifikasi di KUA. Tujuannya untuk membangun sistem baru sehingga KUA bisa menjalankan tugasnya tanpa melanggar undang-undang yang mengatur soal gratifikasi. "Itu tujuannya sehingga tidak ada gejolak lagi," ujar Busyro.

BACA JUGA: Kades Desak Alokasi APBN Untuk Desa segera Disahkan

Sementara itu Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono mengatakan, praktek penerimaan honor, tanda terima kasih, pengganti uang transportasi atau istilah sejenisnya terkait pencatatan nikah merupakan gratifikasi. "Dilarang sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi," kata Giri.

Ia menuturkan setiap penerimaan gratifikasi harus dilaporkan kepada KPK sesuai perundang-perundangan yang berlaku. Untuk memudahkannya maka akan diatur mekanismenya melalui Kementerian Agama.

BACA JUGA: RUU Desa Disahkan jadi Undang-undang

Menurut Giri, penghulu menerima gratifikasi disebabkan karena keterbatasan anggaran di KUA yang meliputi anggaran operasional untuk masing-masing KUA. Selama ini, ia menjelaskan, anggaran operasional untuk masing-masing KUA kurang lebih Rp 2 juta per bulan. Tahun depan  hanya naik Rp 1 juta yaitu menjadi Rp 3 juta per bulan.

"Biaya tersebut digunakan untuk biaya rutin KUA, honor penjaga kantor, petugas kebersihan, yang kurang lebih Rp 100 ribu per bulan," kata Giri.

Ia menyatakan, dana operasional sebesar Rp 2 juta tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi petugas pencatat nikah. Apalagi hanya sebagian kecil KUA yang mempunyai kendaraan dinas ataupun transportasi sejenis, termasuk sepeda motor dan lain-lain.

"Pada dasarnya tidak ada fasilitas dan sarana/prasarana bagi penghulu untuk mendatangi calon pengantin sebagai pihak pengundang. Kondisi tersebut membuka peluang dan dijadikan alasan pembenaran terjadinya praktek penerimaan gratifikasi atau pemberian untuk menutupi biaya transport dan operasional. Walaupun atas dasar kerelaan dan tidak ada paksaan dari pihak lain," kata Giri.

Giri menyatakan ada beberapa hal yang disepakati dalam rapat koordinasi itu. Pertama biaya operasional di luar kantor atau di luar jam kerja, karena nikah umumnya hari libur, dibebankan kepada anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). "Artinya tidak boleh lagi menerima dari pihak yang menikahkan, kecuali yang resmi," ujarnya.

Kedua, perlu perubahan PP Nomor 47 tahun 2004 beserta peraturan yang terkait paling lambat akhir Januari 2014. "Ketiga, ketika menunggu terbitnya PP yang baru, Kementerian Agama akan mengeluarkan surat edaran tentang pelayanan catatan nikah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," kata Giri. (gil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrat Dukung Boediono Absen Rapat Timwas Century


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler