Mengapa anak-anak muda bakalan menghabiskan ribuan dolar atau puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk membeli virtual sneaker yang enggak akan bisa dipakai.

Kenalkan, ini Li-Anne, yang dikenal sebagai "Monsieur Banana".

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Masih Banyak Warga Libya yang Hilang Akibat Banjir

Dia adalah seorang influencer dan mengaku sebagai seorang sneakerhead:(kata benda INFORMAL): seseorang yang mengoleksi, memperjualbelikan, mengubah, atau bahkan sekedar mengagumi sneaker sebagai hobi, atau terkadang malah jadi pekerjaan.

"Berapa banyak sneaker yang aku punya? Kayanya aku jadi takut kalau menghitungnya," kata ia sambil tertawa.

BACA JUGA: Baterai Kendaraan Listrik Picu Kebakaran di Bandara, Lima Mobil Hancur

"Waktu saya mulai menghitung, ada 50 dalam satu bagian saja, jadi saya berhenti. Tapi mungkin kurang dari 200? Enggak terlalu banyak."

Namun sneaker yang ia punya bukan yang biasanya dipakai untuk bermain basket atau pergi ke gym.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Sanksi Baru Australia kepada Sejumlah Pejabat dan Lembaga Iran

Sneaker yang ia maksud bisa terjual hingga ratusan ribu dolar, atau ratusan hingga miliaran rupiah, yang membelinya pun belum tentu orang yang suka berolahraga dan tidak akan bisa memakainya.

Mungkin kamu pernah melihat para sneakerhead, mereka rela mengantri atau berkemah semalaman di luar toko sepatu saat ada sepatu baru yang akan keluar keesokan harinya.

Monsieur Banana adalah salah satu dari orang-orang tersebut.

"Pada tahun 2015, saya benar-benar niat membeli sepatu Yeezy 350 [keluaran Adidas] … Saya pergi ke toko peralatan berkemah, beli kursi berkemah, dan mengantre di depan toko sepatu semalaman," katanya.

"Ketika tren Yeezy mencapai puncaknya, ada orang yang rela mengantri dua sampai tiga hari.

"Benar-benar gila pokoknya."

Tapi yang diceritakan Monsieur Banana hanyalah sebuah puncak dari gunung es.

Ketika anak-anak muda di dunia kepingin sekali beli sneaker, bahkan ada yang sampai mencuri atau meminjam uang, sejumlah perusahaan dan selebriti malah mengambil keuntungan dengan menaikkan harga sepatu bisa sampai 10.000 kali lipat dari biaya produksinya. Makanya enggak heran kalau industri sneaker bernilai puluhan miliar dolar.

"Saya tidak tahu bagaimana anak-anak ini mampu membeli sepatu," kata Jayden Traynor, manajer toko sepatu di Melbourne.

"Sepertinya anak-anak sekarang mulai kerja lebih muda, atau orang tua mereka yang membelikannya".

"Mereka ingin mendapat pengakuan di sekolah. Mereka ingin memiliki hal-hal yang dipunyai orang lain. Dan orang tua enggak ingin anak mereka ketinggalan."

Sekarang, di tahun 2023, sneaker udah beralih ke dalam bentuk NFT. Nike, Adidas, dan merek-merek sepatu lainnya membuat sepatu versi "virtual" yang sangat mahal, bahkan tidak akan pernah bisa dipakai, karena hanya ada di dunia maya.

Bagaimana ini bisa terjadi? Dari sepatu yang biasanya dibuang begitu saja sampai anak-anak jaman sekarang malah menabung untuk bisa membelinya dalam bentuk virtual.

Untuk tahu jawabannya, Pertama, penting untuk memahami bagaimana harga sepasang sepatu fisik bisa begitu mahal.Berubah jadi bentuk ekspresi

Popularitas sneaker dimulai pada abad ke-19 ketika beberapa perusahaan mulai membuat sepatu dengan sol karet untuk para atlet di Eropa.

"Jika masih ingat, sepatu kets pada dasarnya adalah perlengkapan olahraga,” kata Jeff Staple, desainer sneaker dan streetwear.

"Kita membeli sneaker di toko yang sama untuk membeli tongkat baseball, raket tenis, dan sepatu seluncur es, Kita beli sneaker untuk berolahraga."

"Lalu ketika sneaker itu rusak karena terlalu sering dipakai berolahraga, kita membuangnya dan beli lagi yang baru." 

Namun transformasi budaya mulai terjadi pada tahun 1980an, ketika televisi kabel semakin populer, semakin memperkuat pengaruh olahraga, musik, dan film.

Bertepatan juga saat Nike, di tahun 1984, meningkatkan pangsa pasar sepatu basketnya, yang saat itu didominasi oleh Converse, dengan menandatangani kesepakatan dengan pemain baru Chicago Bulls, Michael Jordan.

Saat Converse dan Adidas meminta Michael untuk mempromosikan model sepatu yang sudah ada, Nike malah menciptakan sepatu khusus yang diberi nama "Air Jordan".

 

"Ada alasan untuk menyebut Michael Jordan sebagai 'dewa-nya bola basket'," kata Michael Fan, pemilik salah satu kolektor sneaker terbesar di Australia.

"Air Jordan 1-lah yang mengawali budaya sneaker"

"[Jordan] memiliki dominasi di lapangan, semacam karakter yang tidak dapat ditaklukkan."

"Tetapi karakternya seperti pedang bermata dua, agresif namun tidak pernah menyerah dalam situasi apa pun."

Sebelumnya, hanya sepatu putih yang diizinkan dipakai di lapangan oleh NBA di lapangan, sampai-sampai NBA memberikan denda kepada Michael Jordan sebesar US$5.000 per game karena memakainya. Nike memilih untuk menanggungnya, sehingga "pedang bermata dua" diwujudkan dalam sepatunya."

Dan di tengah hype Air Jordan, pengaruh budaya sneaker sudah menyebar, bukan sekedar di dunia olahraga, tapi juga berubah fungsinya.

"Sesuatu terjadi di awal tahun 90an," kata Jeff Staple.

"Orang-orang dari berbagai budaya dan minat berbeda, seperti musik, hip hop, rock, punk rock, dan skateboard, mulai menggunakan sneaker, bukan untuk berolahraga, tetapi untuk mengekspresikan diri."

"Baik saat mereka bermain gitar atau breakdance di atas panggung, orang-orang mulai memakai sneaker untuk kegiatan yang belum pernah mereka pakai sebelumnya, misalnya pergi ke klab malam, berkencan, jalan-jalan." 

"Pembatas yang tadinya hanya untuk berolahraga mulai runtuh."

"Orang-orang mulai memakai sneaker untuk bekerja atau kencan pertama, dan enggak akan dianggap negatif. Hal itu akan terlihat seperti, 'Wow… kamu mengekspresikan diri sendiri," kata Jeff.

Jayden adalah penggemar berat musik elektronik, yang juga mantan DJ, yang membuatnya senang memakai streetwear dan sneaker. 

"Saya adalah penggemar berat Skrillex,” katanya. "Dia sering memakai banyak sepatu Nike, benar-benar memengaruhi saya untuk memakai barang-barang semacam itu sebelum akhirnya saya jadi suka sneaker."

"Banyak dari artis-artis yang kamu lihat di atas panggung, mereka ingin memastikan kalau mereka tampil terbaik di atas panggung. Jadi penontonnya tahu siapa mereka dan bagaimana mereka membawa diri."

Kini, berkat media sosial, selebriti, atlet, dan sepatu mereka lebih terlihat dari sebelumnya. Tentunya ini tidak hanya mengubah industri sneaker, tapi juga mengubah penyanyi dan rapper seperti Travis Scott dan Kanye West menjadi desainer sepatu, kolaborasi yang bisa menghasilkan sepatu seharga ribuan dolar.

Namun sneaker bukan sekedar kombinasi kulit, kain, dan karet berwarna yang dijahit dengan ongkosnya setidaknya $10. Lalu mengapa harganya bisa mahal, di bagian mana?Memasarkan sebuah cerita

Chase Shiel sudah membuat sneaker kelas atas selama lebih dari 14 tahun. Dibuat khusus di Melbourne dengan pelanggan seperti whisky Kevin Hart dan Glenfiddich.

Saat perusahaan besar, seperti Nike dan Adidas, memproduksi sepatu secara massal dalam jumlah ratusan ribu pasang "dengan ongkos sekitar $10 hingga $20" sepasang, Chase masih membuat setiap pasang sepatu dengan tangannya sendiri.

Ia bisa menjelaskan proses dasar pembuatan sneaker, yang menurutnya membutuhkan waktu rata-rata 20 hingga 40 jam.

Mengikuti permintaan desain sesuai keinginan pelanggannya, mulai dari yang meminta Chase untuk merancangnya, sampai ada juga yang sudah punya tema dan gayanya sendiri,  proses pembuatan sneaker dimulai dengan menemukan "shoe last", yaitu cetakan plastik yang digunakan untuk membuat desain sepatu.

Langkah selanjutnya adalah merancang dan membuat pola di sekelilingnya, menjiplak dan memotong bahan sesuai pola yang diinginkan…

…lalu jahit semua bagian menjadi satu hingga membentuk bagian di atas sol, sambil menarik-narik bahan kulit sehingga bisa berbentuk sesuai cetakan.

Kemudian direkatkan dengan perekat khusus untuk menjaga bahan kulit tetap di tempatnya dan siap untuk dipasangkan solnya, setelah itu sepatu dimasukkan ke dalam "penekan sol" yang menyedot udara keluar dan menyatukannya.

"Setelah ditekan, saya biasanya membiarkan sepatu bertahan selama 12 jam untuk memastikan perekatannya sudah terbentuk. Kemudian cetakannya dikeluarkan, dan tali sepatu pun siap diikat," kata Chase. 

"Ini benar-benar seperti menyusun puzzle."

Saat ini, sebagian besar sneaker diproduksi di Asia, di mana biaya tenaga kerja dan produksinya lebih murah dibandingkan di Eropa dan Amerika Serikat, karena produsen sepatu ingi menghemat biaya sebanyak mungkin.

“Asia Pasifik selalu menjadi tempat pembuatan sepatu dan selalu menjadi bisnis ekspor,” kata Jeff Staple.

Setelah sneaker keluar dari pabrik, ini jadi awal mengapa harganya dinaikkan dan benar-benar meningkat.

“Jika Anda memiliki sepatu seharga $25, maka sepatu tersebut dijual ke Nike seharga $50. Nike menjualnya ke toko seharga $100. Toko tersebut menjualnya ke pelanggan seharga $200,” kata Jeff Staple.

"Itulah semacam loose economics seputar sneaker."

Menurut Jeff, satu-satunya hal yang membedakan sepatu seharga $40 dengan yang harganya $100.000 di museum, adalah "branding dan penceritaannya".

"Orang-orang mengira merek seperti Nike sudah tidak seperti perusahaan sepatu lagi. Mereka adalah perusahaan pemasaran," kata Jeff.

Jeff mempunyai pengalaman langsung soal ini, pada tahun 2003, Nike mendekatinya untuk membuat sepatu Nike SB Dunk Low yang didedikasikan untuk Kota New York. Setelah memikirkan ikon kota New York, seperti patung Liberty dan Empire State Building, Jeff mengusulkan versi dengan gambar merpati abu-abu yang melambangkan budaya jalanan, yang juga lambang dari hama.

“Nike tidak mengerti apa hubungannya merpati dengan Kota New York,” katanya.

Namun generasi muda New York langsung paham, ketika Pigeon Dunk dirilis pada tanggal 22 Februari 2005. Inilah yang terjadi...

Kerusuhan terjadi, polisi dipanggil ketika orang-orang membawa senjata ke hari dirilisnya SB Dunk Lows yang bentuknya masih sama, tapi sekarang ada gambar burung merpatinya.

Hanya 150 pasang sepatu yang dibuat. Tapi saat ini sepatu bekasnya sudah seharga $45.000 hingga $75.000. Sepasang sepatu dengan kondisi yang masih mulus bahkan laku dijual di rumah lelang Sotheby seharga $150.000.

"Keahlian yang kami miliki, menurut saya, sebagai seniman atau orang kreatif, adalah kemampuan berbicara dengan audiens yang sangat spesifik yang terkadang sulit untuk diajak bicara oleh merek-merek besar," katanya.

“Saya seperti penerjemah untuk subkultur.”

Selain mendesain dan bercerita, para selebriti berkontribusi signifikan terhadap mahalnya harga sneaker.

"Jika Anda membeli sepasang sneaker LeBron James, salah satu alasan terbesar mengapa sepatu tersebut berharga $200 bukanlah karena produksi atau teknologi sepatu, melainkan karena besarnya biaya yang harus mereka bayarkan kepada LeBron James sebagai sponsor," Jeff kata pokok.

Dikenal sebagai "reselling market", banyak sneakerhead akan membeli sepatu yang dirilis secara terbatas karena tahu harganya akan naik, sehingga terjadi antrean besar-besaran di luar toko Tidak hanya mereka akan memakainya, tapi juga mendapat untung besar kalau dijual kembali.

Menurut sejumlah sneakerhead dan blogger, apa yang dijual oleh para reseller, serta apa yang konsumen harapkan adalah suatu bentuk "kredibilitas instan", dengan mendapatkan pengalaman budaya sekali seumur hidup sedari dini, yang ingin dimiliki oleh orang-orang kaya di masa depan.

Misalnya, sepatu Nike Air Yeezy Sample yang dikenakan Kanye West di Grammy Awards 2008, terjual lebih dari $2,7 juta di rumah lelang Sothebys pada tahun 2021.

Semua mekanisme membuat harga dari sepatu yang awalnya hanya untuk olahraga  sekali pakai, menjadi komoditas dalam industri bernilai miliaran dolar.AI, 'virtual' sneakers and the rise of Tiongkok

Di tengah maraknya aksi kekerasan dan penikaman saat sepatu baru dirilis di toko, atau mimpi anak-anak yang belum juga mencapai usia remaja tapi sudah ingin menghabiskan tabungan demi membeli sepatu mahal, kita bertanya-tanya apakah tren ini sudah mencapai puncaknya, atau malahan akan menjadi lebih menggila lagi?

"Tidak akan ada jalan kembali sekarang. Kita tidak akan pernah bertelanjang kaki, kan?" kata Jeff Staple.

"Dan kita juga tidak akan pernah kembali memakai sepatu pantofel berbahan kulit dengan sol kayu, seperti sepatu resmi, setiap hari.”

Jadi, soal apa yang diharapkan dari masa depan industri sepatu ini…

Beberapa perusahaan mulai mengeksplorasi sepatu yang dicetak 3D, dengan membuat beberapa bagian-bagian sepatu dari teknologi terbaru ini, sehingga memberi kita gambaran sekilas tentang seperti apa sepatu di masa depan…

"Bayangkan di masa depan, kita akan masuk ke toko, diukur kaki, dan dalam beberapa menit langsung mencetak sepatu tersebut untuk Anda, tidak akan ada yang menyamai dan sepatu tersebut sangat cocok untuk Anda," kata Jeff.

… pihak lain memanfaatkan pasar NFT dengan menciptakan sneaker "virtual" yang tidak dapat dipakai, tetapi dibeli dan diperdagangkan sebagai komoditas digital …

Pada tahun 2021, Nike mengakuisisi RTFKT, sebuah perusahaan yang menciptakan barang koleksi digital/NFT terkait dengan game dan kultur Tahun lalu sneaker dalam bentuk digital terjual lebih dari $200,000, dan Nike baru-baru ini dilaporkan mencapai hampir $300 juta dalam penjualan dan royalti NFT.

Pihak lain, seperti Michael Fan, juga menunjukkan potensi kecerdasan buatan, atau AI, untuk menginspirasi desainer masa depan lewat koleksi datanya yang sangat besar.

"Misalnya, kita tinggal mengetik, 'Desain sneaker untuk saya, yang sesuai dengan tampilan estetika publik,' dan ini akan mencakup data yang sangat besar untuk menghasilkan desain yang unik," kata Michael.

Teknologi-teknologi ini menjadi tanda tahap awal bagaimana kultur sneaker akan terus bergerak maju, karena teknologi ini mengatasi banyak masalah keberlanjutan dan produksi sneaker.

Pada saat yang sama, merek olahraga Asia dan Tiongkok, seperti Anta, sedang meningkat dan menyadari kalau mereka tidak hanya memiliki kemampuan untuk memproduksinya, tapi juga memiliki pasar yang besar, dan mungkin tidak memerlukan merek dan dukungan dari negara-negara barat.

Pada tahun 2022, pendapatan Anta di Tiongkok melampaui $11,2 miliar, melampaui pendapatan Nike sebesar $10,75 miliar untuk menjadi merek olahraga terbesar di Tiongkok.

Dan banyak sneakerhead dan pakar percaya kalau ini akan jadi tren yang berpotensi mendunia di tahun-tahun mendatang, sama seperti perusahaan-perusahaan Asia yang mengambil alih pesaing mereka di bidang elektronik dan kendaraan, seperti Samsung, Sony, Hyundai, dan Toyota.

Jadi, meski saat ini merek-merek Barat sebagian besar diproduksi di Asia untuk tujuan ekspor, banyak yang melihat kondisi ini akan berubah di tahun-tahun mendatang.

"Tiga puluh tahun yang lalu, masyarakat yang tinggal di Tiongkok, Vietnam, dan Korea bukanlah pembeli, mereka hanyalah produsen yang mengirimkan sepatu ke Eropa, Jepang, dan Amerika," kata Jeff Staple.

"Seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kelas menengah di negara-negara Asia, mereka mulai membeli sepatu."

Pertumbuhan ekonomi dan semakin banyaknya pelanggan membuat beberapa perusahaan di Tiongkok sadar kalau mereka tidak memerlukan Amerika Serikat atau Jerman untuk membangun merek olahraga mereka sendiri, yang juga membentuk masa depan sneaker.

"Bertahun-tahun yang lalu, setiap penyebutan merek olahraga Tiongkok akan membuat orang mengira merek tiruan, atau Tiongkok tidak memiliki produk atau teknologi berkualitas baik," kata Michael.

"Tetapi sekarang mereka sudah benar-benar berubah."

"Banyak bintang NBA yang menandatangani perjanjian dengan merek Tiongkok [seperti Kylie Irving dan Jimmy Butler], tidak hanya melihat berapa banyak uang yang bisa mereka peroleh, namun yang lebih penting adalah apakah sepatu yang mereka dapatkan dapat diandalkan untuk bermain di lapangan."

Kolaborasi dengan merek Tiongkok akan menarik perhatian banyak orang, selain peluang komersial dan pengaruhnya di pasaran Tiongkok.

"Hal-hal tersebut akan sangat meningkatkan pengaruh dan visibilitas mereka," kata Michael, meski ia yakin masih ada yang harus dilakukan untuk benar-benar menembus pasar Barat.

Tapi apa pun masa depannya, beberapa sneakerhead seperti Michael tidak terlalu tertarik dengan "sneaker virtual",karena lebih ingin mempertahankan nilai budaya yang ada pada produk fisik, sementara sebagian besar setuju kalau pangsa pasar sepatu sneaker akan tetap ada dan akan terus berubah bentuk dan berkembang.

"Sekarang setiap CEO, akuntan, pengacara, dan atlet di dunia mengenakan sneaker setiap hari, Anda tidak bisa membayar mereka agar mau lagi memakai sepatu yang tidak nyaman," kata Jeff Staple. "Mungkin mereka hanya mau memakainya sesekali seperti di acara pernikahan atau acara khusus."

"Tetapi pada umumnya, mereka tetap menggunakan sneaker."KreditPenulis, Laporan & Produksi Digital: Fotografer & Grafix: Laporan tambahan: Declan BaileyVideografi & Fotografi: , Getty Images atau Koleksi pribadiPimpinan Proyek & Editor: 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Kim Jong Un Pergi ke Rusia Naik Kereta Mewah Berlapis Baja

Berita Terkait