jpnn.com - JAKARTA – Pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan baru akan melejit pada kuartal kedua tahun depan.
Hal tersebut sejalan dengan proyeksi pemulihan pertumbuhan perekonomian pada semester kedua 2017.
BACA JUGA: Tarif Listrik Naik Mulai Januari, Inflasi Tetap Landai
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan, hingga akhir kuartal III 2016, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan tercatat 22,3 persen dan rasio likuiditas berada pada level 20,2 persen.
Rasio kredit bermasalah perbankan (non-performing loan/NPL) tercatat 3,1 persen (gross) atau 1,4 persen (net).
BACA JUGA: Menpar Arief Yahya: Rawe Rawe Rantas, Malang-Malang Tuntas!
Agus menambahkan, transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga sampai dengan September terus berlangsung.
Hal itu tecermin dari penurunan suku bunga deposito sebesar 108 bps secara year to date (ytd) dan suku bunga kredit sebesar 60 bps (ytd).
BACA JUGA: Otomotif Mulai Bangkit, Penjualan Mobil Lampaui 2015
Namun, Agus mengakui transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit belum optimal.
Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan kredit yang masih terbatas, sejalan dengan permintaan yang masih lemah, terutama untuk kebutuhan investasi dari korporasi. Hingga kuartal ketiga 2016, kredit hanya tumbuh 7,9 persen.
Sebaliknya, transmisi kebijakan moneter melalui pasar modal dengan penerbitan saham, obligasi, dan medium-term notes meningkat.
Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) di perbankan nasional pada kuartal ketiga 2016 tumbuh 3,2 persen atau melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan DPK pada kuartal II sebesar 5,9 persen.
Perlambatan diperkirakan bersifat sementara karena dipicu penarikan dana masyarakat untuk pembayaran tebusan dalam rangka amnesti pajak.
BI meyakini dana masyarakat yang disimpan di perbankan akan kembali meningkat pada akhir tahun.
”Pertumbuhan kredit yang cukup tertekan di 2016 akan pulih pada kuartal II 2017. Pertumbuhan kredit 2017 kira-kira sepuluh persen hingga 12 persen dan DPK tumbuh 9–11 persen. Jadi, pertumbuhan kredit relatif baru betul-betul siap pada akhir kuartal II 2017,” terang Agus.
Di sisi lain, kondisi makroekonomi cukup baik dengan jumlah utang luar negeri (ULN) yang masih dalam kategori aman.
ULN Indonesia pada akhir kuartal III 2016 tercatat sebesar USD 325,3 miliar atau tumbuh 7,8 persen (yoy).
Berdasar kelompok peminjam, penarikan utang luar negeri pemerintah terlihat meningkat, sedangkan kredit korporasi menurun.
Rasio utang luar negeri tercatat 35,7 persen atau turun jika dibandingkan dengan 36,9 persen pada kuartal II 2016.
”Berdasar kelompok peminjam, utang luar negeri didominasi swasta sebesar USD 163,1 miliar. Meski dominan, utang kelompok swasta turun 2,7 persen daripada tahun lalu. Sementara itu, utang sektor publik meningkat menjadi 20,8 persen,” jelas Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara.
Utang kelompok swasta didominasi sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas, dan air bersih.
”Perkembangan ULN masih cukup sehat. Namun, kami terus mewaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional,” ujarnya. (rin/c5/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat: Lupakan Bisnis Batu Bara
Redaktur : Tim Redaksi