Sebuah kisah pahit hilangnya kepercayaan dan salah kelola atas taman nasional terbesar di Australia.

BACA JUGA: Gelombang Unjuk Rasa Terus Bergulir di Myanmar, Ada Salam Tiga Jari

 

BACA JUGA: Penipuan Vaksin COVID-19: Modus Minta Bayaran Sampai Pura-pura Jadi Nakes

Setelah berbulan-bulan menunggu, musim penghujan akhirnya tiba juga di Kakadu.

BACA JUGA: Apa itu News Bargaining Code, Penyebab Facebook Batasi Konten Berita di Australia?

 

Photo: Seekor buaya di Kakadu National Park. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

Hujan memenuhi danau dan mengairi anak sungai, menjadikan buaya-buaya di taman nasional ini semakin bebas bergerak.

 

Photo: Burung-burung Brolga di Kakadu National Park. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

Dataran purba ini pun dipenuhi kehidupan dengan warna-warninya.

 

Namun di balik bebatuan yang megah dan di seberang dataran maha luas itu, badai lain sedang terjadi.

 

Selama bertahun-tahun, lingkungan alam Kakadu semakin merosot dan situs wisata populer di dalamnya telah ditutup tanpa peringatan.

Kakadu, yang biasa disebut sebagai mahkota pariwisata Australia , sudah mengalami kerusakan, dan pemilik tradisional tanah ini menuding lembaga Pemerintah Federak Australia yang mengelola taman sebagai penyebabnya.

Keadaannya sangat buruk sehingga beberapa pemilik tradisional mengancam untuk menutup sebagian wilayah Kakadu.

 

Photo: Salah satu pemilik tradisional Kakadu, Jonathan Nadji. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Warga suku Murrumburr, Mandy Muir. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

 

Jonathan Nadji adalah salah satu pemilik tradisional, anggota dewan yang mengawasi Kakadu dan juga mantan petugas penjaga taman. Dia mengatakan siap untuk menutup salah satu tempat wisata terbesar di taman itu, tempat pengamatan dan seni cadas Ubirr yang terkenal.

"Sudah waktunya kami mengambil tindakan dengan menutup taman. Saya akan menutup Ubirr," ujarnya.

"Kita harus melihat ke depan, mulai memilah-milah tempat ini, kami akan menutupnya agar pesan kami ini didengar," kata Jonathan.

  Photo: Seni cadas di Ubirr, salah satu kawasan di Kakadu National Park.

 

 

Mick Markham, salah satu pemilik tradisional lainnya di kawasan Air Terjun Gunlom, mengaku dirinya juga siap untuk menutup situs itu.

"Kami sangat sedih. Satu-satunya cara kami menunjukkan kekuatan adalah dengan menutupnya pada puncak musim turis," katanya.

Seorang warga suku Murrumburr dan pemandu wisata, Mandy Muir, menyebut Kakadu sedang berada dalam krisis.

"Kekecewaan telah sampai pada tahap dimana bila tidak segera dibicarakan, maka kami sendiri yang akan menangani semuanya," katanya.

 

Photo: Kakadu merupakan taman nasional terbesar di Australia. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

Keberadaan Kakadu sudah diakui dunia. Taman ini masuk dalam daftar Warisan Dunia UNESCO karena lingkungannya yang spektakuler dan posisi budayanya yang penting.

 

Namun sudah bertahun-tahun taman ini nyaris ditinggalkan oleh turis-turis internasional. Photo: Rombongan turis sedang menikmati pemandangan Yellow Water di Kakadu National Park. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

 

Pernah pada suatu ketika turis internasional mencapai lebih dari setengah pengunjung yang datang ke Kakadu. Tapi pada 2019 , sebelum pandemi COVID, jumlahnya telah menyusut menjadi 17 persen saja.

Manajer Umum Pariwisata Wilayah Top End, Glen Hingley, menjelaskan biasanya pengunjung dari luar negeri menghabiskan lebih banyak uang dan tinggal lebih lama. Tapi mereka tidak akan datang kecuali ada kepastian tentang apa yang bisa mereka lihat.

"Turis internasional ke Kakadu telah menurun, bukan karena Kakadu kurang menarik sebagai tujuan," katanya.

"Tapi sebagian disebabkan oleh ketidakpastian dan ketidakberesan dari operator tur terkait dengan akses dan penutupan bagian-bagian dari taman ini," jelas Glen.

Saat ini operator pariwisata sangat bergantung pada turis domestik, dan mendesak adanya tindakan untuk menjadikan Kakadu sebagai tujuan yang layak dikunjungi.

 

Photo: Cahills Crossing, salah satu kawasan di Kakadu. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Banyak objek wisata yang kini tutup di Kakadu. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Penutupan akses jalan sering terjadi di dalam kawasan Kakadu. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

 

Setiap tahun, sebagian kawasan Kakadu ditutup akibat cuaca panas yang ekstrim, dan kemudian pada musim penghujan penyeberangan sungai dan jalan becek tidak dapat dilalui.

Bahkan sebelum penutupan akibat musim hujan tahun ini dimulai, sudah banyak atraksi populer di taman tersebut ditutup.

Air Terjun Kembar yang spektakuler misalnya, sudah tidak dapat diakses sejak 2018 karena penyeberangan sungai belum diperbaiki.

Pusat Kebudayaan Aborigin Warradjan yang populer di Yellow Water juga ditutup untuk renovasi selama setahun.

 

Kolam batu di atas air terjun di Maguk ditutup pada tahun 2019 setelah seorang turis tenggelam, kemudian kawasan tersebut tidak lagi dibuka selama tahun 2020 dan sampai kini tetap ditutup.

 

Kolam alamiah tanpa batas di atas Air Terjun Gunlom, kawasan wisata populer lainnya, telah ditutup selama hampir 18 bulan.

Operator tur Sab Lord menyebutkan banyak pengunjung kecewa dengan semakin terbatasnya objek yang bisa mereka lihat di Kakadu.

"Saya punya beberapa klien yang mengeluh karena tidak bisa sampai ke destinasi yang dijanjikan," ujarnya.

"Saya harus mengembalikan uang mereka karena ada area yang secara khusus ingin mereka kunjungi tapi tidak buka," tambahnya.

 

Photo: Keluarga penduduk asli yang berada di dalam kawasan Kakadu. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

Kawasan Kakadu dihuni sekitar 300-an warga Aborigin dari 18 suku yang berbagi kepemilikan atas taman nasional ini.

 

Tanah tersebut dikelola bersama oleh pemilik tradisional Kakadu dan badan pemerintah federal, Parks Australia. Tapi hubungan kedua pihak ini memburuk. Pemilik tradisional menyebut pengelolaan bersama ini dalam kondisi yang parah.

Salah satu contoh rusaknya hubungan itu adalah Parks Australia membangun jalur pejalan kaki di dekat Air Terjun Gunlom yang membuka bagian sensitif dari situs suci warga Aborigin.

Pada Juli tahun lalu, sekelompok penjaga taman dari warga Aborigin menyatakan kekhawatiran mereka kepada Parks Australia. Mereka mempermasalahkan penutupan lokasi, pemeliharaan, pemutusan hubungan kerja, kurangnya pekerjaan untuk penduduk asli dan sejumlah kebakaran yang tidak terkendali di dalam taman.

Dalam surat tersebut, warga Aborigin ini menyebutkan akibat pengurangan staf, tidak cukup tenaga yang tersedia untuk memadamkan kebakaran tahun 2019 yang menyebabkan kerusakan rumah dan peralatan.

Pada bulan Desember lalu, ancaman yang dihadapi Kakadu diungkapkan oleh Serikat Internasional untuk Konservasi Alam, badan yang memantau situs Warisan Dunia.

Mereka menyebut Kakadu kian memburuk dan terancam oleh keberadaan hewan liar dan gulma, serta kebakaran.

Pakar botani dari Curtin University, Profesor Kingsley Dixon, juga menyebut status Warisan Dunia Kakadu kini terancam.

"Jika kita terus mengubah lanskap dan tidak mengelolanya, kita akan mendapati taman yang penuh dengan gulma dan hama," katanya.

 

Photo: Kakadu masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Seni lukis pada dinding batu cadas di Kakadu National Park. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Seekor kanguru di Kakadu National Park. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

 

Jonathan Nadji mengatakan taman ini membutuhkan lebih banyak staf dan petugas.

"Kami kekurangan staf di sini, kami sangat membutuhkan tambahan staf," ujarnya.

"Manajemen taman membuat keputusan sendiri tanpa berbicara dengan para pemilik tradisional," tambahnya.

Seorang pemandu wisata Mandy Muir mengatakan banyak keputusan yang dibuat pengelola tanpa melihat kondisi di lapangan.

"Para pakar telah menyampaikan bahwa kondisi taman ini telah memburuk selama beberapa tahun," katanya.

"Sepertinya taman ini dikelola dari jauh, di Canberra. Kami membutuhkan orang di lapangan, di tingkat akar rumput, berurusan dan berbicara langsung dengan kami," ujar Mandy.

Dalam catatan yang dikirim ke Menteri Lingkungan Hidup Sussan Ley, seorang pejabat pemerintah menyebutkan adanya rasa putus asa yang meluas di Kakadu.

Tak lama setelah surat itu dikirim, direktur Taman Nasional mengundurkan diri dan dua eksekutif lainnya dipindahkan dari badan tersebut.

Pemerintah berjanji akan mengucurkan dana $276 juta selama 10 tahun untuk peningkatan kawasan Kakadu, termasuk pemulihan di kota Jabiru.

Dalam pernyataan kepada program Four Corners ABC, Parks Australia mengatakan Menteri Sussan Ley mendengarkan masukan pemilik tradisional soal pengalihan posisi kunci ke Darwin, mempekerjakan petugas pelatihan, dan program untuk membantu penduduk asli menemukan pekerjaan dan memajukan karir mereka.

 

Photo: Lokasi tambang uranium di dalam kawasan Kakadu. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Tambang uranium sudah beroperasi selama 40 tahun di kawasan Kakadu.

  Photo: Tambang uranium sudah ditutup dan berhenti beroperasi.

 

 

Di tengah permasalahan ini, perubahan besar sedang terjadi di Kakadu.

Pemrosesan bijih di tambang uranium Ranger, yang terletak di dalam kawasan taman, telah selesai bulan lalu, dan lubang bekas tambang yang sangat luas akan ditutup selama lima tahun ke depan.

Masa depan kota Jabiru, yang dibangun pada 1980-an untuk melayani aktivitas pertambangan itu, kini diliputi ketidakpastian.

Setiap bulan jumlah populasinya yang hanya sekitar 1.000 orang terus menyusut karena para pekerja tambang dan keluarganya telah meninggalkan kota ini untuk selamanya.

 

Agar bisa bertahan, Kota Jabiru harus merumuskan kembali jatidirinya.

 

Ada rencana untuk mengubah kota ini menjadi pusat pariwisata agar dapat menggantikan penghasilan sebesar $8,5 juta dari royalti tambang. Itu bukan tugas yang ringan.

Kawasan pertokoan kini sudah kosong, fasilitas kota sudah menua, Jabiru kini terkesan kumuh dan tertinggal.

Pemulihan kota ini diperkirakan menelan biaya sekitar $446 juta dan akan didanai oleh pemerintah Federal dan negara bagian Northern Territory, serta pihak swasta.

Kota akan didesain ulang dengan daya tarik tersendiri, seperti perumahan ramah lingkungan, glamping, pusat pariwisata baru dan bahkan kawasan untuk berenang, sepanjang buaya-buaya bisa dicegah untuk masuk.

Tetapi ada keraguan tentang rencana tersebut dari beberapa warga setempat, seperti John Christophersen.

Ia berharap agar tidak semua yang dimiliki dialihkan ke sektor pariwisata saja.

"Masih banyak yang harus dilakukan bagi kesehatan masyarakat, pendidikan dan lapangan kerja," ujartnya.

 

Photo: May Nago, seorang warga suku Mirarr. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

Tidak jauh dari kawasan Ranger dan Jabiru, di tepi sungai Magela, warga setempat tampak sibuk memancing dan berburu seperti yang telah mereka lakukan selama beberapa generasi.

 

Pemilik tradisional daru suku Mirarr, May Nango, ingin mewariskan cara hidup ini kepada cucunya.

Dia khawatir dampak jangka panjang dari pertambangan uranium di sana.

Berbicara dalam bahasa Kunwinjku, May meminta agar dampak pertambangan di dalam kawasan taman terus dipantau.

"Mereka harus menjaga tanah ini. Mereka harus menyampaikan kepada kami apa sebenarnya yang terjadi," katanya.

 

Photo: Anak-anak penduduk asli yang tinggal di Kakadu National Park. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: Anak-anak Aborigin bermain di Magela Creek. (Four Corners: Harriet Tatham)

  Photo: May Nango. (Four Corners: Harriet Tatham)

 

 

Glen Hingley mengatakan Kakadu seharusnya diperlakukan secara lebih baik.

"Tempat ini perlu didanai untuk generasi mendatang, bukan hanya rakyat yang tanahnya dan keluarganya ada di sini," katanya.

Mandy Muir meminta kepada pemerintah federal untuk kembali ke Kakadu dengan melibatkan para pemilik tradisional.

"Kami menunggu. Tempatnya sudah disiapkan, menunggu orang yang akan menempatinya. Bukan berkantor di ibukota sana. Tapi di pedalaman sini," ujarnya.

  Tim Produksi

Fotografi: Harriet Tatham

Sinematografi: Louie Eroglu ACS

Produser Digital: Brigid Andersen

Riset: Naomi Selvaratnam

Penerjemah: Farid M. Ibrahim

BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Indonesia yang Menolak Divaksinasi Terancam Denda Sampai Rp 5 Juta

Berita Terkait