jpnn.com, JAKARTA - Tindakan represif yang diterima publik dari undang-undang dan opini sesama kalangan publik dinilai membuat nalar kritis publik menjadi terdegradasi. Padahal, publik seharusnya dapat menerapkan salah satu fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah.
Dalam catatan Rekomendasi Akademi Jakarta 2022 yang bertajuk “Cegah Penghancuran Nalar Publik” dijelaskan bahwa permasalahan di Indonesia berakar pada praktik ekonomi-politik yang menyuburkan oligarki dan korupsi, penguasaan sumber daya secara tidak adil, pengabaian hak asasi manusia, serta kerusakan alam.
BACA JUGA: Mardani Kritik Pernyataan ST Burhanuddin, Pakai Kata Tidak Adil
Bahkan Akademi Jakarta mendesak agar dilakukan perubahan menyeluruh di bidang pendidikan mulai tingkat paling dini hingga pendidikan tinggi, lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma, menjelaskan bahwa dibuatnya rekomendasi di aspek pendidikan, lingkungan hidup, intoleransi sosial, ekonomi, dan politik karena banyak orang yang tidak berani mengemukakan pendapatnya saat ini akibat dari ketakutan publik yang membuat nalar publik sedikit mundur.
“Banyak orang itu baik-baik saja tapi tidak berani bicara, bahkan berani bicara setidaknya tidak bertentangan, ini merata, atas nama sopan santun, adab dan lain lain. Saya kira ini gejala yang tidak bagus, jadi kita buka, dengan menghapus segala macam sifat yang vulgar tidak etis, segala macam, orang biasa,” katanya.
Harapannya, rekomendasi ini dapat diterima oleh publik, karena itu yang menjadi tujuan utamanya. Selain itu, ia juga berharap dokumen ini dapat menginspirasi siapa pun yang membacanya, bahkan apabila hanya membaca judulnya saja.
BACA JUGA: Bro Giring Kritik Formula E, Pak Anies Membalas dengan Ejekan
“Saya kira dengan orang baca judulnya orang akan berpikir, “Jangan-jangan saya yang hancur nih nalarnya”. Sehingga mereka langsung aware, mulai saat ini saya jangan sampai bertingkah anti nalar. Itu saja sudah cukup,” ungkap Seno.
Sementara itu, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said mengungkapkan bahwa dokumen ini penting, dalam kacamatanya, saat ini pengingkaran atau penghancuran nalar publik sudah menunjukkan tanda yang jelas, cepat, dan pasti.
“Sebagai publik, kita sering disuguhkan hal-hal yang mengganggu nalar. Contoh, negeri kita sangat kaya dengan sawit, dan eksportir sawit terbesar, tetapi mengapa masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng, sehingga pemerintah mengeluarkan subsidi? Itu pun tidak sampai kepada sasaran. Pertanyaannya, apakah ini dapat diterima oleh nalar publik?” katanya dalam diskusi ini.
Sudirman juga menyayangkan suasana takut mengoreksi ini terus membelenggu publik. Bahkan, penilaiannya, saat ini kalangan akademis juga menunjukkan gejala serupa, padahal mereka seharusnya menjadi sumber-sumber dari pikiran bebas dan kritis.
“Menurunnya sifat kritis menjadi warning, ini soal bangsa, soal besar. Karena tanpa kritis kita akan kehilangan ide terbaik untuk membangun bangsa ini. Keunggulan lahir dari keberagaman dan keberagaman muncul dari kebebasan berpikir dan berpendapat,” ungkapnya.
Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio, melakukan riset dan menemukan publik saat ini jauh dari berpihak pada kewajaran. Menurutnya, nalar publik dan kewajaran diterjemahkan sebagai keselamatan, keselamatan untuk diri sendiri dan keselamatan untuk keluarga.
“Kalau saya baca bukunya Pak Sudirman Said, Berpihak Pada Kewajaran. Terus kemarin saya baca dokumen Akademi Jakarta. Kemudian saya merinci kembali FGD yang dilaksanakan Lembaga Survei KedaiKOPI, hasilnya jauh pada berpihak kewajaran. Saya sadari dalam diskusi ini kita semua hidup dalam ketakutan. Sehingga nalar publik tidak digunakan lagi. ketakutan kita mempengaruhi kehidupan kita secara menyeluruh,” ungkapnya.
Pria yang akrab disapa Hensat ini juga berharap bahwa dokumen tersebut dibaca oleh siapa pun calon presiden yang akan maju di tahun pada tahun 2024 nanti. Sehingga, para politisi ini akan menggunakan nalar publik dengan cukup baik. Terutama saat ini publik membutuhkan tokoh yang cerdas dan visioner.
“Mudah-mudahan para politisi yang akan maju 2024 membaca ini. Salah satu survei dari Lembaga Survei KedaiKOPI ada pergeseran bandul politik pada kriteria Capres yang disukai masyarakat, sebelumnya masyarakat ingin presiden yang merakyat. Tetapi saat ini cerdas dan visioner mengalahkan merakyat. mudah-mudahan para capres membaca, sehingga mereka menggunakan nalar publik. Dan mudah-mudahan kemunduran bersama menjadi kemajuan bersama,” pungkas Hendri.
Diskusi Dapur KedaiKOPI yang bertajuk “Nalar Publik Barang Langka?” ini diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2022 dan mengundang Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumra Ajidarma, Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, dan Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio yang dilakukan secara virtual melalui kanal Zoom dan Youtube. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil