Kritik Fadli Zon untuk Pemerintah di Hari Buku Nasional

Kamis, 17 Mei 2018 – 14:14 WIB
Presiden Joko Widodo dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sebuah pertemuan konsultasi pimpinan lembaga tinggi negara pada 2015. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengungkapkan, rendahnya minat baca masih menjadi masalah dalam dunia perbukuan di Indonesia saat ini. Sayangnya, persoalan minat baca didudukkan sebagai masalah hobi semata yang sifatnya personal sehingga tidak ada rekayasa kolektif atau struktural untuk memperbaikinya.

Fadli menyatakan hal itu sebagai catatan untuk peringatan Hari Buku Nasional setiap 17 Mei. Wakil ketua DPR yang dikenal sebagai kolektor benda-benda seni itu mengatakan, hambatan struktural terbesar bagi usaha untuk menumbuhkan minat baca di Indonesia adalah rendahnya daya beli masyarakat.

BACA JUGA: Fadli Zon Anggap Belum Perlu Aktifkan Koopssusgab

“Dibanding negara-negara berkembang lain, misalnya India, harga buku di Indonesia relatif mahal. Di India, harga buku sangat terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Bayangkan, dengan uang kurang dari Rp 50 ribu, para pelajar di India sudah bisa membeli dua eksemplar buku pelajaran. Sementara di kita, buku-buku pelajaran sekolah menengah saja harganya sudah lebih dari Rp 50 ribu, bahkan bisa ratusan ribu rupiah,” ujarnya, Kamis (17/5).

Legislator Partai Gerindra itu menambahkan, harga buku pelajaran di Indonesia tak bisa dilewatkan begitu saja. Apalagi, sekitar 65 persen pasar buku di Indonesia didominasi buku pelajaran.

BACA JUGA: Fadli Zon: KSP tak Jelas, Bubarkan Saja

Rinciannya, pangsa pasar buku mencapai 61 juta eksemplar per tahun yang terdiri dari 31 juta eksemplar buku SD, 15 juta eksemplar buku SMP, 9 juta eksemplar buku SMA, dan 5 juta eksemplar buku perguruan tinggi. “Jadi, kita punya pasar yang cukup besar,” paparnya.

Sayangnya, kata Fadli, pemerintah malah lebih memilih memberikan insentif bagi industri hiburan dan barang-barang mewah ketimbang memberi insentif bagi dunia perbukuan. Merujuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah memilih menghapus pajak hiburan dengan potential loss pajak sekitar Rp900 miliar daripada mengurangi pajak buku yang punya multiplier effect strategis.

BACA JUGA: Catatan Pedih dari Surabaya

“Mahalnya harga buku, dan masih dianggapnya buku sebagai barang mewah di negeri kita salah satunya adalah karena kebijakan-kebijakan yang tidak tepat tadi,” tuturnya.

Fadli menambahkan, buku masih dikenai PPN sebesar 10 persen. Sedangkan penulisnya dibebani pajak penghasilan (PPh) dari royalti sebesar 15 persen.

“Pajak-pajak itu telah menyebabkan insentif kepada para penulis jadi sangat kecil. Sebab, royalti kepada penulis di Indonesia paling besar biasanya hanya 10 persen dari harga buku. Pemerintah mestinya meninjau kembali pajak-pajak yang selama ini telah membebani industri perbukuan, termasuk memutus rantai monopoli impor kertas,” ulasnya.

Lebih lanjut Fadli mencontohkan ketika tahun lalu ada seorang penulis best seller terpaksa menghentikan peredaran bukunya karena menilai pajak yang harus dibayarkannya sebagai penulis sangat mahal. Dia melakukan aksi itu sebagai bentuk protes.

“Pemerintah perlu menyadari bahwa buku adalah pilar peradaban. Tak ada peradaban besar yang tidak ditopang oleh buku. Itu sebabnya kebijakan publik kita harus mendukung berkembangnya industri perbukuan dan memberikan perlindungan terhadap para penulis,” pungkasnya.(eno/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Satu Suara, Revisi UU Terorisme Pasti Cepat Beres


Redaktur & Reporter : Antoni

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler