jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi menilai, pidato Presiden Joko Widodo di hadapan sidang tahunan MPR dan di depan DPR-DPD di Jakarta, Jumat (16/8), menggambarkan visi kepemimpinan Jokowi yang akan segera memasuki episode kepemimpinan jilid II Oktober mendatang.
Hendardi menilai, substansi pidato yang disampaikan juga memiliki keterbatasan pada isu pemberantasan korupsi, daya juang pemajuan hak asasi manusia, dan penegakan hukum yang berkeadilan. Hampir sama dengan pidato Jokowi sebelumnya, Visi Indonesia yang disampaikan di Sentul, Minggu (14/7) lalu.
BACA JUGA: Sering Dikritik, Jokowi Tetap Puji Kinerja DPR
"Pada pidato di hadapan MPR, Jokowi terbatas memuji BPK yang telibat dalam beberapa keanggotaan internasional yang artifisial, tetapi tidak menyajikan bagaimana desain BPK dan visi Jokowi yang kontributif dalam pemajuan pencegahan korupsi," ujar Hendardi di Jakarta, Jumat petang.
Sementara itu, pada pidato di hadapan DPR dan DPD, Jokowi hanya memaparkan paradigma baru pemberantasan korupsi yang berorientasi pada pencegahan dengan inovasi teknologi dan birokrasi yang transparan.
BACA JUGA: Stan Pameran MPR Laris Manis Diserbu Pengunjung Sidang Tahunan MPR 2019
"Jokowi juga tidak menyampaikan visi progresif pemajuan HAM termasuk bagaimana memastikan bangsa ini merdeka dari sejarah kelam pelanggaran HAM masa lalu, meskipun pada dimensi hak ekonomi, sosial, dan budaya bobot perhatian Jokowi lebih dominan," ucapnya.
BACA JUGA: Presiden Jokowi: Pemerintah Siapkan Anggaran Gaji PPPK dan Perangkat Desa
BACA JUGA: Fadli Zon: Diplomasi Politik Luar Negeri Tak Bisa Cuma Pakai Smartphone
Sementara dalam isu penegakan hukum, selain menunjukkan perlu ketegasan dalam penegakan hukum, Jokowi terbatas menyampaikan pujian pada capaian-capaian teknis institusi MA dan peran penjaga konstitusionalisme MK.
"Jokowi tidak mengenali produktivitas MK menguji undang-undang justru karena ketidakpatuhan pembentuk undang-undang pada konstitusi dan pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi," katanya.
Meski demikian, pada bidang lain Jokowi menurut Hendardi, secara eksplisit dan bernas mengidentifikasi intoleransi, radikalisme dan terorisme dalam satu deretan kata sebagai ancaman nyata kemajuan bangsa menuju Indonesia maju dan unggul.
Penyebutan tiga tantangan itu secara berurutan menggambarkan afirmasi kepemimpinan Jokowi, bahwa intoleransi adalah hulu dari terorisme dan terorisme adalah puncak dari intoleransi.
"Visi pluralisme ini juga disinggung dalam pidato Visi Indonesia pada Juli 2019 lalu. Pengenalan Jokowi pada tantangan intoleransi-radikalisme-terorisme kemudian dijawab dengan pentingnya penguatan ideologi bangsa: Pancasila," tuturnya.
Menurut Hendardi, dalam banyak survei termasuk studi Setara Institute, ancaman terhadap negara Pancasila nyata adanya. Karena itu, sangat tepat jika tantangan intermediate dari upaya mengatasi intoleransi-radikalisme-terorisme, dengan pembudayaan Pancasila yang menuntut lompatan kreatif dalam pembinaan dan pembudayaannya.
"Visi Negara Pancasila harus menjadi mainstream dalam pemerintahan Jokowi," ucap Hendardi. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... RAPBN 2020: Anggaran Pendidikan Tembus Rp 500 Triliun
Redaktur & Reporter : Ken Girsang