Kritik Jokowi di Acara MUI, Anwar Abbas Dinilai Bajak Momen Emas Umat

Jumat, 17 Desember 2021 – 17:59 WIB
Anwar Abbas. Foto: ANTARA/Anom Prihantoro

jpnn.com, JAKARTA - Polemik tentang pertanyaan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas kepada Presiden Joko Widodo dalam acara pembukaan Kongres Ekonomi Umat Islam masih berlangsung.

Ada kalangan yang menganggap kalau Anwar menunjukkan sikap kurang adab di depan pemimpin.

BACA JUGA: Anwar Abbas Melontarkan Candaan, Presiden Jokowi Tertawa, Oh Ternyata

Ada pula yang menganggap sikap Anwar ksatria karena menyampaikan kritik langsung di depan presiden.

Namun, Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) memiliki pandangan berbeda.

BACA JUGA: Mahfud MD Bicara Tentang Anwar Abbas, Tolong Disimak Baik-baik!

"Pertanyaan dan celoteh kritis Buya Anwar secara langsung ataupun tidak langsung telah mencuri golden momen umat Islam,” ujar Bandot DM selaku koordinator Forum DKI, Jum'at (17/12)

Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang membuatnya menyebut umat Islam kehilangan golden momen akibat celoteh Anwar Abbas.

BACA JUGA: Waketum MUI Anwar Abbas: Muhammad Kece Harus Ditangkap!

Pertama, kehadiran Presiden Joko Widodo di acara Kongres Ekonomi Umat Islam merupakan golden moment.

Kehadiran Presiden mestinya menunjukkan perhatian Presiden terhadap isu ekonomi umat Islam.

"Kesempatan ini sekaligus merupakan momen bagi MUI untuk menyampaikan perkembangan dan kondisi umat Islam terkini," katanya.

Kedua, lanjut dia, muatan pertanyaan yang disampaikan oleh Anwar terlalu umum dan klise.

Bahkan, tidak secara langsung menyentuh ekonomi umat.

"Setidaknya ada 3 poin pertanyaan Anwar, kesenjangan kesejahteraan, kesenjangan penguasaan lahan, dan kesenjangan akses perbankan untuk pengusaha mikro," ucapnya.

"Pertanyaan atau kritik Buya Anwar ini terlalu klise, karena pada dasarnya ini adalah persoalan setiap presiden, terutama di era Reformasi. Jokowi pun menjawab dengan lugas pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahkan tanpa teks," tambahnya.

Namun, Forum DKI menilai akibat dari celoteh tersebut, momentum untuk memberikan masukan kepada presiden jadi tidak maksimal.

Bahkan, akibat polemik itu ruang publik jadi riuh oleh isu tersebut.

"Sehingga, sembilan resolusi jihad ekonomi yang merupakan hasil dari konferensi ekonomi umat islam menjadi tenggelam nyaris tak terdengar," ungkapnya.

Sembilan resolusi yang disepakati tersebut adalah: Gerakan produksi dan belanja produk nasional; Menjadikan Indonesia sebagai pusat halal dunia; Optimalisasi zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf atau ziswaf sebagai penggerak ekonomi umat.

"Jika menengok ke belakang, kegaduhan akibat pernyataan Buya Anwar bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya dia juga pernah viral akibat pernyataan bubarkan saja republik Indonesia saat merespons isu bubarkan MUI," paparnya.

Menurut Bandot, untuk ulama seperti Buya Anwar, bukan polemik di mimbar media massa yang dibutuhkan.

Tetapi, nasihat tertutup yang disampaikan secara akrab kepada penguasa.

Sebab, adab menyampaikan pendapat kepada penguasa adalah dengan menggenggam tangan penguasa dan menyampaikan dengan lembut.

Apalagi, sesuai pengakuannya, Buya Abbas memiliki akses untuk berjumpa dengan Presiden Joko Widodo.

"Peran MUI dan ulama yang diharapkan oleh umat tentunya bisa menjadi penyambung lidah umat. Ulama yang mampu menyampaikan persoalan umat ke penguasa, sekaligus menjadi pembela umat saat menghadapi penguasa. Namun, peran tersebut tidak bisa digabungkan menjadi oposisi. Karena, peran Ulama sebaiknya adalah penengah," imbuhnya.

Dia menyatakan, jika ingin mengagungkan MUI, maka Anwar Abbas mesti memposisikan organisasi tersebut sebagai penasihat penguasa dalam urusan keumatan.

"Penyampaian nasihat pun seyogyanya mengikuti amanah Rasulullah, disampaikan dengan sopan dan tertutup. Hal ini selain amanah agama, juga untuk mencegah spekulasi dan mencegah politisasi terhadap MUI," tuturnya.

Salah satu peran ulama yang sangat diperlukan saat ini, kata dia, adalah memberikan kesejukan di tengah situasi politik yang mulai memanas dan meruncing belakangan ini.

“Namun, sekiranya Buya Anwar menganggap pemerintahan Jokowi sudah tidak sesuai prinsip-prinsip keagamaan yang diyakininya, Buya bisa memilih cara elegan Buya Hamka yang memilih keluar dari MUI, karena tidak mau dipaksa pemerintah Orde Baru untuk membatalkan fatwa larangan bagi umat Islam untuk ikut perayaan natal bersama,” pungkasnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler