Labuan Bajo dan Pribumi Malas

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Senin, 15 Mei 2023 – 18:41 WIB
Bendera negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) serta Timor Leste dipasang di salah satu tempat kegiatan rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di The Golo Mori Convention Center di Golo Moli, Labuan Bajo, Senin (8/5/2023). Foto: ANTARA/Shofi Ayudiana

jpnn.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat gembira dan semringah dalam acara gala dinner Konferensi Tingkat Tinggi Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (KTT ASEAN) di Labuan Bajo pada Kamis lalu (11/5).

Saking gembiranya, Presiden Jokowi sampai ikut berjoget mengikuti irama lagu ’Gemu Famire’ yang sangat populer di kalangan emak-emak penggemar senam.

BACA JUGA: Dominasi AS yang Memudar & Dedolarisasi

Presiden Jokowi juga penuh senyum ketika menjamu para pemimpin ASEAN berpiknik dengan menaiki pinisi dan menikmati keindahan pemandangan matahari tenggelam.

Labuan Bajo adalah tempat menuju habitat komodo, karnivor keturunan dinosaurus yang hidup jutaan tahun silam.

BACA JUGA: Raja Charles & Dosa Kolonialisme

Tentu Jokowi tidak ingin membawa ASEAN mundur menjadi organisasi purbakala seperti dinosaurus. Sebaliknya, Jokowi ingin menjadikan Indonesia sebagai motor penggerak perubahan ASEAN menuju masa depan.

Sebagai pemegang kepresidenan ASEAN, Indonesia memelopori gerakan ekonomi besar dengan mendorong upaya ‘dedolarisasi’’ di kawasan Asia Tenggara. Dedolarisasi adalah gerakan ekonomi untuk mengurangi pemakaian Dolar Amerika dalam transaksi ekonomi, sekaligus mempromosikan mata uang lokal dan regional sebagai gantinya.

BACA JUGA: Jokowi, Memang Sakti atau Bebek Lumpuh?

Gerakan ini sedang marak di berbagai penjuru dunia, dipelopori oleh negara-negara ekonomi besar di luar Amerika dan Eropa. Salah satu yang paling menonjol adalah negara-negara yang tergabung dalam BRICS, yang terdiri dari 5 negara ekonomi terbesar di dunia, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.

Dedolarisasi adalah pemberontakan terhadap hegemoni Amerika yang sudah menguasai ekonomi dunia selama 75 tahun setelah Perang Dunia Kedua. Selama ini, Dolar Amerika menjadi mata uang dunia yang dipakai dalam transaski perdagangan di seluruh dunia.

Sejak menjadi pemenang Perang Dunia Kedua pada 1944, Amerika muncul sebagai kekuatan ekonomi global sekaligus menjadi pemimpin peradaban dunia.

Uni Soviet yang ikut menjadi pemenang perang membuat blok sendiri bersama negara-negara komunis di Eropa Timur. Persaingan antara kapitalisme-liberalisme Amerika melawan komunisme Uni Soviet memunculkan perang dingin yang berlangsung hampir setengah abad.

Persaingan itu berakhir setelah Uni Soviet ambruk pada 1990. Blok komunis runtuh, sedangkan Amerika menjadi adidaya tunggal dunia.

Negara Asia-Afrika memperoleh kemerdekaannya pada periode 1945 sampai 1950. Mereka lepas dari kolonialisme negara-negara Eropa yang dipelopori oleh Inggris, Belanda, Portugal, Spanyol, dan beberapa negara kolonial lainnya di Benua Biru.

Selama ratusan tahun, negara-negara Asia menjadi jajahan Eropa dan mengalami eksploitasi ekonomi maupim budaya yang parah.

Di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina, kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi dan mengeruk habis kekayaan sumber daya alam, tetapi juga menghancurkan struktur sosial dan budaya negara jajahan.

Studi poskolonialitas klasik oleh Syed Hussein Alatas yang dituangkan ke dalam buku The Myth of The Lazy Natives (1977) mengungkap bagaimana penjajah Eropa menjarah kekayaan alam Asia Tenggara dan menghancurkan struktur sosial di negara-negara jajahan.

Negara-negara kolonial itu mengeruk kekayaan alam mulai dari hasil bumi sampai hasil tambang tanpa memberikan kesempatan kepada pribumi untuk mendapatkan pengetahuan melalui alih teknologi.

Perusahaan trans-nasional penjajah, seperti VOC di Indonesia maupun East Indian Company di Malaysia dan India, tidak mendirikan pabrik pengolahan produksi di negara jajahan. Mereka hanya mengeruk sumber daya alam lokal dan mengirimnya ke negara penjajah.

Dengan demikian, tidak ada alih teknologi maupun alih pengetahuan manajemen dari penjajah ke negara jajahan.

Penjajah kolonial secara sengaja menghancurkan tatanan sosial dengan menciptakan sterotype bahwa penduduk pribumi adalah pemalas. Syed Hussein Alatas menggambarkan dengan detail bagaimana orang-orang Eropa menggambarkan pribumi Filipina, Malaysia, dan Indonesia sebagai orang-orang malas yang hanya ingin menikmati hidup tanpa mau bekerja keras.

Dengan stereotipe ini negara penjajah menempatkan penduduk pribumi sebagai warga negara kelas tiga di bawah bangsa Eropa dan bangsa Asia asing. Dalam kasus Indonesia, pribumi berada pada kasta ketiga setelah bangsa Eropa dan China.

Penjajah juga menghancurkan struktur kelas menengah yang terdiri dari pedagang dan entrepreneur, lalu menggantinya menjadi kelompok amtenar yang bergantung kepada pemerintah. Kelas menengah entrepreneur ini sekarang langka di Indonesia akibat dari penghancuran yang dilakukan oleh kolonialisme.

Dengan kondisi demikian maka dominasi Amerika dan Eropa terhadap negara-negara bekas jajahan tetap berlangsung, meskipun secara formal negara-negara jajahan itu sudah merdeka. Dalam bahasa Syed Hussein Alatas, kolonialisme sudah berakhir, tetapi imperialism tetap berjalan.

Imperialisme ekonomi itulah yang dijalankan oleh Amerika selama 75 tahun terakhir. Sekarang, mulai tumbuh kesadaran untuk melawan imperialisme itu.

Dedolarisasi adalah wujud gerakan kesadaran itu. Kondisi ekonomi internal Amerika yang sedang guncang membuat gerakan Dedolarisasi makin mendapatkan momentum.

Gerakan Dedolarasi juga mendapatkan momentum yang kuat dari kebangkitan ekonomi China yang diperkirakan akan mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai adidaya dunia dalam beberapa dekade ke depan.

Akankah Dedolarisasi menjadi akhir petualangan imperialisme Amerika?

Prof. Kishore Mahbubani meyakini pergeseran itu akan terjadi. Dalam studinya The New Asian Hemisphere (2008), Mahbubani menunjukkan banyak bukti pergeseran kekuatan Amerika ke Asia, terutama munculnya China sebagai mesin ekonomi baru.

KTT Labuan Bajo menjadi saksi sejarah penting bagi munculnya Asia sebagai poros kekuatan baru dunia. KTT Labuan Bajo sekaligus bisa menjadi bukti bahwa para pribumi di Indonesia dan Asia Tenggara bukan pemalas.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pajak dan Demokrasi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler