jpnn.com, JAKARTA - Pengalihan lahan rawa menjadi area pertanaman produktif untuk komoditas padi perlu dievaluasi. Selain rawan kegagalan program, pengalihan lahan rawa pelaksanaannya melanggar perundangan lingkungan hidup.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mengatakan, pemerintah seharusnya mengevaluasi berkurangnya lahan pertanian di Indonesia.
BACA JUGA: Syngenta Dukung Pertanian Berkelanjutan di Indonesia
Sebab, banyak lahan pertanian berkurang di Indonesia karena dikoversikan ke industri lainnya.
“Salah langkah kalau menggunakan rawa sebagai lahan pertanian. Kalau pemanfaatan rawa karena keterbatasan lahan, itu karena banyak lahan tani yang menjadi areal pertambangan,” kata Melky saat dihubungi, Jumat (19/10).
BACA JUGA: Waduh, Konsumsi Daging Asia Mempercepat Kerusakan Lingkung
Hasil kajian Jatam menunjukkan konsesi industri ekstraktif mencakup 19 persen dari lahan pertanian padi Indonesia yang sudah dipetakan.
Sebanyak 23 persen lahan yang diidentifikasi mampu diolah untuk pertanian padi.
BACA JUGA: 32 Ribu Petani Beralih jadi Pekerja Bangunan
Sementara itu, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu A Perdana mengingatkan program pengalihan lahan nonproduktif yaitu rawa menjadi area pertanian pernah gagal di Orde Baru.
Wahyu menuturkan, pada zaman Soeharto, proyek lahan gambut satu juta hektar berakhir dengan kegagalan.
Rawa gambut merupakan ekosistem esensial yang terbentuk jutaan tahun, bukan hanya memiliki fungsi hidrologis, tetapi juga sebagai penyimpan karbon, jika rusak maka akan menyebabkan perubahan iklim.
“Pada akhirnya perubahan iklim akan berdampak pada produksi pertanian,” jelas Wahyu.
Oleh karena itu, Wahyu menyarankan pemerintah hati-hati mengaplikasikan program pengalihan lahan sebab bisa bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Perlu belajar dari pengalaman sebelumnya,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan pada 1995 melalui Keppres No 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare di Kalimantan Tengah, tidak berakhir mulus, bahkan hampir setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi.
Hal ini juga bisa mengena pada pemanfaatan lahan rawa. Kemampuan ekosistem, kata Wahyu, tidak bisa dipandang terpisah-pisah.
Menurutnya, fungsi dan dampaknya terhadap ekosistem dan produksi pangan harus dipertimbangkan secara matang.
"Mengubah fungsi ekosistem bukan hanya berdampak pada perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan kerawanannya terhadap bencana ekologis, yang pada akhirnya berdampak pada produksi pangan. Banyak praktik tanaman monokultur skala luas akan mengancam ekosistem rawa gambut,” pungkas dia. (tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lahan Pertanian Menyusut, Dua Penyebabnya
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga