jpnn.com, JAKARTA - Syngenta, sebuah perusahaan agribisnis global menunjukkan komitmennya untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) di Indonesia.
“Syngenta telah hadir melayani petani di Indonesia lebih dari 54 tahun. Kami ingin terus berkontribusi dalam memajukan pertanian di Indonesia. Kami hadir untuk mendukung program- program pemerintah dalam mencapai swasembada dan ketahanan pangan.Kami mendukungnya melalui investasi, penelitian dan pengembangan, teknologi, penyediaan benihdan perlindungan tanaman, serta pelatihan praktik pertanian yang baik,” ujar CEO Syngenta, Erik Fyrwald saat melakukan kunjungan perdananya ke Indonesia belum lama ini.
BACA JUGA: Guru Besar IPB Apresiasi Kinerja Sektor Pertanian
“Kedatangan saya di Indonesia kali ini untuk berdiskusi dengan berbagai mitra dalam upaya membangun visi bersama untuk masa depan pertanian global yang berkelanjutan. Melalui dialog dan pertemuan-pertemuan, kami bisa mengetahui lebih banyak tantangan-tantangan di sektor pertanian untuk merumuskan secara tepat peranan dan kontribusi yang perlu Syngenta tingkatkan untuk mewujudkan visi pembangunan pertanian masa depan itu,” tambah Erik.
Dalam kunjungan dua hari di Indonesia, 8-9 September 2018, Erik mendapat kesempatan bertemu dan berdialog dengan para pemangku kepentingan di bidang pertanian seperti para petani, otoritas pertanian, mitra bisnis, peneliti, dan lain-lainnya.
BACA JUGA: Himaskultura Nilai Mentan Andi Amran Propetani dan Konsumen
Kunjungan ini juga merupakan bagian dari rangkaian kunjungan kerjanya ke berbagai negara di seluruh dunia selama tiga bulan ke depan. Kunjungan tersebut dalam rangka konsultasi dan dialog secara langsung dengan para pemangku kepentingan dari seluruh dunia, sebagai upaya membangun visi bersama untuk masa depan pertanian global.
“Walaupun Indonesia menghadapi tantangan di bidang pertanian yang sama dengan negara-negara lainnya, namun dengan lahan pertanian yang subur, populasi yang terus meningkat, serta ketersediaan sumberdaya alam yang melimpah, Indonesia menyimpan potensi pertanian besar di Asia Tenggara,”ujarnya.
BACA JUGA: Kementan Optimalkan Irigasi Pertanian
Dalam kesempatan kunjungan kerja ini, Erik Fyrwald juga menjawab pertanyaan-pertanyaan atas perubahan manajemen Syngenta. Seperti telah publik ketahui, sejak tahun lalu, 100 persen saham perusahaan asal Swiss ini, telah dibeli oleh ChemChina.
“Dengan perubahan kepemilikan mayoritas saham, Syngenta sekarang sepenuhnya perusahaan swasta. Kami sekarang menjadi lebih leluasa melakukan inovasi dan investasi. Contohnya dalam satu tahun terakhir ini, kami telah telah melakukan akuisisi empat perusahaan yakni satu perusahaan benih di Brasil, satu perusahaan hortikultura, dan dua perusahaan digital untuk program digitalisasi pertanian.
Hal ini menunjukkan bahwa justru setelah adanya perubahan kepemilikan,Syngenta menjadi semakin agresif berinvestasi. Untuk lima tahun ke depan, akan lebih banyak investasi akan kami lakukan,” ujar Erik yang menjadi CEO Syngenta sejak Juni 2016.
Di Indonesia, aktivitas bisnis Syngenta saat ini didukung satu pusat riset dan pengembangan berskala internasional terletak di i Cikampek, Jawa Barat; satu pabrik perlindungan tanaman di Bogor, Jawa Barat; dan satu pabrik pengolahan benih di Pasuruan, Jawa Timur, dengan total investasi 27 juta dolar AS.
Di pasar pertanian, salah satu produk Syngenta paling populer yakni benih Jagung Hibrida NK Perkasa dan berbagai produk perlindungan tanaman. Hadir di Indonesia sejak 1960-an, salah satu produk terbaru Syngenta yakni herbisida Apiro yang diluncurkan ke pasar April lalu.
Digitalisasi Pertanian
Perubahan kepemilikan meningkatkan anggaran tahunan riset Syngenta. Untuk tahun 2018 ini, Syngenta menganggarkan biaya riset hingga 1.3 miliar dolar AS secara global, dengan fokus program digitalisasi pertanian.
Menurut Erik, teknologi digital pertanian kini telah mulai berkembang di Amerika Serikat. Dimulai dari traktor yang dilengkapi dengan sistem digital, sehingga bisa mengetahui berapa jumlah tanaman yang harus ditanam pada suatu lahan, kondisi tanahnya seperti apa, berapa pupuk yang akan digunakan, bahkan bisa mengetahui tren preferensi konsumen sehingga petani dapat memproduksi produk-produk pertanian yang disukai pasar.
Banyak juga mesin-mesin pertanian telah dilengkapi dengan citra foto satelit, sehingga bisa memprediksi iklim, kondisi tanah, cuaca, dengan akurasi dan presisi tinggi.
“Kami juga sedang mengembangkan pemanfaatan drone untuk pertanian. Dengan drone diterbangkan di atas lahan pertanian, kita bisa melihat kondisi tanaman, serangan hama dan penyakit tanaman, kebutuhan nutrisi tanaman, dan lain-lain. Juga e-commerce produk pertanian,” ujar Erik Fyrwald.
Deregulasi Hortikultura
Meski Syngenta telah hadir di Indonesia selama puluhan tahun, Erik Fyrwald mengakui masih memiliki sejumlah kendala dalam bisnis Syngenta di Indonesia. Terutama untuk memasarkan produk benih sayuran (hortikultura) seperti tomat, cabe, jagung manis, dan melon.
“Kami juga berbicara dengan para mitra bisnis mengenai kemungkinan dibukanya kembali bisnis benih sayuran di Indonesia. Selama ini kami merasa terhambat dengan adanya batas maksimum investasi asing sebesar 30 persen. Padahal dibutuhkan investasi yang sangat besar untuk kegiatan dan penelitan benih hortikultura. Oleh karena itu, kami berharap Pemerintah Indonesia bisa meninjau kembali undang-undang hortikultura itu,” ujar Erik.
Sesuai dengan Undang-Undang Hortikultura Tahun 2013, perusahaan asing hanya diijinkan menguasai saham maksimal 30 persen dalam bisnis hortkultura. Peraturan inilah yang menurut Syngenta masih membatasi peluang bisnisnya di Indonesia.
Erik mengharapkan adanya deregulasi undang-undang hortikultura. Karena dengan pengalaman research & development Syngenta yang panjang, kualitas benih sayuran yang dijual dijamin akan menguntungkan petani di Indonesia. Dengan benih berkualitas, maka produktifitas akan meningkat. Bahkan, Indonesia berpeluang besar bisa mengekspor produk hortikultura ke manca negara.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sektor Pertanian Jadi Perhatian KPK dan Istana
Redaktur & Reporter : Friederich