Lahir di Kapal, Mayat Bayi Dibuang ke Laut

Kamis, 21 Mei 2015 – 06:39 WIB
KEMANUSIAAN: Nelayan Aceh menggunakan perahunya untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya, Myanmar, Rabu (20/5). Foto: Binsar Bakkara/AP Photo

jpnn.com - JULOK - Samaita Beighom, 18, salah seorang pengungsi Rohingya, hanya bisa meringis dan menggertakkan gigi berulang-ulang di atas ranjang kamar persalinan Puskesmas Julok, Aceh Timur. Tampak kesedihan yang sangat dari air matanya yang tidak henti mengucur.

Perempuan itu mengalami pendarahan di bagian alat vitalnya. Saat di kapal, Samaita baru melahirkan. Namun, tragis. Tidak adanya alat untuk membantu persalinan membuat bayinya meninggal. Mayatnya pun langsung dibuang ke laut. Perempuan etnis Rohingya itu pun frustrasi.

BACA JUGA: Lagi, Aksi Heroik Nelayan Aceh Selamatkan Imigran Rohingya

Dindar Beigom, 16, juga tengah hamil lima bulan. Untung, janinnya bisa diselamatkan. Tercatat, setelah diselamatkan nelayan, 31 imigran yang mengalami dehidrasi parah langsung dibawa ke puskesmas.

Suasana haru terlihat saat mereka memasuki bus dan meninggalkan warga yang berkumpul di sekitar puskesmas. Warga dan para imigran saling melambaikan tangan dan menangis haru sebagai tanda melepas kepergian.

BACA JUGA: Demo Turunkan Jokowi, HMI Kecam Aksi Represif Polisi

’’Saking lemas dan kurusnya badan mereka, ya Allah, saya pun nangis waktu pertama mereka datang ke sini,’’ ungkap Ainur Mardiah, perawat UGD Puskesmas Julok.

Para pengungsi yang masih tampak sehat dibawa ke Polres Aceh Timur untuk diangkut ke Langsa. Pukul 12.00, mereka pun berangkat. Pemkab Aceh Timur berencana menempatkan para pengungsi tersebut di gedung Balai Pelatihan Seuriget, Langsa.

BACA JUGA: Hai Para Pendaki... Inilah Pesan Juru Kunci Gunung Merapi

Meski berada di wilayah administratif Pemerintah Kota Langsa, bangunan dan lahan itu mutlak milik Pemkab Aceh Timur. ’’Kami tidak punya aset yang bisa menampung pengungsi ini di Aceh Timur. Karena itu, kami tempatkan di sana. Lagi pula, aset tersebut kan milik kami juga,’’ kata Wakil Bupati Aceh Timur Syahrul bin Syamaun.

Syahrul ikut mengawal rombongan pengungsi yang menumpang lima truk dan lima bus. Saat di perbatasan Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Timur, Syahrul dan rombongan terkejut karena dihentikan anggota Polres dan Pemkot Langsa. Debat alot pun terjadi. Akhirnya, para pengungsi menepi dan menunggu di tepi batas kota.

’’Kami tidak bisa memberikan akses untuk masuk. Sebab, ini perintah wali kota. Saat ini, kami masih punya tanggungan 600 pengungsi di Kuala Langsa. Wali kota tidak sanggup jika harus ditambah,’’ jelas Wakapolres Langsa Kompol Hadi Saeful.

’’Lagi pula, bantuan pengungsi kan pakai uang negara. Amat sayang jika itu diberikan semua kepada mereka. Toh, kami pun masih banyak yang susah,’’ lanjutnya.

Syahrul pun langsung membantah. ’’Kan sudah kami tegaskan, soal pembiayaan, semua kami tanggung. Tim medis dan pengamanan juga dari kami,’’ tegasnya.

Kasatpol PP Kota Langsa Yudi Febriyansyah Putra menegaskan, Pemkab Aceh Timur tidak boleh menempatkan pengungsi di Kota Langsa, meskipun menggunakan aset milik Pemkab Aceh Timur. ’’Secara administratif, itu kan daerah kami. Jadi, tidak bisa seenaknya saja. Mereka harus izin dulu. Jika kami tidak mengizinkan, ya berarti tidak boleh,’’ ujarnya.

Setelah menunggu lebih dari tujuh jam, keputusan menyedihkan memaksa 399 pengungsi Myanmar dan 43 pengungsi Bangladesh itu balik menuju Aceh Timur. Mereka lantas ditempatkan di bekas pabrik kertas di Desa Bayeun Keude, Kecamatan Rantau Selamat, Kabupaten Aceh Timur. Pemkot Langsa dengan tegas tidak mengizinkan mereka masuk kota.

Pingpong antara dua pemerintah daerah tersebut mengakibatkan para pengungsi semakin menderita. Lebih dari tujuh jam mereka berdiam diri di dalam bus dan truk yang sumpek, sesak, serta panas.

Saat pemerintah daerah setempat setengah hati menolong, warga di sekitar perbatasan tapal batas kota tergerak untuk mengulurkan tangan. Lewat pengeras suara masjid, lamat-lamat terdengar lantunan ayat Alquran dan hadis yang memerintahkan untuk membantu para pengungsi yang disuarakan para pemuka agama. Bantuan pun berdatangan. Mulai pakaian, minuman, makanan, dan barang-barang lain seperti rokok. Warga membagikannya secara sukarela.

Cuaca panas membuat Aisyah, 25, pengungsi Rohingya, bergeser duduk ke pintu bus. Dia hanya melamun dan menunduk. Tiba-tiba, air matanya bercucuran setelah diberi sekresek makanan oleh Nenek Meutia. ’’Ingat dia, saya jadi ingat anak saya,’’ kata Meutia terharu. (wam/owi/bil/c5/sof)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Adakah Hal Mistis di Balik Tragedi Kawah Merapi? Berikut Kata Putra Mbah Marijan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler