jpnn.com - Gedung SD PL Servatius Gunung Brintik lokasinya di tengah kompleks Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota, Semarang, Jateng. Batu nisan dan pohon kamboja mengelilingi sekolah ini.
AFIATI TSALATSATI
BACA JUGA: Warga Keluhkan Aroma Tak Sedap, PT Havindo Siap Mendengar
MENUJU lokasi SD PL Servatius Gunung Brintik melewati jalan paving yang tidak terlalu lebar. Jalannya naik turun.
Saat musim hujan, jalannya cukup licin. Jalan itu hanya bisa dilewati pejalan kaki, pengayuh sepeda dan pengendara motor.
BACA JUGA: Jokowi: Semua Anak Indonesia Harus Bersekolah
Mobil hanya sampai di jalan besar yang membelah makam. Di kanan-kiri penuh batu nisan. Di antara batu nisan itu, para siswa sekolah ini bisa bermain saat jam istirahat maupun sepulang sekolah.
Salah satu guru SD PL Servatius Gunung Brintik, Veronica Suharti, mengatakan, aktivitas di sekolahnya tak beda jauh dengan sekolah lain. Hanya memang, letak sekolah di tengah pemakaman umum.
BACA JUGA: Universitas PGRI Semarang Dukung Pengembangan Desa Wisata
“Pemandangan sehari-hari sekitar sekolah ya batu nisan,” katanya kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Dikatakan, sekolah di Jalan Dr Sutomo No 4 Semarang ini memiliki 118 siswa. Di kompleks sekolah ini juga terdapat Taman Kanak-kanak (TK) yang letaknya di bagian paling bawah.
Fasilitas lain yang dimiliki adalah laboratorium hingga ruang pembelajaran dan praktikum. Kelebihan sekolah ini di atas perbukitan, sehingga bisa memandang lepas Kota Semarang dari atas.
Diakui Veronica, beberapa kejadian tak wajar dialami. Misalnya, lampu di sekolah itu mendadak padam. Padahal di permukiman warga sekitarnya tidak.
“Pernah saat sedang persiapan akreditasi sekitar Maghrib, lampu tiba-tiba padam. Setelah kita istirahat dan berdoa bersama, lampu menyala lagi,” tuturnya.
Veronica menjelaskan, sebagai umat Katolik setiap jam 12.00, di sekolah itu dilakukan Doa Malaikat Tuhan.
Beberapa kali, jika jam 12.00 dan karyawan serta guru masih bekerja tiba-tiba printer yang digunakan macet.
“Awal-awal sempat kaget dengan beberapa kejadian itu. Lama-lama jadi terbiasa. Kami bersyukur karena tidak sampai mengganggu,”katanya.
Meski demikian, kejadian di luar nalar itu tidak menyurutkan semangat para guru untuk memberikan pendidikan yang berkualitas.
Sebab, sebagian besar murid SD PL Gunung Brintik berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Sehingga membutuhkan bimbingan moral dan etika, selain pendidikan formal.
“Sebagian siswa kita juga bekerja, mereka ada di jalanan. Ini coba kita ubah agar fokus ke sekolah,” sambung Waka Kesiswaan SD PL Servatius Gunung Brintik, Sunaryo.
Sunaryo menyebutkan, tantangan terbesar mengajar di sekolah tersebut justru bukanlah hantu atau areal pemakaman yang menyeramkan, melainkan, motivasi belajar siswa.
Bahkan, ada siswanya yang hanya sekolah selama satu hari, kemudian selama enam bulan selanjutnya membolos. Tak hanya itu, ada pula anak berusia 13 tahun yang baru mendaftar di kelas 1.
“Prinsip kami adalah selain pendidikan, kami juga harus menanamkan semangat, mental, dan etika agar siswa menjadi lebih baik,” katanya.
Dia mengatakan, perubahan tersebut sudah tampak meski belum maksimal. Beberapa siswa yang dulunya berada di jalanan, mulai dibekali keterampilan membuat kerajinan dan rosario.
Pendampingan tersebut hasil kerja sama dengan Dinas Sosial Kota Semarang dan Yayasan Setara.
“Terakhir juga dengan pembinaan dari Puspa Jateng, semoga bermanfaat bagi anak-anak dan semakin tinggi minatnya untuk belajar,” harapnya.
Salah satu siswa kelas V, Rama, mengatakan bagian terseram di sekolahnya ada di toilet. Dia mengaku pernah mendengar suara perempuan ketika kencing. “Ya takut, tapi memang sekolah di sini ya yang penting belajar,” katanya.
Rama sendiri biasa bermain di kawasan TPU Bergota. Saat istirahat sekolah maupun sepulang sekolah, ia biasa bercengkrama bersama teman-temannya di atas batu nisan.
Mereka tetap ceria dalam keterbatasan, dan tetap memiliki semangat belajar yang tinggi. (*/aro)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dewi Sandra dan Filosfi Batik Cinta dari Semarang
Redaktur & Reporter : Soetomo