jpnn.com, JAKARTA - Selama periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, keberadaan BUMN menjadi ujung tombak percepatan pembangunan, khususnya infrastruktur. Di antaranya, tuntasnya jalan tol TransJawa yang tersambung hingga Surabaya, MRT Jakarta, LRT Palembang, serta bandara dan pelabuhan.
Sayangnya, kesan BUMN sebagai ajang bagi-bagi jabatan bagi pendukung kekuasaan serta sumber dana penguasa masih lekat dalam pandangan masyarakat. Erick Thohir yang didapuk oleh Jokowi sebagai Menteri BUMN pada periode kedua melancarkan berbagai jurus untuk memperbaiki BUMN.
BACA JUGA: Cara Kementerian BUMN Mengembangkan Karier Putra Papua
Langkah terbaru Erick adalah menata ulang keberadaan staf ahli di lingkungan BUMN, melalui surat edaran yang ditujukan kepada jajaran direksi, komisaris, dan pengawas BUMN. Surat edaran tersebut bernomor SE-9/MBU/08/2020, tertanggal 3 Agustus 2020.
Terbitnya surat edaran tersebut sempat menimbulkan pro dan kontra. Peneliti Senior Maarif Institute, Endang Tirtana mengatakan, sebelumnya terdapat larangan untuk mengangkat posisi staf ahli atau staf khusus dan sejenisnya di BUMN.
BACA JUGA: Marwan DPR Setuju Pemberian PMN untuk BUMN Bidang Infrastruktur, Ini Alasannya
"Pada masa Menteri BUMN Dahlan Iskan, larangan tersebut dituangkan dalam surat edaran bernomor S-250/MBU.Wk/2011 tertanggal 5 Desember 2011, yang ditandatangani oleh Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin," katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (8/9).
Dalam poin empat, disebutkan bahwa direksi, komisaris, dan pengawas BUMN tidak diperkenankan mengangkat staf ahli. Keberadaan staf ahli tersebut harus ditiadakan paling lambat pada 1 Januari 2012, sedangkan staf ahli yang diangkat oleh pejabat di bawah direksi paling lambat 1 Juli 2012.
BACA JUGA: DPR Ragukan Pertamina Menjadi BUMN Khusus Hulu Migas, Begini Alasannya
Larangan tersebut sempat dilonggarkan pada masa Menteri BUMN Rini Soemarno, melalui surat edaran bernomor SE-04/MBU/09/2017 tertanggal 29 September 2017. Larangan untuk mengangkat staf ahli yang bersifat permanen di lingkungan BUMN tetap dicantumkan dalam edaran tersebut.
"Tetapi pada poin dua, diberikan pengecualian bagi pengangkatan tenaga ahli untuk tugas-tugas yang bersifat ad hoc (personal konsultan) untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, untuk jangka waktu tertentu, dengan output tertentu, selama dimungkinkan berdasarkan ketentuan anggaran dasar," jelas Endang.
Selanjutnya pada poin tiga, dia mengungkapkan, direksi BUMN agar melaporkan kepada Menteri BUMN mengenai ada tidaknya staf ahli, staf khusus, dan/atau sejenisnya yang dipekerjakan di BUMN masing-masing terhitung sejak 1 Juli 2012 dan penyelesaiannya (apabila ada), paling lambat 30 Oktober 2017.
Endang menerangkan, aturan ini membuat tidak jelas keberadaan staf ahli di BUMN yang sifatnya ad hoc. Sehingga tidak ada batasan masa kerja, berapa orang jumlahnya, berapa penghasilan bisa didapatkan, tidak jelas posisinya melapor ke mana dan tidak ada kriteria yang jelas.
Kini Erick menetapkan sejumlah aturan soal keberadaan staf ahli di lingkungan BUMN. Secara umum, dalam rangka mendukung tugas direksi BUMN, diperlukan staf ahli dalam memberikan masukan dan pertimbangan terhadap permasalahan di perusahaan.
"Maksud dan tujuan dari kebijakan tersebut adalah agar direksi BUMN dalam menjalankan tugas dan fungsinya mendasarkan pada hasil analisis yang spesifik dari pihak yang independen dan kompeten di bidangnya," ungkapnya.
Endang mengatakan, setidaknya ada tujuh poin penting dari kebijakan Erick terkait staf ahli di BUMN. Pertama, direksi BUMN dapat mempekerjakan staf ahli yang diangkat oleh direksi dengan jumlah sebanyak-banyaknya 5 orang, dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan perusahaan. Selain direksi BUMN dilarang mempekerjakan staf ahli.
"Kedua, staf ahli bertugas memberikan analisis dan rekomendasi penyelesaian atas permasalahan strategis dan tugas lainnya di lingkungan perusahaan berdasarkan penugasan yang diberikan oleh direksi," tambahnya.
Kemudian ketiga, penghasilan yang diterima staf ahli berupa honorarium yang ditetapkan oleh direksi dengan memperhatikan kemampuan perusahaan, dan dibatasi sebesar-besarnya Rp 50 juta per bulan serta tidak diperkenankan menerima penghasilan lain selain honorarium tersebut.
Keempat, masa jabatan staf ahli dibatasi paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang hanya satu kali selama 1 tahun masa jabatan, dengan tidak mengurangi hak direksi untuk memberhentikan sewaktu-waktu.
"Kelima, staf ahli tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai staf ahli di BUMN lainnya, direksi atau komisaris/pengawas di BUMN dan anak perusahaan BUMN, atau sekretaris komisaris/pengawas di BUMN dan anak perusahaan BUMN," kata Endang.
Keenam, direksi BUMN wajib menyampaikan usulan pengangkatan staf ahli secara tertulis kepada Kementerian BUMN melalui Deputi Bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Teknologi, dan Informasi guna mendapatkan persetujuan.
Ketujuh, dengan diterbitkannya surat edaran ini maka surat Menteri BUMN sebelumnya tahun 2011 dan 2017 tentang larangan mempekerjakan staf ahli, staf khusus, dan/atau sejenisnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
"Apa yang dilakukan oleh Erick adalah bagian dari penataan BUMN agar tercipta transparansi dan akuntabilitas. Selain itu untuk mengevaluasi dan mengontrol secara jelas kerja-kerja staf ahli yang selama ini tidak formal, sehingga sulit untuk mengukur kinerjanya," jelas Endang.
Dia menilai, keberadaan staf ahli membantu direksi BUMN dalam memberikan pandangan untuk mengambil kebijakan strategis yang menguntungkan perusahaan. Langkah Erick merupakan bagian dari upaya penguatan BUMN, sehingga bisa tumbuh menjadi kekuatan dan penopang perekonomian. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil