LaNyalla Bicara Pentingnya Utusan Golongan di MPR

Senin, 12 Juni 2023 – 18:53 WIB
Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti menghadiri FGD di Universitas Hasanuddin, Makassar. Foto: Tim DPD

jpnn.com - MAKASSAR - Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai kehadiran utusan golongan sangat penting dalam mengembalikan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa, dengan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi.

Menurutnya, utusan golongan membuat demokrasi menjadi berkecukupan, karena menjamin keterwakilan secara kualitatif.

BACA JUGA: Ada Wacana Hadirkan Utusan Golongan di MPR RI, Bamsoet Berkata Begini

LaNyalla menyampaikan hal itu dalam FGD "Siapakah Utusan Golongan MPR dan Bagaimana Pengisiannya?" di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Senin (12/6).

"Utusan golongan menjamin keterwakilan secara kualitatif. Utusan golongan merupakan pelaku aktif, tidak melepaskan identitas organisasi dan profesinya sebagai utusan dari pegiat-pegiat di bidangnya," ujarnya.

BACA JUGA: Kata LaNyalla soal Spanduk Bergambar Dirinya dengan Ganjar Pranowo

LaNyalla mengatakan, jika MPR hanya diisi melalui mekanisme pemilu, maka demokrasi yang berkecukupan tidak akan terpenuhi. Pemilu hanya sanggup menjamin keterwakilan secara kuantitatif, baik distrik maupun proporsional.

Dia menyebut, sistem bernegara rumusan para pendiri bangsa adalah sistem tersendiri yang paling cocok bagi Indonesia.

BACA JUGA: Komeng Mencalonkan Diri jadi Anggota DPD, Ini Kata LaNyalla

Dalam risalah catatan persidangan BPUPK dan PPKI, para pendiri bangsa sudah sepakat, bahwa bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal barat murni, atau sistem komunisme timur. Karena Indonesia memiliki konfigurasi sosial, budaya, ekonomi dan geografis yang amat kompleks.

"Hanya sistem demokrasi Pancasila dengan lembaga tertinggi, yaitu MPR yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari penjelmaan rakyat," kata LaNyalla.

FGD menghadirkan narasumber, antara lain Aminuddin Ilmar (Dosen Fakultas Hukum Unhas), Sukri Tamma (Dekan Fisip Unhas), dan Fitra Arsil (Dosen Fakultas Hukum UI). LaNyalla juga hadir didampingi senator asal Sulsel, Tamsil Linrung.

Mengenai gagasan pengisian utusan golongan di MPR yang ditawarkan oleh DPD RI, Rahmatun Nair dari perwakilan Nahdlatul Ulama menyambut baik hal itu.

"Saya pribadi setuju dengan diadakannya kembali utusan golongan. Persoalan pertama adalah perlunya payung hukumnya. Hal itu yang perlu dipikirkan dengan baik, karena setelah tidak ada kok kemudian akan diadakan lagi," katanya.

Rahmat menyarankan agar tidak terlalu jauh memakai teori barat atau mengadopsi dari negara lain. Sebab, kearifan lokal Indonesia sangat banyak contoh.

"Kita kaya akan sistem kearifan lokal yang bisa dipakai menjadi variabel pengisian utusan golongan di MPR. Jangan terlalu jauh melihat ke luar negeri," ujarnya.

Sementara itu, Aminudin Ilmar justru mengatakan lebih baik memasukkan utusan golongan di kamar DPD, untuk sekaligus memperkuat peran DPD.

"Supaya ada sistem kesetaraan dengan DPR, DPD tidak hanya empat orang, tetapi ditambah dari utusan golongan tersebut, sehingga apa yang diputuskan DPR bisa divetto oleh DPD RI," katanya.

Sukri Tamma mengatakan mereka sedang mencoba untuk meraba-raba, utusan golongan tersebut memakai basis apa.

Dia mengatakan organisasi atau golongan di Indonesia sangat banyak. Artinya, bisa saja semua minta menjadi utusan.

"Kalau bicara jangka pendek memang utusan golongan bisa memakai indikator umum. Ada lembaga keagamaan, golongan profesi dan lain-lain. Tinggal diatur supaya adil. Apakah hanya diwakili satu orang, atau berapa, ini problem juga yang harus ditemukan basisnya," katanya.

Sementara itu, Fitra Arsil menyampaikan variabel pengisian utusan golongan secara teknis memang repot, karena harus mengakomodasi banyak kelompok yang ada di Indonesia.

Namun, utusan golongan di MPR bisa saja diisi seperti di luar negeri.

"Yang menjadi permasalahan adalah siapa yang bisa masuk ke dalam utusan golongan. Di negara lain, ada yang diangkat langsung oleh kepala negara, dipilih oleh komunitasnya, atau otomatis karena jabatannya. Misalnya mantan presiden, bisa jadi utusan atau tokoh-tokoh yang berjasa," katanya. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler