LaNyalla Bilang Penjajahan Ekonomi termasuk Pelanggaran HAM

Sabtu, 10 Desember 2022 – 14:13 WIB
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (tengah). Foto: Tim DPD

jpnn.com - JAKARTA - Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti menganggap penjajahan ekonomi merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia atau HAM, khususnya hak atas kesejahteraan.

LaNyalla mengatakan itu dalam seminar nasional peringatan HAM Internasional bertema “Urgensi Penegakan HAM Demi Mewujudkan Indonesia Yang Berkeadilan” yang diprakarsai Aliansi BEM Nusantara Daerah Lampung, Sabtu (10/12).

BACA JUGA: LaNyalla Didatangi Perwakilan Parpol, Ada Bom Waktu di Pemilu 2024?

Menurut LaNyalla tujuan dari lahirnya negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Hak asasi paling mendasar dan substansial adalah kemerdekaan semua bangsa. Ini sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Tertuang dalam naskah Pembukaan UUD. Sehingga tidak boleh ada kolonialisme dalam bentuk apa pun, karena itu sama dengan penjajahan," kata LaNyalla.

BACA JUGA: LaNyalla Bilang Bangsa Indonesia dalam Pembusukan jika Meninggalkan Pancasila

Dia pun prihatin lantaran saat ini ada kecenderungan terjadinya kolonialisme dalam bentuk baru yang menyusup melalui globalisasi yang menyatu dengan oligarki ekonomi di dalam negeri.

Menurut LaNyalla, integrasi itu ditandai dengan sejumlah perjanjian sebagai konsekuensi pergaulan internasional yang memaksa Indonesia untuk menjalaninya.

BACA JUGA: LaNyalla Khawatir Rencana Revisi UU IKN Menabrak UU Agraria

"Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" kata LaNyalla.

"Ini autokritik juga, soal persoalan hak asasi manusia. Karena penjajahan dalam bentuk lain masih terjadi hingga hari ini. Indonesia menjadi salah satu korban penjajahan ekonomi, melalui globalisasi yang berwatak predatorik," tuturnya.

Menurut senator asal Jawa Timur itu penjajahan ekonomi dalam bentuk baru ini menyebabkan jutaan rakyat Indonesia kehilangan hak atas kesejahteraan. Padahal hak atas kesejahteraan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi. 

LaNyalla memberi satu contoh yang dialami Indonesia saat krisis moneter pada 1997-1998. Saat itu terjadi penandatanganan Letter of Intent IMF oleh Presiden Soeharto.

"Apakah penandatanganan saat itu selaras dengan konstitusi kita? Konstitusi kita jelas memproteksi rakyat Indonesia. Sementara IMF mensyaratkan penghapusan subsidi dan proteksi demi kepentingan pasar bebas. Siapa yang happy dari penandatanganan Letter of Intent IMF? Kita atau kapitalisme global?" kata LaNyalla.

Kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional.

Namun, di era reformasi negara ini melakukan perubahan UUD secara total dari 1999 hingga 2002.

Perubahan itu justru membuka ruang bagi ‘penjajahan ekonomi’ wajah baru melalui liberalisasi ekonomi yang kapitalistik di Indonesia.

Dalam perubahan itu memang ada sepuluh pasal tentang HAM. Namun, hak atas kesejahteraan tergerus oleh daulat pasar.

LaNyalla menambahkan, dari perubahan konstitusi tersebut, kekuasaan negara terhadap kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan air, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak telah dilucuti, untuk diberikan kepada swasta dan asing.

"Kewajiban pemerintah untuk menjamin rakyat dapat mengakses kebutuhan hidupnya, dikatakan sebagai subsidi. Sehingga sewaktu-waktu subsidi dapat dicabut, karena APBN tidak mampu lagi mengover biaya tersebut," katanya.

Menurut LaNyalla, itulah hakikat dari pelanggaran HAM khususnya hak atas kesejahteraan.

"Saya ingin memperluas perspektif pembicaraan tentang HAM, sehingga tidak terjebak hanya dalam koridor pelanggaran HAM masa lalu saja. Namun, pelanggaran HAM akibat penjajahan ekonomi dalam bentuk baru juga harus menjadi diskursus dalam diskusi dan kajian akademik," katanya. (*/jpnn) 


Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler