jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Syaikhul Islam Ali mengkritisi rencana pemerintah yang pemberikan kelonggaran pada larangan ekspor batu bara.
Terlebih lagi, kebijakan pelonggaran dibuat hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah menerbitkan larangan ekspor batu bara selama 1-31 Januari 2022.
BACA JUGA: Pembukaan Ekspor Batu Bara Jadi Win-Win Solution Bagi Semua Pihak?
Adapun, aturan tersebut dibuat demi menjamin ketersediaan pasokan baru bara untuk pembangkit listrik di dalam negeri.
"Begitu mudahnya membuat satu aturan yang menempatkan seolah kita krisis energi, kemudian beberapa hari itu sudah selesai," kata Syaikhul saat rapat kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (13/1).
BACA JUGA: Luhut Binsar Izinkan 37 Kapal Angkut Ekspor Batu Bara, Kok Bisa?
Menurut legislator Fraksi PKB itu, pemerintah seharusnya konsisten membuat kebijakan, sehingga rezim tidak dipersepsikan macam-macam oleh publik menyikapi aturan yang berubah.
"Bagaimana sebuah bangsa besar seperti kita ini bisa terjebak dalam situasi yang digambarkan begitu gawat, tetapi dalam beberapa hari kemudian seperti tidak terjadi apa-apa," tuturnya.
BACA JUGA: Kepala Daerah Mulai Menjerit, Minta Pasokan Batu Bara ke PLN Diamankan
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyatakan pemerintah akan mencabut larangan ekspor batu bara pada hari ini.
Pemerintah memutuskan membuka ekspor batu bara kembali dan dilakukan secara bertahap.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pembatalan larangan ekspor batu bara menunjukkan inkonsistensi kebijakan pemerintah terus terjadi.
Bhima menyebut pencabutan larangan ekspor batu bara secara mendadak mulai hari ini, Rabu (12/1) menimbulkan pertanyaan besar.
Dia menduga pelarangan ekspor batu bara hanya untuk menggertak pemain pertambangan batu bara untuk mematuhi regulasi Domestic Market Obligation (DMO).
"Seharusnya penegakan aturan saja, dengan regulasi DMO batu bara yang ada perusahaan yang tidak patuh dikenakan sanksi," kata Bhima. (ast/jpnn)
Redaktur : Elvi Robia
Reporter : Aristo Setiawan