jpnn.com - PRESIDEN Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke luar negeri dan menjadikan Tiongkok sebagai negara pertama yang dikunjungi dalam lawatan ke berbagai negara. Hal ini bermakna Tiongkok memiliki tempat tersendiri dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Namun, dari berbagai rangkaian kegiatan di Tiongkok pernyataan bersama Xi Jinping dan Prabowo itu menyimpan persoalan mendasar berkaitan dengan posisi Indonesia dalam kaitan dengan Laut China Selatan.
BACA JUGA: Negara Federal Solusi: Kucing Lebih Diterima Istana Ketimbang Orang Kawasan Timur
Memang sangat mengejutkan dalam butir kesembilan dalam pernyataan bersama itu, terutama yang berkaitan dengan pengakuan Prabowo akan adanya wilayah tumpang tindih dengan Indonesia di Laut Natuna Utara.
Kutipannya seperti ini: “Kedua pihak juga mencapai kesepahaman penting tentang pengembangan bersama di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih, serta sepakat untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah guna menjajaki dan memajukan kerja sama terkait berdasarkan prinsip ‘saling menghormati, kesetaraan, manfaat bersama, fleksibilitas, pragmatisme, dan pembangunan konsensus’, sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing negara”.
BACA JUGA: Negara Jangan Hanya Mencintai Sumber Daya Alam Kawasan Timur Indonesia
Sekilas memang tampak sangat baik, tetapi adanya diksi tumpang tindih wilayah mengundang banyak penafsiran, karena hal itu bisa berarti Indonesia mengakui wilayahnya tumpang tindih dengan Tiongkok, sehingga akan menjadi wilayah yang dikembangkan bersama kedua negara.
Pernyataan meski singkat tapi langsung berkaitan dengan teritori laut Indonesia. Posisi Indonesia, sebenarnya sangat jelas, tidak ada wilayah yang tumpang tindih.
BACA JUGA: Engelina: Pengelola Blok Bula dan Non-Bula Harus Diaudit Menyeluruh
Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia mengacu kepada The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 atau Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sesuai UNCLOS 1982, wilayah ZEE meliputi 200 mil laut dari garis dasar pantai, dimana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Selain itu, UNCLOS 1982 juga mengatur batas laut teritorial, yaitu perairan laut yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar suatu negara.
Dengan ketentuan ini sangat jelas, teritori wilayah laut ditarik dari titik terluar, sehingga Indonesia semestinya tidak mengenal wilayah tumpang tindih.
Pernyataan Bersama itu sangat beresiko bagi Indonesia, karena bisa saja Tiongkok mengklaim wilayah laut Indonesia sebagai wilayah yang tumpang tindih dengan klaim nine dash line Tiongkok yang sering memicu ketegangan di kawasan.
Posisi Indonesia selama ini, selalu menolak klaim sepihak Tiongkok berdasarkan nine dash line, karena tidak sejalan dengan UNCLOS 1982. Apalagi, dalam putusan arbitrase tahun 2016, ditegaskan kalau klaim Tiongkok tidak sah.
Untuk itu, perubahan sikap pemerintahan Prabowo dalam menyikapi persoalan di Laut China Selatan ini sangat mengejutkan dan sangat wajar jika mengundang kontroversi.
Pertanyaan sederhana, sesungguhnya ada apa dengan pemerintahan Prabowo, sehingga begitu mudah mengaminkan ada teritori laut yang tumpang tindih dengan Tiongkok?
Sikap Presiden Prabowo ini sangat mengejutkan, karena selalu orasi berapi-api mengenai kedaulatan negara, tetapi begitu lembek dalam menyikapi persoalan serius yang berkaitan dengan wilayah laut, termasuk kekayaan alam yang terkandung di Laut Natuna Utara.
Meskipun belum ada penjelasan detail atau klarifikasi dari Presiden Prabowo mengenai masalah ini, tetapi tidak ada alasan logis yang bisa diterima, ketika begitu vulgar mengikuti kehendak Tiongkok mengenai adanya wilayah tumpang tindih yang perlu dikembangkan bersama. Tentu, keberhasilan besar kalau wilayah yang dimaksud berada di luar teritori Indonesia. Artinya, seperti “kebun” Tiongkok yang dikerjakan bersama.
Sebaliknya, akan menjadi masalah serius kalau wilayah yang dimaksud berada dalam ZEE Indonesia sesuai UNCLOS 1982. Sebab, itu berarti “kebun” Indonesia yang disepakati untuk dikerjakan Bersama Tiongkok.
Hanya saja, sikap Prabowo seolah tergesa-gesa dan tanpa didasari pemikiran matang yang strategis, baik dari sisi kepentingan Indonesia maupun kawasan yang melibatkan sejumlah negara dalam konflik Laut China Selatan.
Dengan situasi seperti ini, Prabowo masih yakin bisa memainkan peran untuk menciptakan stabilitas kawasan, tetapi di saat bersamaan mengambil posisi yang menguntungkan Tiongkok dan berpotensi melahirkan antipati dari negara lain yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan.
Semestinya ketika kebijakan itu berkaitan dengan teritori negara, maka Presiden perlu mendengar suara rakyat melalui DPR RI, karena kedaulatan itu berada di tangan rakyat. Bukan berada di tangan segelintir pengusaha ataupun elite politik.
Posisi Indonesia yang tergesa-gesa ini bisa dimaknai karena keteledoran atau ketidakpahaman dari pemangku kepentingan atas dampak dari pengakuan terhadap wilayah tumpang tindih itu. Tetapi, juga sangat logis dan wajar kalau ada yang mencurigai “tangan kotor” ikut bermain di baik munculnya pernyataan bersama itu, dengan memanfaatkan kebutuhan Prabowo untuk memenuhi imajinasinya untuk mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi, serta memberikan makanan bergizi gratis, swasembada pangan dan energi.
Semua ini dijadikan senjata yang melumpuhkan akal untuk meloloskan apapun kepentingan pihak lain, termasuk pernyataan beresiko terhadap teritori Indonesia itu.
Janji pertumbuhan ekonomi 8,5 persen sangat fantastis, tapi juga perlu bersikap realistis. Angka seperti hanya bisa dicapai melalui industry ekstraktif yang menjual mentah sumber daya alam tanpa diikuti dengan industri turunan, yang sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Growth economic strategy yang demikian pernah dilakukan pada tahun 1960an yang dimulai dengan UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, ketika Indonesia sedang mengalami hiperinflasi hingga 600 persen pada tahun 1965 dan kenihilan pertumbuhan ekonomi.
Dengan situasi seperti itu, pemerintah menggenjot industry ekstraktif dengan sangat masif melalui. Minyak Permina (cikal bakal Pertamina) dari Pangkalan Brandan diekspor perdana ke Jepang tahun 1958, emas Freeport tahun 1967, ikan di laut Banda melalui Banda Sea Agreement tahun 1968. Strategi ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi ke 7 sampai 9 persen, tetapi tidak memihak industri turunan yang bisa berdampak kepada perbaikan ekonomi rakyat, produksi dan sebagainya.
Bukan rahasia lagi, kalau Tiongkok mendapat “karpet merah” selama pemerintahan Joko Widodo yang bakal diteruskan Prabowo. Hal yang paling nyata berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti nikel dari nikel di Kepulauan Maluku dan Sulawesi. Kontribusi terhadap daerah tidak setara dengan kerusakan lingkungan yang muncul dari eksploitasi sumber daya alam. Kekayaan alam diambil begitu saja, sementara masyarakat tidak memperoleh kesejahteraan atas kekayaan alam yang ada.
Tentu, belum hilang dari ingatan, bagaimana pemberitaan yang massif tentang penyelundupan material nikel ke Tiongkok sebesar 5.000 ton tidak ada kabar lebih lanjut. Tidak masuk akal, kalau para penyelenggara negara tidak terlibat dalam ekspor illegal yang demikian besar itu. Sebab, nilainya juga tidak tanggung-tanggung mencapai triliun rupiah yang melayang begitu saja.
Contoh lain, pengelolaan Migas Bula dan Non Bula di Pulau Seram yang tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat. Bahkan participating interest (PI) 10 persen juga tidak diberikan sampai saat ini atau dana bagi hasil yang begitu minim dibandingkan dengan kekayaan alam yang diangkut oleh perusahaan yang mayoritas saham operator dikuasai BUMN dari Tiongkok.
Sangat menyakitkan dan sangat ironis, karena Minyak Bula dieksploitasi sejak zaman Belanda pada tahun 1925, kemudian Jepang dan Permigan (RI), tetapi wilayah Maluku terpuruk sebagai provinsi miskin di Indonesia, bersama hampir semua provinsi di kawasan timur.
Begitu juga belum hilang dari ingatan kasus Benjina di Maluku yang sempat mendapat sorotan luas, karena adanya praktik perbudakan dalam penangkapan ikan. Pemerintah mungkin sudah melupakan peristiwa seperti itu, tetapi tidak bagi rakyat yang diperbudak asing di atas kekayaannya sendiri.
Hal-hal seperti ini akan selalu berulang, ketika pengelola negara berlaku sebagai pengusaha sekaligus penguasa. Indonesia yang kaya sumber daya alam ini tidak layak untuk menadahkan tangan kepada negara lain. Sebaliknya, Indonesia yang semestinya, mengulurkan tangan.
Hanya saja, ketika negara ini dikelola para penguasa yang bermental calo, maka kekayaan alam Indonesia akan terus mengalir ke luar negeri. Setelah itu, pemerintah merasa bangga mendapat bantuan, misalnya US$ 10 Miliar dari Tiongkok, termasuk untuk membantu makanan bergizi gratis.
Sebaiknya, mari kita ingat kembali hal yang paling mendasar, kalau dalam hubungan dengan negara lain, tidak akan pernah ada makan siang gratis. Kalau bukan kekayaan alam yang dikeruk, setidaknya bersiaplah untuk menjadikan negara ini sebagai pasar bagi negara produsen ataupun konsekuensi lainnya.
Sangat disayangkan, karena Negara yang kaya sumber daya alam ini dikelola dengan gaya kolonial, yang melibatkan segelintir pengusaha yang patut diduga merupakan bandar dalam setiap event politik.
Dengan prasangka yang baik, kita berharap kebijakan Prabowo berkaitan Laut China Selatan ini tidak dikendalikan kaki tangan Tiongkok atau segelintir elit yang berkolaborasi untuk terus mempertahankan dominasi ekonomi dengan menguras kekayaan alam yang semuanya tampak wajar, tetapi semua dikendalikan dari hulu ke hilir.
Dimulai dari mengendalikan rekruitmen pemimpin politik di berbagai level, kemudian mengendalikan penegak hukum, peraturan perundang-undangan dan semua berjalan sesuai prosedur dan tampak wajar, tetapi prosedur itu dikendalikan dari hulu ke hilir oleh segelintir calo kekuasaan, yang bukan tidak mungkin melibatkan segelintir elit politik dan pengusaha yang tampil sebagai bandar politik. Seperti “buang angin” yang baunya tercium tapi sulit untuk ditangkap.
Sangat mengkhawatirkan ketika kekuasaan dikendalikan segelintir elite yang tak terlihat, tetapi sesungguhnya mengendalikan kekuasaan melalui antek yang berada dalam sistem kekuasaan.
Ada banyak tokoh dan elite yang semestinya malu karena mengambil posisi sebagai jongos elit dari para segelintir pengusaha yang seolah begitu mudah mengatur negara ini dengan kekuatan kapital yang juga dikeruk dari bumi Indonesia.
Untuk itu, sangat menarik menantikan perjalanan pemerintahan Prabowo, apakah bantuan dari Tiongkok, termasuk bantuan makanan bergizi itu benar-benar karena saking sayangnya terhadap rakyat Indonesia atau memang sebenarnya tidak ada makanan siang gratis, apalagi bergizi.
Berdirilah di atas kaki sendiri dengan kekayaan alam yang menjadi berkat Tuhan bagi negara ini. Jangan terlalu banyak omon-omon, karena semua itu tidak ada artinya ketika berhadap dengan realitas. Fakta itu adalah kebenaran, bukan omon-omon ataupun orasi-orasi. (sam/jpnn)
Penulis: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation. Anggota MPR RI/DPR RI 1992-1997 dan 1999-2004.
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu