jpnn.com - AWAL Indonesia merdeka, orang-orang ramai menulis sejarah. Umumnya sejarah yang terjadi di darat. A.B. Lapian ambil bagian. Dia memilih jalan sunyi, jalan yang tak banyak ditempuh orang; sejarah maritim.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Depati Parbo dan Hikayat Perang Kerinci
Pada 1988, saat Konferensi International Associations of Historian of Asia (IAHA) ke-15 di Jakarta, A.B. Lapian beroleh gelar “Nakhoda Pertama Sejarawan Maritim Asia Tenggara”.
Ilmuwan sekaliber Anthony Reid menyatakan, “tidak ada sarjana Indonesia yang telah mendemonstrasikan keahliannya sebagai sejarawan, lebih baik dari Adrian B. Lapian”.
BACA JUGA: Sejarah Kota Kelahiran Muhammad
Inilah hikayat A.B. Lapian, maestro sejarawan maritim…
Dari Wartawan Hingga Sejarawan
BACA JUGA: Marsekal Hadi Tjahjanto dan Visi Poros Maritim Dunia
Kuliah tak lagi menarik hati.
A.B. Lapian, yang ketika itu tercatat sebagai mahasiswa jurusan Sipil, Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung) pun memilih jadi wartawan di The Indonesia Observer, sebuah surat kabar ibukota berbahasa Inggris.
Dia ambil bagian meliput Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 1955.
Menurut cerita langsung dari A.B. Lapian, The Indonesian Observer-lah yang memberikannya latihan menulis terbaik.
Lapian bukan tipikal wartawan yang beritanya hanya “lepas makan”.
“Untuk pekerjaan itu, saya perlu latar belakang pengetahuan sejarah,” kata Lapian, sebagaimana dikisahkan Hendaru Tri Hanggoro, pemuka Sarekat Sejarawan Partikelir, kepada JPNN.com.
Hendaru alumni Sejarah UI, tempat Lapian pernah mengajar.
Bila mulanya pengetahuan sejarah hanya untuk bekal menulis berita, belakangan lelaki berdarah Minahasa kelahiran Tegal, 1 September 1929 itu malah kegandrungan.
Pada 1956, dia mendaftar jadi mahasiswa sejarah di Jalan Diponegoro, Jakarta. Di kampus inilah Lapian berkenalan dengan Sartono Kartodirdjo, yang kala itu satu-satunya lulusan jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI.
Dalam Bermimpi dan Berlayar, A.B Lapian menuturkan, sejak 1957 Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara kepulauan, suatu archipelagic state.
"Kata asal archipelago secara harfiah berarti laut utama,” tulisnya. “Jadi paradigma harus dibalik. Bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut, melainkan laut utama yang bertaburan dengan banyak pulau –lebih dari 13.000."
Maka dia menyimpulkan, sebuah negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan laut di sekelilingnya, harus memiliki segala syarat yang diperlukan untuk menjadi negara maritim yang bermartabat.
Nah, pada awal masa kemerdekaan, karena kurangnya minat terhadap sejarah maritim, “ada bagian yang besar dari pengalaman dan kegiatan penduduk Nusantara di masa lampau yang lolos dari pengamatan dan penelitian sejarawan Indonesia,” tulis Lapian dalam Orang Laut Bajak Laut Raja Laut.
Dia mempertegas, tanpa memperhatikan aspek maritim, sejarah Nusantara hanya berkisar pada pulau yang terpisah-pisah.
Pada 1961, Lapian lulus dari UI dengan skripsi mengenai jalan perdagangan maritim ke Maluku pada awal abad XVI.
Menelaah skripsi tersebut, boleh dibilang Lapian meretas jalan baru. Sebab, kajian sejarah maritim ketika itu kurang populer.
Lantas bagaimana dengan pekerjaannya sebagai wartawan? Dia berhenti dari The Indonesia Observer pada 1957, setelah setahun kuliah sejarah di UI.
Baru saja lulus kuliah, dalam sebuah pertemuan dengan Mahfudzi, seorang pengkaji sejarah di Markas Besar Angkatan Laut (MBAL), pada 1961, dia diajak bergabung.
Mahfudzi mengaku membaca karya-karya, terutama skripsi A.B. Lapian yang bertema maritim. Gayung bersambut, Lapian gabung dengan Seksi Sejarah MBAL yang tahun itu baru saja dirintis oleh Yos Sudarso.
“Mulanya Yos Sudarso menggunakan paviliun rumahnya untuk menjadi kantor Seksi Sejarah Angkatan Laut,” kata Kolonel Ronny Turangan, mantan Kasubdisjarah Mabes TNI AL dalam sebuah perbincangan dengan JPNN.com.
Yos Sudarso adalah pahlawan nasional yang gugur dalam pertempuran laut saat merebut Irian Barat.
Periode 1964-1965, Lapian dipercaya menjabat Kepala Seksi Sejarah di Markas Besar AL dan berkantor di Gunung Sahari. Ia memelopori penerbitan seri Pustaka Bahari.
Menurut Lapian, dirinya baru mengarungi dan menyelami sejarah maritim secara sadar ketika bekerja di Angkatan Laut.
Karya monumentalnya, buku setebal bantal bertajuk Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut menjadi semacam pegangan wajib para penggiat kemaritiman.
Buku itu bahkan mendapat pujian dari begawan sejarawan Indonesia, Sartono Kartodirdjo, “...only the best is good enough.”
Karya-karya Lapian lainnya, antara lain Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Agustus 2008); Pertempuran Laut, Perbudakan dan Kolonialisme; Dari Sriwijaya, Majapahit, sampai Orang Bajau: Sejarah dan Laut Indonesia; Tambora dan Krakatau: Sejarah Bencana Alam; dan Kembara Bahari Esei Kehormatan 80 Tahun AB Lapian, mengukuhkan reputasinya sebagai begawan sejarah maritim.
Syarif, alumni Sejarah UI yang kini menjabat Kepala Dinas Sejarah Mabes Angkatan Laut, pernah berbagi cerita, “Pak Lapian kalau menulis enak sekali dibaca. Tapi, kalau mengajar di kelas membosankan. Bicaranya tak lancar.”
Syarif diajar Lapian ketika sang maestro mulai menua. Daya tutur lisannya memang kian merosot semenjak terjangkiti tumor otak. Penyakit yang disebut-sebut merenggut nyawanya pada 19 Juli 2011, ketika berusia 81 tahun.
Guru besar Ilmu Sejarah UI, Prof Susanto Zuhdi mengenang, Lapian “selalu membantu memberikan ide-ide, menunjukkan sumber-sumber, dan tidak pernah mengeluarkan kata-kata celaan yang membikin gentar peserta didik.”
Lapian memang telah tiada. Harimau mati memang meninggalkan belang. Meski telah berpulang, karya-karyanya tetap hidup. Menjadi buah bibir.
Hari ini, orang-orang yang faseh bicara tentang dunia maritim di negeri ini, bisa dipastikan, sedikit banyak melansir buah karya A.B. Lapian. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebelum Dikoloni Spanyol, Filipina Dipimpin Perantau Minang
Redaktur & Reporter : Wenri