jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief membantah narasi Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan yang menyebut suara pendukung parpolnya tidak tertarik dengan pelaksanaan Pemilu 2024.
"Dalam survei internal kami, para pemilih Demokrat menghendaki 2024 ada pemilu. Jadi kami mempertanyakan survei versi pak Luhut," kata Andi Arief melalui layanan pesan, Jumat (11/3).
BACA JUGA: Seusai Sampaikan Pesan AHY, Mujiyono Sebut Anies Sudah Nyaman dengan Demokrat
Aktivis 1998 itu meminta semua pihak tidak boleh mengikuti data yang diungkapkan Luhut tentang rakyat tidak tertarik dengan pelaksanaan Pemilu 2024.
Elite politik, kata Andi Arief, seharusnya bijak menyikapi data milik Luhut jika itu memang ada.
BACA JUGA: Anggaran Pemilu 2024 Belum Diputuskan, karena Isu Penundaan?
Misalnya, elite mengajak rakyat tetap mematuhi konstitusi soal pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia.
"Harus diedukasi dan diingatkan," ujar dia.
BACA JUGA: Teruntuk Pak Luhut, Jangan Menjerumuskan Pak Jokowi dengan Wacana Inkonstitusional
Andi Arief kemudian berbicara soal peristiwa pada 2014 saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninggalkan jabatan sebagai Presiden RI.
Menurut dia, SBY lepas jabatan dari Presiden RI pada 2014 dengan angka kepuasan terhadap pria Pacitan, Jawa Timur itu sebesar 72 persen.
Andi Arief bahkan menuturkan bahwa beberapa survei pada 2014 menyatakan rakyat ingin memperpanjang jabatan SBY.
Namun, kata dia, Partai Demokrat tidak mempublikasikan survei soal keinginan rakyat memperpanjang masa jabatan SBY.
"Kami cegah, bahkan kami tutup semua diskusi terhadap isu mengancam demokrasi yang ingin memperpanjang jabatan SBY," kata Andi Arief.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan mengaku menyimpan data yang menyatakan rakyat Indonesia tidak tertarik dengan pelaksanaan Pemilu 2024.
Politikus Partai Golkar itu mengeklaim banyak rakyat yang menginginkan urusan ekonomi lebih diperhatikan pemerintah.
Rakyat, kata Luhut, tidak ingin pelaksanaan politik memunculkan kegaduhan dan membelah rakyat seperti peristiwa Pemilu 2019.
Misalnya, pesta demokrasi lima tahunan pada 2019 itu menghasilkan beragam istilah menggambarkan kubu politik tertentu seperti kecebong, kampret, dan kadrun.
Luhut mengatakan hal tersebut dalam sebuah wawancara yang tayang di YouTube akun Deddy Corbuzier seperti dikutip pada Jumat (11/3).
"Kalau di bawah menengah bawah ini itu pokoknya pengen tenang, bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin," kata Luhut di YouTube akun Deddy Corbuzier.
Luhut mengungkapkan bahwa data yang dikantonginya juga menyebut rakyat Indonesia saat ini merasa dalam keadaan susah akibat pandemi Covid-19.
Namun, rakyat tidak sudi anggaran Rp 110 triliun dihamburkan demi menyelenggarakan Pemilu 2024 yang digelar secara serentak.
"Itu bilang kita mau habisin Rp 110 triliun lebih untuk memilih, ini keadaan begini, buat apa, sih. Rp 110 triliun untuk Pilpres dengan Pilkada, kan, serentak. Nah, itu rakyat yang bicara," tutur Luhut.
Alumnus Akabri 1970 itu bahkan mengeklaim data rakyat yang tidak tertarik dengan pelaksanaan Pemilu 2024 berasal dari beberapa parpol.
"Nah, ini ceruk orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada yang di Partai Gerindra, ada yang di PDIP ada yang di PKB, Golkar, kan, di mana-mana ceruk ini. Ya, nanti dilihat mana yang mau dengar suara kami," beber Luhut. (ast/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Luhut Mengeklaim Punya Data Soal Rakyat tak Tertarik Pelaksanaan Pemilu 2024
Redaktur : Adil
Reporter : Aristo Setiawan