jpnn.com, BANDA ACEH - Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftachhuddin Cut Adek, mengatakan pihaknya masih mencari solusi untuk membebaskan lima nelayan tradisional asal Sei Bilah yang ditangkap polisi perairan Malaysia, beberapa waktu lalu.
Kelima nelayan Aceh itu ditahan aparat kepolisian Diraja Malaysia karena terdampar di Pulau Batu Putih Kepulauan Langkawi Malaysia, sejak tanggal 11 Juli 2018.
BACA JUGA: Pemerkosa Tujuh Anak di Pidie Jaya Itu Segera Diadili
"Atas tertangkapnya nelayan kita sudah dilaporkan ke Bakamla RI di Jakarta dan Dinas Kelautan Perikanan Aceh," jelas Miftachhuddin Cut Adek, Jumat (28/9).
Surat yang dikirim berkaitan dengan pemberitahuan dan permohonan Advokasi Hukum untuk Lima Nelayan Asal Aceh yang ditahan di Langkawi, Malaysia itu.
BACA JUGA: Truk Pengangkut 20 Ton Ikan Beku Terguling, Ibu & Anak Tewas
Disebutkan, kelima nelayan tersebut berasal Mayak Payed Aceh Timur.
"Laporan ini kami terima melalui komunikasi langsung dari korban dengan menggunakan telepon petugas kepolisian Malaysia di Langkawi di mana kelima nelayan tersebut ditahan pada saat ini," ungkapnya.
BACA JUGA: Lah, Baru 20 Peserta yang Daftar CPNS
Kronologis kejadian, pada hari Rabu tanggal 11 Juli 2018 kapal KM Wulandari 1 sedang melaut dan memancing ikan dekat perbatasan Malaysia dengan menggunakan Kapal 7 GT, pada saat melakukan penangkapan ikan tiba-tiba cuaca buruk dan angin kencang muncul.
Nakhoda dan ABK sepakat untuk mencari tempat berlindung dan menurut Nakhoda tempat berlindung paling dekat ditempuh adalah wilayah Batu Putih, sekarang sudah termasuk wilayah Negara Malaysia.
"Pada saat sedang berlindung di Batu Putih pada hari Kamis tanggal 12 Juli 2018 Pukul 15.00 WIB, kapal KM. Wulandari 1 ditangkap oleh Kapal Patroli Laut di Raja Malaysia, dan mereka digiring ke tempat penahanan di Kepulauan Langkawi," kata Miftach.
Mengingat kasus ini merupakan kecelakaan murni dan melibatkan dua negara sahabat, Panglima Laot memohon kepada Bapak Kepala Bakamla RI untuk mengecek dan membantu memberikan advokasi hukum kepada korban yang merupakan nelayan tradisional tersebut, agar korban dapat segera di repatriasi ke Indonesia dan dibebaskan dari hukuman.
Miftachhuddin mengaku pada Kamis (28/9), Panglima Laot Aceh dan DKP Aceh dikunjungi Direktur Hukum Bakamla Brigjen TNI Eddy Rate Muis.
Pada pertemuan itu, Bakamla berjanji segera melakukan pendampingan bagi nelayan Aceh yang sedang menjalani proses hukum di Malaysia. Pendampingan ini dilakukan setelah koordinasi dan puldata terkait insiden yang berlangsung.
Insiden penangkapan Nelayan Aceh itu oleh APMM Malaysia beberapa waktu lalu.
Brigjen Eddy Rate Muis juga menyampaikan bahwa Indonesia – Malaysia memiliki sebuah MoU Commond Guidlene yang merupakan petunjuk bagi para aparat penegak hukum kedua negara, di mana kesepakatan dalam MoU.
Dalam MoU tersebut, isinya apabila menemukan nelayan-nelayan kedua pihak baik Indonesia ataupun Malaysia melakukan aktifitas di daerah grey area/wilayah yang belum di sepakati, maka tindakan yang dapat di lakukan adalah melakukan pengusiran.
Bakamla dipimpin Direktur Hukum akan melakukan pendampingan ke Malaysia untuk menjamin hak-hak dan perlindungan nelayan-nelayan yang sedang menjalani proses hukum di Luar Negeri.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah untuk hadir melindungi warganya, dan sejalan pula dengan tupoksi yang diemban oleh Bakamla.
Untuk melengkapi kebutuhan data, tim Bakamla juga melakukan kunjungan ke Pelabuhan Perikanan Lampulo dan bertanya langsung kepada nelayan-nelayan yang pernah mengalami kejadian serupa. (adi/mai)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Modus Camat Peras Kepala Desa
Redaktur & Reporter : Budi