jpnn.com, JAKARTA - Kepala Perpustakaan Nasional RI Muhammad Syarif Bando mengatakan literasi sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.
Membaca buku bisa merangsang orang berproduksi barang dan jasa yang bermutu.
BACA JUGA: Desa BRILian, Program Wawasan Literasi dan Inklusi Keuangan UMKM
"Indonesia akan menjadi bangsa yang hebat bila terbiasa memproduksi, bukan sekadar menjadi konsumen semata," kata Syarif di Jakarta, Selasa (23/2).
Dia menjelaskan, literasi menentukan kesejahteraan karena percaturan global sudah pada tingkat literasi.
BACA JUGA: Fenomena Buzzer Akan Terus Mengancam Jika Pendidikan Literasi Lemah
Saat ini literasi Tiongkok berada jauh di atas Indonesia. Bahkan mereka memimpin dunia dalam percaturan kompetisi global.
Sementara penduduk Indonesia banyak menjadi konsumen dan rendah memproduksi.
BACA JUGA: Masih Banyak yang Tersesat karena Kurangnya Literasi
"Itu karena rendahnya tingkat literasi. Maka dari itu, Perpusnas memberikan aksestabilitas digital untuk semua mahasiswa di seluruh nusantara di era study from home (SFH) ini," ujarnya.
Selain mahasiswa, layanan tersebut juga diberikan kepada tenaga pendidik dan semua sekolah.
Perpusnas Indonesia saat ini menjadi perpustakaan terbaik ketiga di dunia pada top open access journal ilmiah dengan kurang lebih empat miliar artikel.
“Persaingan global dalam tatanan ekonomi dunia adalah siapa yang bisa menciptakan produksi untuk konsumsi massal. Saat ini semua dipaksa hidup dengan teknologi yang bergerak sangat cepat,” tuturnya.
Indonesia dengan 270 juta penduduk dan diprediksi 50 tahun ke depan penduduk Asia akan menjadi 5 miliar, Eropa 800 juta, Amerika Utara 1-1,2 miliar. Itu artinya benua Asia akan menjadi pusat baru kehidupan manusia.
Jantungnya, kata Syarif, adalah Indonesia yang bakal menjadi tema sentral literasi dalam menciptakan barang dan jasa bermutu.
Berdasar standar UNESCO setiap orang minimal membaca tiga buku baru setiap tahun.
Kalau penduduk Indonesia 270 juta, maka membutuhkan 810 juta buku beredar di masyarakat setiap tahun.
Namun total jumlah bahan bacaan hanya 22,3 juta eksemplar dengan rasio nasional 0,0098 atau tidak mencapai 1 persen.
Sementara Eropa bisa mencapai 15-20 buku per tahun, Amerika Utara bisa 25 buku setahun.
"Artinya Indonesia mengalami ketertinggalan jauh. Jadi jangan menghakimi anak-anak Indonesia di sisi hilir yang rendah budaya baca, tetapi ini karena tidak disiapkannya buku yang beredar di masyarakat," ucapnya.
Siapa yang bertanggung jawab memastikan adanya peredaran buku di masyarakat lanjut Syarif adalah tugas penyelenggara negara.
Namun, penulis dan penerbit buku juga harus bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat di berbagai tempat yang tidak sama kebutuhannya.
"Saya juga akan memastikan semua jenis perpustakaan di seluruh Indonesia berfungsi dengan baik agar bisa melayani masyarakat," pungkasnya. (esy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Komisi X DPR RI Dorong Pembentukan Tim Penggerak Literasi Desa
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad