PULUHAN warga di sekitar kawasan lokalisasi Dolly kini menyongsong kehidupan baru. Tidak lagi bergantung pada ingar-bingar prostitusi, kini mereka menjalani hidup lebih normal dengan menjadi pegawai pemkot. Inilah beberapa di antara mereka.
----------------------
Anggit Satriyo, Surabaya
---------------------
PAGI itu penampilan Supadi lebih gagah, mengenakan baju setelan hitam-hitam plus sepatu laras warna senada. Sabuk kopel juga melengkapi gayanya sebagai petugas badan kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat (bakesbanglinmas).
Handy talkie yang terselip di pinggang kian menambah kesan berwibawa bak aparat pada pria 48 tahun itu. Logat bicaranya pun khas pegawai.
BACA JUGA: Tahu Hantu Khas Daerah sampai Pocong Hantu Nasional
”Sudah sebulan ini saya bekerja. Tugas saya membantu kepolisian menjaga keamanan warga,” tegas bapak empat anak tersebut di pos penjagaan kantor bakesbanglinmas kemarin. Hari itu Supadi memang kebagian piket berjaga pos bersama-sama dengan petugas yang lain.
Dia mengaku sejak bekerja di pemkot, alur hidupnya berubah. Pagi-pagi benar dia harus sampai ke kantor. Petang dia bisa balik ke rumah di kawasan Putat Jaya. Sepulang kerja, ada yang mengasyikkan, masih menyempatkan bercanda dengan anak-anaknya, termasuk mengingatkan mereka untuk giat belajar.
BACA JUGA: Dulu Belajar Gitar sambil Nangis, Kini Jadi Kecanduan
Nonton televisi bersama keluarga menjadi kegiatan rutin yang tidak pernah ditinggalkan. Saban bulan dia mendapatkan gaji dari pemkot, sekitar Rp 2,3 juta. Karena itu, dia menyebut hidupnya berangsur-angsur normal.
Beda dengan dahulu ketika lokalisasi Dolly masih beroperasi. Sebagai petugas perlindungan masyarakat (linmas) kelas kampung, dia harus betah melekan semalam suntuk. Pakaiannya tidak segagah sekarang.
BACA JUGA: Sujiatmi Menangis Jadi Saksi Sejarah Anak Sendiri
Hanya baju setelan hitam-hitam. Penghasilannya tidak menentu. Bila menyelesaikan tugasnya, Supadi mendapatkan upah Rp 50 ribu dari rukun warga (RW). Uang yang dibayarkan tersebut merupakan setoran wisma-wisma kepada pengurus kampung.
Supadi mengungkapkan, ketika pemkot mengumumkan penutupan Dolly, dirinya sebenarnya gusar. ”Saya mikir, anak-anak akan makan apa?” ungkapnya.
Dia pun berkeluh kesah kepada lurah Putat Jaya. ”Pak lurah bilang ada tawaran jadi petugas bakesbanglinmas,” ungkapnya sembari membetulkan posisi sabuk kopelnya. Supadi pun nekat mendaftar.
Meski demikian, dia tidak yakin bisa diterima mengingat usianya tidak lagi muda. Rasa cemas juga terus membayangi. ”Salah satunya jangan-jangan cuma sak gebyaran. Deklarasi penutupan selesai, saya tak dipekerjakan lagi,” ungkapnya. Namun, perasaan Supadi tersebut perlahan sirna. Niat pemkot merekrutnya ternyata bukan isapan jempol. Supadi masih terus dipekerjakan hingga saat ini.
Supadi mengaku, ketika memilih bekerja di pemkot, banyak tetangga yang pro menolak penutupan Dolly memandangnya sebelah mata. Mereka menuding Supadi ’’pengkhianat”. Namun, dia memilih menahan diri.
”Soal kehidupan saya dan keluarga, saya yang menentukan sendiri. Nggak boleh ada campur tangan orang lain. Termasuk saya harus bekerja apa,” ungkapnya.
Meski begitu, Supadi berharap pemkot tidak mendiamkan warga yang lain. Intervensi pemkot ke Dolly harus lebih banyak lagi. ”Kami ingin warga bisa sejahtera bersama-sama,” ujarnya. Dia juga berharap pemkot bisa terus menjaga kerukunan antarwarga di sana.
Selain Supadi, banyak warga lain yang bekerja di instansi pemkot. Mereka dahulu amat bergantung pada kemeriahan lokalisasi yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu. Latar belakang mereka juga beragam, mulai operator kafe, pengurus kampung, hingga pengangguran. Mereka kini berseragam berupa SKPD.
Di antaranya, dinas kesehatan, dinas sosial, dinas cipta karya dan tata ruang, badan pemberdayaan masyarakat (bapemas), serta satuan polisi pamong praja. Jumlah mereka puluhan orang. Bahkan, akan terus bertambah. Mereka yang dahulu menolak bekerja di pemkot mulai berubah pikiran. Setidaknya bekerja dengan kepala lebih terdongak.
Simak saja cerita Suyono yang kini menjadi sopir ambulans di dinas sosial. Ketika lokalisasi masih beroperasi, pria 45 tahun tersebut adalah sopir carteran di Dolly.
Pelanggan tetapnya adalah para pemilik wisma. Suyono mendapatkan order mengantar para PSK ke mana pun pergi. Biasanya, setelah sebulan penuh para PSK bekerja, mereka perlu refreshing.
Di situlah Suyono dibutuhkan. ”Ke mana pun saya antar. Biasanya, minta ke pantai. Ada juga yang minta pulang kampung ke daerah,” kata bapak satu anak itu. Sekali antar dia mendapatkan bayaran Rp 150 ribu–Rp 200 ribu, bergantung pada jauhnya lokasi.
Namun, penghasilan Suyono tidak menentu. Kadang saban hari ada order. Namun, tidak jarang pula, selama dua minggu penuh tidak ada pemilik wisma yang mengontaknya. ”Kalau sudah begitu, di dompet saya tak ada uang,” ungkap Suyono.
Saat penutupan Dolly, Suyono memberanikan diri mendaftar kerja di Kelurahan Putat Jaya. Pemkot memercayainya sebagai sopir ambulans dinas sosial. Kini tugasnya lebih luas, tidak terbatas para PSK. Namun, siapa pun warga Surabaya yang membutuhkan.
”Pengabdian saya kini lebih luas. Mengantar warga ke rumah sakit, banyak pahalanya,” terangnya. Yang tidak kalah penting, penghasilannya jadi ajek.
Suyono mengungkapkan, setelah lokalisasi Dolly ditutup, kampungnya sepi. ”Makin sulit cuci mata. Nggak ada lagi mbak-mbak pakai celana cekak berseliweran,” katanya, lantas tergelak.
Namun, bagi Suyono, hal itu tidak menjadi soal. Sebab, penutupan lokalisasi Dolly juga bertujuan baik. Pemkot ingin menyejahterakan warga dengan cara yang pantas.
Tidak cuma warga yang sudah berkeluarga. Pemkot juga merekrut mereka yang masih remaja. Salah seorang di antaranya Cahyo Andriyanto, pemuda 22 tahun yang tinggal persis di belakang Wisma Barbara, wisma terbesar di Dolly.
Sembari bekerja sebagai juru gambar di dinas cipta karya dan tata ruang (DCKTR), Cahyo masih bisa berkuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA). ”Keahlian saya menggambar karena dulu saya lulusan SMK jurusan bangunan. Jadi, mengoperasikan auto cad adalah hal biasa,” katanya.
Dia mengungkapkan, kini di pemkot dirinya mendapat banyak order pekerjaan dari atasannya. Yakni, menggambar denah bangunan. Cahyo yang mendesain agar bangunan tidak melanggar sempadan jalan.
Sebelumnya, ketika lokalisasi beroperasi, Cahyo adalah petugas administrasi di kantor RW. Menurut dia, RW-nya paling mendukung penutupan lokalisasi.
Salah satu buktinya, ketika iuran bulanan setiap wisma Rp 30 ribu, RW tempatnya bekerja menuntut lebih tinggi, yakni Rp 350 ribu. ”Tujuannya, wisma keberatan dan berpikir ulang dengan bisnisnya,” ungkap Cahyo.
Baik Supadi, Suyono, maupun Cahyo sama-sama memiliki harapan, yakni konsistensi pemkot setelah menutup Dolly.
Pemkot harus mewujudkan janji-janji sebelumnya, termasuk membangun fasilitas-fasilitas infrastruktur. Bila warga sudah berniat mengubah jalan hidupnya, pemkot juga harus bahu-membahu membantunya. Tidak mendiamkan. (*/c6/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terus Berlatih agar Tidak Grogi di Depan Ilmuwan Dunia
Redaktur : Tim Redaksi