LPI dan Daya Dukung APBN

Oleh: MH. Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Rabu, 03 Februari 2021 – 10:55 WIB
Ketua Badan Anggaran DPR RI MH. Said Abdullah. Foto: Dokpri

jpnn.com - Indonesia akan segera mengoperasikan lembaga pengelola investasi yang berskala global yakni Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF) yang diberi nama Indonesia Investment Authority (INA).

Lembaga ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, dengan tujuan utama untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai aset dalam jangka panjang. LPI ini nantinya diharapkan bisa menjadi alternatif APBN, sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

BACA JUGA: PPKM Jawa-Bali, Hergun: Penyerapan APBN Harus Dipercepat, Segera Gelontorkan Dana PEN

Pembentukan LPI ini diharapkan mampu menjawab tantangan besar yang sedang dihadapi oleh perekonomian nasional. Kita harus bisa lepas dari jebakan middle income trap yang sedang mengancam perekonomian kita.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dalam lima tahun terakhir, ditambah kondisi resesi yang sedang melanda perekonomian nasional dalam tiga triwulan terakhir, seperti yang dikhawatirkan banyak ekonom selama ini, kita akan menjadi tua sebelum kaya.

BACA JUGA: Huda: Kenaikan Anggaran Olahraga 2,5 Persen dari APBN Masuk Prolegnas Prioritas 2021

Jebakan pendapatan menengah ini menjadi ancaman serius bagi kita. Walaupun Bank Dunia telah menaikkan status Indonesia dari lower middle-income country menjadi upper middle-income country per 1 Juli 2020 lalu, tidak menjamin kita bisa lolos dari jebakan pendapatan tersebut dalam jangka Panjang.

Potensi bonus demografi yang kita miliki harus segera dioptimalkan, sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan persentase penduduk usia produktif (15–64 tahun) terhadap total populasi pada tahu 2020 sebesar 70,72 persen.

BACA JUGA: Komisi X Dorong Anggaran Olahraga Ditingkatkan Jadi 2,5 Persen dari APBN

Untuk mendorong pertumbuhan tinggi, kita masih menghadapi kendala besar. Kemampuan APBN dalam menyediakan pendanaan untuk pembangunan khususnya infrastruktur masih sangat terbatas. Terdapat kesenjangan antara kemampuan pendanaan domestik dan kebutuhan pembiayaan untuk infrastruktur nasional.

Proyeksi total investasi infrastruktur yang kita butuhkan dalam 2020-2024 Rp 6.445 triliun yang ditargetkan dipenuhi dari APBN, BUMN, dan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Mengurangi Beban APBN

Ke depan tantangan pembangunan makin berat, Kita masih akan melewati periode yang tidak ringan pada tahun 2021. Beban defisit APBN masih tinggi mencapai 5,50 persen, menyebabkan realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp971,2 triliun, utamanya bersumber dari pembiayaan utang yang mencapai Rp1.142,5 triliun.

Ditambah lagi Kapasitas pembiayaan BUMN juga semakin terbatas. Tergambar dalam rasio tingkat hutang dibanding pendapatan kotor dan ekuitas BUMN infrastruktur terkait.

Di sisi lain, tingkat investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) mengalami stagnasi. Pada tahun 2019 FDI yang masuk sekitar Rp423 triliun, masih dibawah pencapaian tahun 2017 sekitar Rp431 triliun.

Jika FDI tidak bisa meningkat signifikan dan terus mengandalkan utang luar negeri, maka risiko kegagalan APBN dalam membiayai pembangunan makin besar, apalagi Debt to GDP Ratio terus meningkat dalam dua tahun terakhir.

Dalam jangka menengah dan panjang, keberadaan LPI diharapkan akan bisa mendorong daya dukung APBN dalam pembiayaan pembangunan.

Oleh sebab itu, terobosan Pemerintah dalam mencari alternatif pembiayaan pembangunan ditengah sebaran pandemi Covid-19 yang masih tinggi, menjadi angin segar bagi perekonomian nasional, khususnya dalam rangka menjaga kinerja dan daya dukung APBN agar tetap sehat, efektif dan berkelanjutan bagi pembangunan nasional dalam jangka menengah dan panjang.

Menjaga Tata Kelola LPI

Kita berharap SWF bisa menjadi terobosan yang inovatif dalam pembentukan mitra investasi yang andal dan terpercaya bagi investor internasional dan domestik untuk pembangunan ekonomi Indonesai dalam jangka panjang dan berkelanjutan.

Tetapi di sisi lain, kita harus tetap mengingatkan Pemerintah khususnya kewenangan dalam pengelola LPI, untuk mengedepankan akuntabilitas, transparansi, dan corporate governance yang baik. Pemerintah perlu memperhatiakan, beberapa hal sebagai berikut:

Pertama. Saya ingin mengingatkan diawal, jangan sampai LPI yang kita kelola mengulang sejarah buruk pengelolaan dana abadi 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Saya mengingatkan bahwa, praktik 1MDB bisa terulang kembali, potensi kearah sana sangat mungkin terjadi selama dalam pengelolaannya LPI tidak disertai transparansi dan akuntabilitas.

Dari awal LPI harus punya tekad dan komitmen untuk menjadikan lembaga tersebut zero tolerance to corruption and moral hazard. Sebagai informasi, 1MDB tersebut berakhir dengan korupsi senilai US$4,5 miliar. Kasus tersebut menjerat Perdana Menteri Malaysia saat itu.

Kedua, Pemerintah perlu mencermati kondisi pasar keuangan global saat ini masih bersifat volatile, sehingga risiko pasar keuangan global masih cukup tinggi. Perubahan kebijakan moneter The Fed, pasca dilantiknya Pemerintah baru Amerika Serikat, juga perlu terus dicermati.

Kebijakan moneter ketat The Fed, dikhawatirkan akan menyebabkan keluarnya modal asing di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Tiga kekuatan ekonomi dunia, AS, Eropa dan China, masih menghadapi kondisi internal yang cukup berat.

Oleh sebab itu, kita harus mendahului agar pemulihan ekonomi kita bisa lebih cepat dibandingkan tiga negara besar tersebut, agar kita tidak terkena dampak keluarnya investasi asing (capital flight).

Ketiga, LPI diberikan kewenangan untuk mengelola dananya pada pasar keuangan. Didalam negeri kita sudah beruntun menghadapi berbagai kasus salah penempatan dana investasi baik disengaja atau tidak, terutama pada produk saham, sederet kasus pun muncul seperti; Jiwasraya, Asabri, dan terbaru BPJS Ketenagakerjaan. Manajemen LPI perlu saya ingatkan agar tidak mengulangi kasus serupa, terlebih dana LPI untuk berbagai proyek strategis nasional.

Keempat; LPI perlu bersinergi dengan berbagai stake holder, khususnya pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebab disanalah Hulu proses investasi baik asing maupun dalam negeri masuk.

Dari dana investasi yang masuk ke BKPM selanjutnya di kelola oleh LPI. Melihat alur kerja ini, maka antara BKPM dan LPI bagaikan pasangan kerja strategis, maka mutlak keduanya bersinergi.

Kelima; LPI bukan lembaga swasta, tetapi bagian dari government agency, keterlibatan Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan dalam pengawasan keuangan dan penempatan produk produk investasinya, khususnya pada portofolio menjadi amat penting sebagai pencegahan awal untuk mengantisipasi kerugian pada lembaga ini.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler