LPSK: Hentikan Praktik Anak yang Dilacurkan

Kamis, 23 Juli 2020 – 21:42 WIB
Ilustrasi tindak kekerasan terhadap anak. Foto: Dokumen JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut tema Peringatan Hari Anak Nasional, dengan mengusung isu melindungi anak Indonesia dalam situasi darurat sudah tepat.

Hal itu didasari pada catatan, sekitar 79 juta anak Indonesia yang membutuhkan perlindungan khusus.

BACA JUGA: Jelang Peringatan Hari Anak Nasional, Ingrid Kansil: Perlindungan Anak Masih Sangat Lemah

Pada rapat terbatas awal Januari (9/1) lalu, Presiden Joko Widodo memberi perhatian penanganan kasus kekerasan terhadap anak.

Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi memerhatikan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terus meningkat.

BACA JUGA: 3 Begal Bersenjata Celurit di Depok Diringkus Polisi, Nih Tampangnya

Presiden meminta agar prioritas aksi pencegahan kekerasan pada anak melibatkan keluarga, sekolah dan juga masyarakat.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu berpendapat, kekhawatiran Presiden ini beralasan, karena belum lama ini publik dihentakkan dengan eksploitasi seksual anak yang terjadi di sejumlah daerah.

BACA JUGA: Temukan Kejanggalan, Tersangka Kasus Bank Swadesi Minta Perlindungan Propam sampai Menteri Keuangan

“Misal, di Lampung Timur, seorang petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) malah menjadi pelaku persetubuhan terhadap anak korban yang ia dampingi, bahkan terindikasi terjadi praktik dagangan seksual anak,” ujar Edwin dalam keterangan tertulis, Kamis (23/7).

Edwin menambahkan peristiwa lain juga terjadi di Jakarta, seorang warga negara Prancis diduga melakukan pengambilan gambar vulgar terhadap 305 anak perempuan, dan menyetubuhi para korbannya. Pelaku berakhir bunuh diri di tahanan polisi.

Kemudian di Kutai Barat, Kalimantan Timur seorang oknum PNS guru terlibat dalam perdagangan seksual anak.

Menurut Edwin, informasi yang disampaikan Perwakilan United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia pada 2004 bahwa setiap tahunnya, kurang lebih 70 ribu anak-anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual masih relevan hingga saat ini.

Edwin membeberkan sejumlah catatan dari LPSK di mana setidaknya sejak 2016 hingga Juni 2020 ini, ada 926 permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke lembaganya.

“Asal permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta, lalu Sumatera Utara. Sebanyak 482 di antaranya adalah korban kekerasan seksual, 133 anak menjadi korban perdagangan orang dan sisanya dari berbagai kasus yang menempatkan anak menjadi korban. 106 anak menjadi korban eksploitasi perdagangan seksual," kata Edwin.

Masih kata Edwin, berdasarkan asal korban, LPSK mencatat anak yang dilacurkan (AYLA) banyak yang berdomisili dari Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta.

Sementara itu, berdasarkan locus delicti AYLA, DKI Jakarta berada di tempat teratas diikuti Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Untuk tingkat pendidikan, sebagian besar AYLA tidak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun, bahkan ada yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).

“Pada umumnya, AYLA yang ingin bekerja, mendapatkan informasi pekerjaan dari teman, media sosial, kerabat dan agen/perekrut," kata Edwin lagi.

"Di mana pada awalnya mereka dijanjikan bekerja sebagai pramusaji cafe/restoran, pemandu lagu karaoke, penjaga toko dan lainnya dengan janji penghasilan yang memadai."

Dia menjelaskan, pada kenyataannya mereka dieksploitasi pada saat bekerja. Saat menjadi AYLA, anak-anak itu dipekerjakan 10 jam per hari, bahkan hingga 16 jam per hari.

Dalam satu hari mereka bisa melayani 10 tamu, dijanjikan penghasilan 1 juta hingga 20 juta per bulannya atau 250 ribu hingga 2 juta per tamunya.

“Namun jauh panggang dari api, di antara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. Bahkan Mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi,” tandasnya.

Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan, bahwa AYLA sebetulnya telah menjadi keprihatinan dunia internasional.

Pada 1989, pemerintah di seluruh dunia menjanjikan hak yang sama untuk semua anak dengan mengadopsi Konvensi PBB untuk Hak-Hak Anak (pada peringatan 30 tahun Deklarasi Hak-Hak Asasi Anak).

Indonesia, kata Livia, telah meratifikasi konvensi tersebut pada 1990. International Labour Organization (ILO) pada 1999 menelurkan konvensi mengenai, Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Konvensi itu juga telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2000, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Menurut Livia, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak.

Pada 2016, Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk merespons maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Ini termasuk hukuman tambahan lain yang melahirkan kontroversi, antara lain pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.

“Sayangnya, perhatian presiden terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak,” kata Livia

Ia menambahkan, fakta yang lebih memprihatinkan adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di provinsi / kabupaten / kota tidak diberikan anggaran yang cukup untuk menangani kasus-kasus kekerasan.

“Masalah yang sering ditemui adalah anggaran yang kecil dan SDM dengan kompetensi yang kurang,” pungkas Livia.

Menyikapi persoalan di atas, LPSK merekomendasikan beberapa hal, antara lain pertama, pemerintah perlu mengoptimalisasi kampanye pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dan alokasi anggaran yang memadai untuk melakukan perlindungan kepada anak dan perempuan.

Kedua, diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan kepada anak dengan pengalokasian anggaran yang memadai, kualifikasi SDM kompetitif dan pembangunan tempat rehabilitasi korban setidaknya di setiap provinsi/kota dan kabupaten.

Ketiga, pemerintah diharapkan dapat mendukung advokasi perlindungan anak dan perempuan yang  dilaksanakan NGO, ormas, akademisi, dan membuat jaringan yang operasional.

Keempat, patroli siber harus digalakkan untuk menghapus konten pornografi dan prostitusi online. (boy/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler