jpnn.com, JAKARTA - Kuasa Hukum 20 tersangka mantan direksi, komisaris, dan pegawai Bank Swadesi, Fransisca Romana membeberkan sejumlah kejanggalan yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri dalam kasus dugaan tindak pidana perbankan lelang aset milik debitur wanprestasi PT Ratu Kharisma atas nama Kishore Kumar Pridhnani.
“Kami akan meminta perlindungan hukum kepada Propam Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Hukum DPR, dan Kementerian Keuangan atas berbagai kejanggalan yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik dalam menyidik kasus ini,” kata Fransisca saat menghantarkan surat permohonan perlindungan hukum yang ditujukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (17/7).
BACA JUGA: Kini, Swadesi Jadi Bank of India Indonesia
Dijelaskan Fransisca, kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Bali pada 2011 atas laporan Rita Kishore yang kemudian dihentikan penyidikannya atau SP3 pada 14 Juni 2014.
Namun penyidikan kembali dibuka pada tahun 2017 setelah Pengadilan Negeri Denpasar lewat putusan praperadilan mengabulkan permohonan debitur dengan pertimbangan hukum penyidik mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau benturan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat lelang dalam penentuan limit lelang yang terlalu rendah dari harga pasar.
BACA JUGA: Lelang Aset Hotel, Bank Swadesi Dipolisikan
“Hakim praperadilan jelas memberi petunjuk kepada penyidik untuk mendalami apakah ada unsur kesengajaan atau benturan kepentingan dalam penurunan nilai agunan limit lelang,” ucap Fransisca.
Yang terjadi kemudian menurut Fransisca kasus tersebut pada tahun 2018 ditarik ke Bareskrim Polri dan penyidik Direktorat Tipideksus kemudian menetapkan 20 tersangka yang notabene adalah mantan direksi, komisaris, maupun pegawai yang telah pensiun dari Bank Swadesi.
BACA JUGA: Kapolda Sulbar Pastikan Oknum Brimob Terlibat Keributan di Lokasi Wisata Diperiksa Propam
Mengacu pada petunjuk hakim praperadilan kata Fransisca, seharusnya penyidik melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses lelang, baik itu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Lelang (KPKNL) sebagai penyelenggara lelang, appraisal independen, kreditur, debitur, serta peserta lelang.
Hanya saja sejak kasus ini ditarik Bareskrim pada 2018 lalu, penyidik tidak pernah menggali keterangan secara utuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses lelang. Penyidik hanya memeriksa saksi dari KPKNL, debitur maupun kreditur. Adapun PT Kawira Pratama dan PT Index Consultindo sebagai appraisal independen tidak pernah diperiksa.
Begitu pula dari 14 peserta lelang hanya 4 peserta yang dimintai keterangan. Padahal lelang dilakukan secara terbuka sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang serta tercatat dalam risalah lelang yang diterbitkan KPKNL.
“Aneh jika appraisal independen yang menaksir dan menentukan nilai likuidasi aset lelang tidak diperiksa. Petuntuk hakim praperadilan kan jelas untuk mendalami benturan kepentingan dalam proses lelang,” tutur Fransisca.
Kejanggalan lain menurut Fransisca adalah bahwa penyidik tidak pernah mempertimbangkan putusan pengadilan tahun 2016 yang memvonis bebas murni petugas KPKNL Usman Arif Murtopo, atas dugaan penyalahgunaan wewenang sebagaimana laporan Rita Kishore.
Tak berhenti sampai di situ, kejanggalan lainnya adalah kesaksian saksi ahli Prof. DR. Nindyo Pramono yang dihadirkan debitur pada sidang praperadilan guna mementahkan upaya SP3 Polda Bali justru dipakai kembali sebagai saksi ahli oleh penyidik untuk memperkuat argumen hukum dalam penetapan 20 tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri.
Begitu pula kejanggalan penyidik tidak pernah meminta keterangan dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pihak yang paling memahami regulasi (das sollen) dan paling memahami penerapan (das sein) suatu regulasi dalam delik tindak pidana perbankan sebagaimana tertuang nota kesepahaman antara Bank Indonesia (OJK), Polri dan Kejaksaan Nomor 13/104/KEP.GBI/2011, dan Nomor B/31/XII/2011, serta Nomor Kep-261/A/JA/12/2011 tentang Koordinasi Tindak Pidana Perbankan.
Pakar Hukum Perbankan Yunus Husen yang dihadirkan sebagai saksi ahli dalam gekar perkara kasus ini pada akhir pekan lalu pun mengiatkan Bareskrim Polri untuk tidak memaksakan sebuah perkara perdata masuk ke ranah pidana.
Mantan Kepala PPATK ini menegaskan bahwa penanganan sebuah perkara perdata harus diselesaikan pula secara perdata.
Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum perbankan Yunus memberi pandangan kepada penyidik terkait penerapan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang menjerat ke-20 tersangka.
Dia menilai pelanggaran yang diduga dilakukan oleh para tersangka sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bukanlah ranah pidana melainkan kesalahan administrasi yang bisa diperbaiki melalui kesepakatan kedua pihak yang berperkara.
“Jadi pasal 49 itu tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan, tapi langkah yang di perintahkan oleh otoritas dalam hal ini BI atau OJK,” jelas Yunus. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil