jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap 318 korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini. Perinciannya, 118 korban dari Jawa Barat, 32 Nusa Tenggara Barat (NTB), 32 Jawa Tengah (Jateng), 27 Nusa Tenggara Timur (NTT), dan 16 Banten.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, data itu merujuk kepada domisili korban. Hanya saja, kata dia, ini tidak sepenuhnya menggambarkan peta korban secara nasional.
BACA JUGA: 19 Wanita di Bawah Umur jadi Korban Perdagangan Orang, Begini Modus Pelaku
"Karena hanya berdasarkan permohonan yang masuk ke LPSK,” ujar Edwin di kantornya, Senin (5/8) saat jumpa pers memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia yang jatuh setiap 30 Juli.
Edwin menjelaskan, dari 318 korban, sebanyak 215 merupakan perempuan dan 53 di antaranya di bawah umur. Mereka umumnya bekerja di sektor domestik, bisnis dan hiburan.
BACA JUGA: LPSK Apresiasi Putusan MA Bebaskan Korban Pemerkosaan dari Jerat Pidana Aborsi
BACA JUGA: 19 Wanita di Bawah Umur jadi Korban Perdagangan Orang, Begini Modus Pelaku
Sektor domestik sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga (PRT) dengan salah satu modusnya melalui ikatan perkawinan (pengantin pesanan). Sektor bisnis bekerja di bidang pertanian atau perkebunan, anak buah kapal (ABK), dan pelayan restoran. Sementara, sektor hiburan korban dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial dan panti pijat.
BACA JUGA: 29 Wanita jadi Korban Perdagangan Manusia dengan Modus Pengantin Pesanan
Wakil Ketua LPSK lainnya Antonius PS Wibowo menambahkan, wilayah-wilayah yang menjadi tujuan perdagangan orang di dalam negeri seperti Maluku, DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Menurut dia, itulah lima daerah teratas tujuan perdagangan orang.
Sementara empat teratas negara tujuan perdagangan orang di luar negeri adalah Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan dan Turki. "Fakta menarik, daerah tujuan perdagangan orang ini juga menyasar ke negara konflik, seperti Suriah dan Sudan,” katanya.
Antonius menambahkan, faktor ekonomi paling dominan menjadi penyebab seseorang menjadi korban TPPO. Faktor itu tidak terlepas dari faktor pendidikan atau putus sekolah, yang menempatkan korban dalam lingkaran perdagangan manusia.
Para pelaku memanfaatkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai cara, seperti menjanjikan penghasilan yang besar, memberikan pinjaman kepada keluarganya, janji pekerjaan yang layak, dan beberapa cara lainnya seperti perkawinan.
LPSK, kata Antonius, terus berupaya melakukan layanan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan korban TPPO. "LPSK memberikan perlindungan fisik, hukum, pemenuhan hak prosedural, bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial dan fasilitasi restitusi," katanya.
BACA JUGA: Usut Dugaan Perdagangan Orang dalam Kasus Lelang Perawan
Tenaga Ahli LPSK Rully Novian menyampaikan, berdasar pengalaman lembaganya menangani saksi dan korban TPPO, ada beberapa rekomendasi yang diberikan.
Antara lain pemerintah harus memberikan perhatian khusus kepada wilayah-wilayah asal korban TPPO, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja dan mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut.
Selain itu, lanjut Rully, perlu dilakukan kampanye anti-perdagangan orang yang efektif agar masyarakat dapat mengenali dan mencegah terjadinya tindak pidana ini. Serta mendorong penegak hukum meningkatkan profesionalitas dalam melakukan penindakan agar pelaku pelaku utama sindikat perdagangan orang dapat dipidanakan.
Rekomendasi lainnya, para pelaku sebaiknya tidak diberikan hak-hak narapidana (remisi, pembebasan bersyarat) apabila mereka tidak membayarkan restitusi kepada korban. Tak kalah penting, dorongan melakukan percepatan proses single identity dan terkoneksi pada seluruh layanan kependudukan dan perizinan di seluruh Indonesia untuk mencegah pemalsuan dokumen. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kubu Prabowo Tak Mau Pengalaman Sidang Sengketa Pilpres 2014 Lalu Terulang
Redaktur & Reporter : Boy