jpnn.com, JAKARTA - Sikap tidak kooperatif Gubernur Papua Lukas Enembe bukan hanya bentuk perlawanan terhadap KPK, tetapi juga pembangkangan terhadap kedaulatan hukum nasional Indonesia.
Potensi pembangkangan tersebut bukan hanya dilakukan Lukas, tetapi juga oleh kuasa hukum, dokter pribadi, dan para pembela hukumnya.
BACA JUGA: Lukas Enembe Tersangka di KPK, Tokoh Adat Papua Sampaikan Permintaan Serius
“Mereka dapat dianggap merintangi atau menghalangi upaya hukum yang berlaku, sesuai KUHP oleh aparat penegak hukum", demikian diutarakan pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul dalam diskusi yang digelar Moya Institute, yang bertajuk “Drama Lukas Enembe: KPK Diuji”, Jumat (21/10).
“Seseorang yang terbelit kasus itu dapat dibuktikan sakit atau tidak dari pemeriksaan medis yang diatur oleh penegak hukum, bukan dari keterangan pihak tersangka. Apalagi pakai dokter pribadi segala,” ujar Chudry.
BACA JUGA: Soal Kondisi Lukas Enembe, Perempuan Adat Papua Minta Pemerintah Segera Bersikap
KPK telah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar pada 5 September 2022.
Namun, hingga kini Lukas Enembe masih menolak untuk diperiksa KPK dengan dalih sakit. Cukup membingungkan bahwa Lukas ingin agar kasus yang menimpa dirinya diperiksa secara hukum adat.
BACA JUGA: Anak Buah Lukas Enembe Diperiksa KPK soal Penggunaan APBD Papua
Ketua Forum Badan Musyawarah Tanah Papua, Frans Ansanai mengungkapkan, penetapan tersangka Lukas merupakan fenomena yang berbeda dengan gubernur daerah lain yang juga menjadi tersangka.
Frans menyampaikan, sebaiknya Lukas berbesar hati menghadapi pemeriksaan hukum dirinya dan tidak berkelit menggunakan hukum adat, yang jelas tidak ada nalar hukumnya.
Politisi refomasi Mahfudz Siddiq menjelaskan bahwa kasus hukum yang menjerat Lukas dapat saja terjadi atad semua kepala daerah di Indonesia.
Hal itu menurut Mahfudz tidak perlu melihat kasus Lukas sebagai sesuatu yang istimewa, karena Papua adalah daerah otonomi khusus. Dicokoknya eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf oleh KPK merupakan salah-satu contoh nyata.
“Kasus hukum pernah terjadi pada Gubernur Irwandi Yusuf karena alokasi anggaran otsus. Jadi otsus di Aceh dan Papua adalah satu bagian yang sudah terbangun dan berjalan, sehingga harus disikapi wajar atau biasa saja,” tukas Mahfudz.
Pengamat politik dan isu strategis Imron Cotan mengemukakan bahwa Lukas Enembe adalah subyek hukum Indonesia, sehingga harus tunduk pada hukum nasional yang berlaku.
Justru, kata Imron, Lukas Enembe harus menunjukkan jati dirinya sebagai seorang pemimpin sejati, dalam menghadapi kasus hukumnya. Lagipula yang bersangkutan belum tentu bersalah.
“Sebagai seorang pemimpin Lukas Enembe harus memberikan contoh bahwa dia adalah warga negara yang patuh terhadap hukum di mata masyarakatnya. Jangan berdalih mengatasnamakan masyarakat adat Papua, meminta diadili secara adat”, imbuh Imron.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menilai, pemerintah sejauh ini telah memberikan perhatian lebih untuk pembangunan Papua dan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun sayangnya, beber Hery, justru kebijakan positif pemerintah dirusak oleh pemimpin daerahnya sendiri. Oleh sebab itu, menurut Hery, Lukas Enembe bagaimana pun harus bertanggung jawab secara hukum atas kasus yang dihadapinya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif