Lulusan SMA Berbakat Naik, Daya Tampung Kampus Rendah

Jumat, 30 Desember 2016 – 01:22 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - JPNN.com – Jumlah angkatan kerja di Indonesia sepanjang 2016 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 127,67 juta.

Sebanyak 47,37 persen didominasi lulusan SD ke bawah.

BACA JUGA: Anak-Anak dari Pemukiman Kumuh Jadi Prioritas Anies

Sedangkan lulusan SMP mencapai 18,57 persen.

Sementara itu, lulusan SMA/SMK/sederajat menyentuh 25,09 persen.

BACA JUGA: Ahok Punya Smart City, Anies Usung Educating City

Di sisi lain, lulusan diploma ke atas hanya berjumlah 8,96  persen.

Hal itu menjadi tantangan berat untuk bersaing secara global.

BACA JUGA: Anies Klaim Bisa Hapus Kemiskinan dengan Cara Ini

Karena itu, milestone pengembangan sumber daya manusia (SDM) perlu ditekankan pada 2017.

Kondisi postur SDM di atas perlu menekankan program nasional yang dikelompokkan menjadi tiga segmen.

Pertama adalah program penjaringan siswa lulusan SMA yang berbakat dan memiliki prestasi akademis yang bagus untuk diberi kesempatan dan dipacu agar menjadi tenaga ahli atau ilmuwan kelas dunia.

Jumlah siswa lulusan SMA berbakat setiap tahun meningkat namun tidak sebanding dengan daya tampung atau kapasitas perguruan tinggi terbaik di tanah air.

“Bahkan untuk prodi tertentu sangat tidak sebanding dengan jumlah lulusan SMA berbakat,” kata CEO Euro management Indonesia dan Ketua Yayasan Pendidikan Eropa Indonesia (YPEI) Bimo Sasongko, Kamis (29/12).

Kondisi tersebut memerlukan terobosan dengan membuka kesempatan lulusan SMA berbakat untuk belajar ke luar negeri.

Agar mampu menembus perguruan tinggi ternama di luar negeri, mereka perlu diarahkan hingga diberi insentif lewat beasiswa atau kredit mahasiswa.

Mereka perlu program matrikulasi, penguasaan bahasa asing beserta aspek budaya, tangguh menghadapi proses seleksi masuk perguruan tinggi, serta mendapatkan program pendampingan agar lancar memulai studinya di luar negeri.

Kedua adalah program vokasional berbasis link and match.

Penekanan program adalah mengembangkan sistem apprenticeship seluas-luasnya di tanah air.

“Apalagi, para pemimpin pemerintahan dan bisnis di negara anggota G-20 telah menekankan pentingnya apprenticeship yang bermutu dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan bagi lulusan SMTA atau SMK. G-20 Leaders’ Summit telah memberi penekanan lebih jauh tentang apprenticeship,” imbuh Bimo.

Ketiga adalah program pendidikan informal untuk segmen berpendidikan rendah, lulusan SD atau tidak tamat SD serta lulusan SMP.

Pendidikan informal bisa mereduksi masalah sosial, khususnya di perdesaan. Tahap pertama untuk program ini adalah membenahi organisasi pendidikan nonformal yang pernah ada.

“Baik yang ada di tingkat desa atau kecamatan yang biasa disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat kabupaten/kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Organisasi ini harus dimodernisasi prasarananya serta kurikulumnya disesuaikan dengan kemajuan zaman,” ujar Bimo.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Anies Dicurhatin Sarjana Seni


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler