MA Tolong Pantau Pungli di Pengadilan

Selasa, 21 November 2017 – 12:06 WIB
Palu hakim simbol putusan pengadilan. Foto/ilustrasi: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Wasekjen Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rivai Kusumanegara mendesak Mahkamah Agung (MA) melakukan langkah menutup celah-celah dan mata rantai potensi pungli di pengadilan.

Menurut Rivai, pungli bukanlah persoalan sepele dan sederhana.

BACA JUGA: Bantuan Hukum untuk Warga Miskin, Kemenkumham Gandeng Peradi

"Memang hari ini publik lebih melihat soal (kasus dugaan) korupsi hakim, maupun soal jual-beli putusan dan mungkin persoalan pungli ini dianggap sepele. Tapi ini sebetulnya bukan hal sepele," kata Rivai menanggapi hasil survei Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI).

Hasil survei MaPPI FHUI sebelumnya menyatakan 23 persen dari 227 responden pernah membayar pungli agar bisa mengakses layanan di Pengadilan Negeri di Jakarta.

BACA JUGA: Jadi Ketua Peradi Jakut, Sabar Ompusunggu Segera Bentuk PBHI

Peradi mempunyai beberapa catatan. Pertama, MA harus memangkas birokrasi berbelit dan kurang efektif, serta memicu terjadinya pungli.

Contohnya, soal pendaftaran surat kuasa akibat aturan yang tidak sesuai zaman.

BACA JUGA: Peradi Beri Masukan untuk Kemenlu Soal Rohingya

Menurutnya, peraturan ini berangkat dari zaman dulu, di mana advokat masih di bawah Kemenkumham.

"Dulu ada dua profesi di bawah Kemenkumham, yakni advokat dan notaris. Semua bentuk pekerjaannya wajib diregistrasi," ujarnya.

Menurut dia, saat ini advokat tidak berada di bawah Kemenkumham. Tapi, di bawah organisasi advokat sehingga advokat tidak perlu lagi mendaftarkan surat kuasa ke peradilan.

"Tapi sampai hari ini ada dan timbulkan pungli," sesalnya.

Contoh lainnya, harus ada surat keterangan inkracht jika suatu perkara akan dieksekusi.

Untuk mengurusnya, tentu harus menempuh birokrasi yang panjang dan mengeluarkan uang.

"Bagi kami, ini tidak perlu karena akan ketahuan satu perkara sudah inkracht atau belum," ujarnya.

Terlebih, lanjut Rivai, ada ruang tersendiri untuk membuktikan suatu inkracht atau belum. Karena pada saat eksekusi, pasti termohon akan keberatan jika perkaranya belum inkracht.

"Ada proses tersendiri, tidak perlu dengan surat jawaban keterangan inkracht," jelasnya.

Contoh selanjutnya masalah biaya perkara yang menjadi salah satu sorotan Peradi.

Pasalnya, jika masyarakat mendaftarkan suatu perkara ke pengadilan, salah satu komponen terbesar adalah biaya relasi.

Sesuai ketentuan, relas harus disampaikan oleh juru sita yang wajib datang ke alamat pemohon dan termohon.

"Metodenya datang ke tempat tertuju, entah pakai motor atau mobil itu ada beban biaya. Jika dilihat, itu beban biaya terbesar, berapa kali panggilan dan tergantung para pihak. Saya pernah survei, semakin ke daerah semakin mahal," ujar Rivai.

Rivai setuju beberapa rekomendasi MaPPI yang mengharuskan MA melakukan upaya demi mewujudkan peradilan yang agung, mandiri, dan berintegritas.

Sebab, kata dia, perbaikan bukan hanya di bidang administrasi dan kecepatan pelayanan, tapi beberapa persolan yang memberatkan bagi para pencari keadilan.

"Kasihan masyarakat, dia akan mengalami biaya-biaya cukup tinggi," ujar Rivai.

Apalagi bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki uang, meski ada program probono tentu tetap saja persoalan seperti ini sangat memberatkan.

"Bagaimana dia mau ke pengadilan jika ternyata biayanya besar," ujarnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OTT KPK Kembali Jerat Pengacara, Ini Kata Ketua Peradi


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler