Madame

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 25 Agustus 2021 – 15:36 WIB
Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Apa kabar Madame Bansos? Nama itu muncul dan menghilang begitu saja.

Ketika Juliari Batubara ditangkap karena korupsi dana bantuan sosial, muncul sosok enigmatik nan misterius, yang oleh media dijuluki sebagai 'Madame Bansos'.

BACA JUGA: Vonis Juliari Batubara Bikin Terdakwa Berharap Dicerca & Dihina

Madame adalah julukan untuk wanita terhormat yang punya kedudukan tinggi. Bisa jadi sang madame punya jabatan tinggi di pemerintahan, bisa juga dia penguasa di sebuah organisasi besar, mungkin partai politik.

Kelihatannya, sang madame sangat powerful dan berpengaruh. Mungkin juga dia untouchables, tidak tersentuh. Seperti kebiasaan para mafia Italia, yang tidak pernah menyebut nama pemimpin tertinggi di depan umum, kali ini pun nama sang madame tidak pernah disebutkan secara terbuka.

BACA JUGA: Juliari Batubara Dihina, Hakim Merasa Kasihan, Haris: Ini Gila!

Bahkan, menyebut inisialnya pun tidak ada yang berani. Maka, satu-satunya cara yang paling aman adalah menyebutnya sebagai sang madame.

Sampai sejauh ini sang madame kelihatannya masih aman. Mungkin ada deal-deal politik yang membuatnya terlindungi. Atau sebaliknya, sang madame bisa menjadi sandera politik karena kartunya sudah dipegang oleh musuh politiknya.

BACA JUGA: Terbukti Bersalah Korupsi Proyek Bansos, Mantan Mensos Juliari Batubara Divonis 12 Tahun Penjara

Kartu itu bisa saja menjadi truf yang mematikan bagi sang madame.

Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman terkenal dengan ungkapannya ‘’The Bucks Stop Here’’, semua uang berhenti di sini. Ia mengatakannya sambil menunjuk meja kerjanya di ruang kepresidenan Gedung Putih.

Artinya, semua putaran uang di Amerika bisa berjalan atas perintah Truman.

Ketika dia memerintahkan supaya perputaran uang berhenti, maka perputaran pun berhenti.

Di Indonesia beda lagi. Karena banyak kasus-kasus korupsi yang tidak jelas, maka ungkapan yang tepat untuk meniru Truman adalah ‘’The Cases Stop Here’’, kasusnya berhenti di sini. Siapa yang mengatakan hal itu? Publik hanya bisa menduga-duga. Yang jelas, aroma sudah menyengat bahwa kasus-kasus korupsi tidak tertangani dengan tuntas dan menyisakan banyak pertanyaan.

Ada lagi adagium terkenal dalam politik Amerika mengenai uang, yaitu ‘’Follow the Money’’, ikuti uangnya.

Ungkapan itu muncul pada 1972 dan sampai sekarang tetap menjadi kutipan politik yang sering dipakai. Pernyataan itu muncul dalam kasus ‘’Watergate’’ yang dibongkar oleh dua wartawan legendaris dari koran The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Benrstein.

Woodward dan Bernstein membongkar skandal politik pembobolan kantor Partai Demokrat di Watergate, oleh orang-orang yang diduga berasal dari Partai Republik yang menjadi saingan abadi Partai Demokrat.

Woodward dan Bernstein berhasil menemukan seorang narasumber yang mengetahui peristiwa itu dan memahami rentetannya.

Narasumber penting itu dirahasiakan namanya dan hanya disebut sebagai ‘’The Deep Throat’’, karena suaranya yang serak dan berat. Deep throat memberi informasi kepada Woodward dan Bernstein bahwa kasus Watergate adalah skandal politik besar yang melibatkan orang-orang penting dalam hierarki politik Amerika.

Ketika Woodwad dan Bernstein bertanya kepada Deep Throat ke mana arah kasus ini. Deep Throat mengatakan, ‘’Follow the Money’’, ikuti aliran uangnya.

Ketika Wloodward dan Bernstein menelusuri aliran uang itu, akhirnya ketahuan bahwa ‘’the bucks stop here’’, uang berhenti di sini. Aliran uang berhenti di meja presiden di Gedung Putih.

Richard Nixon yang ketika itu menjadi presiden Amerika, tidak berkutik oleh investigasi Woodward dan Bernstein. Bukti-bukti yang ditelusuri dengan mengikuti aliran uang, akhirnya menunjukkan keterlibatan Nixon. Ia kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.

Beda di Amerika, beda di Indonesia. Namun, apa yang terjadi di sana ada benang merahnya dengan di sini. Uang hasil korupsi mengalir sampai jauh, dan pada satu titik ‘’the bucks stop here’’, uang itu akan berhenti di sini. Bagaimana cara membongkar kasus itu, pakailah nasihat The Deep Throat, follow the money.

Skala kasus Watergate dengan kasus korupsi bansos memang beda, dan dimensinya juga tidak sama. Namun, kalau kasus korupsi bansos bisa dibongkar sebagaimana kasus Watergate, maka sangat mungkin akan ada tokoh elite politik yang terlibat menikmati aliran uang haram korupsi.

Sebagaimana Deep Throat, yang jati dirinya masih tetap misterius sampai dia meninggal dunia pada 2008, Madame Bansos mungkin juga akan tetap menjadi misteri sampai dia meninggal dunia, entah kapan.

Hukuman terhadap Juliari dianggap terlalu ringan. Ketika kasus korupsi itu terbongkar, muncul suara agar dia dihukum mati. Wacana hukuman mati untuk koruptor dana bansos di masa pandemi sempat beredar dan mendapat banyak dukungan.

Namun, ketika kasusnya benar-benar terjadi, wacana hukuman mati itu tidak pernah muncul lagi.

Yang terjadi malah Juliari dihukum ringan. Paling tidak, banyak yang berharap dia dihukum seumur hidup atau paling ringan 20 tahun.

Namun, hakim berpendapat lain. Hukuman Juliari diperingankan karena menurut hakim, Juliari sudah menderita mendapat hukuman sosial dari masyarakat. Juliari dan keluarganya sudah dipermalukan oleh hukuman sosial masyarakat.

Dalam praktik pergaulan sosial masyarakat dikenal adanya budaya merasa bersalah atau ‘’guilt culture’’, dan budaya malu atau ‘’shame culture’’. Dalam praktik budaya merasa bersalah, seseorang akan merasa bersalah kalau melakukan tindakan yang melanggar norma sosial.

Seseorang yang melakukan korupsi akan mengalami ‘’guilty feeling’’ perasaan bersalah, karena sudah melanggar sebuah norma sosial.

Untuk mempertanggungjawabkan perasaan bersalah itu, seseorang mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Dalam praktik budaya malu, seseorang yang melakukan pelanggaran norma sosial akan merasa sangat malu.

Dia akan dilanda ‘’shame feeling’’, perasaan malu. Kalau dia memegang jabatan tertentu dia akan mundur dari jabatannya untuk menebus rasa malunya itu.

Dalam banyak kasus, kalau pelanggaran sosial yang dilakukan cukup berat, misalnya melakukan korupsi, tindakan penebusan yang dilakukan juga akan jauh lebih berat.

Mengundurkan diri dari jabatan saja tidak cukup, banyak yang kemudian menebus rasa malunya itu dengan melakukan bunuh diri.

Budaya malu yang berujung dengan bunuh diri ini dianut oleh masyarakat Jepang dengan melakukan harakiri ketika melakukan kesalahan yang memalukan. Budaya merasa bersalah ‘’guilt culture’’ banyak diterapkan masyarakat Barat.

Guilt culture dan shame culture itu tidak ada di Indonesia. Malah ada yang menyebutnya tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Budaya Indonesia bukan guilt culture, bukan shame culture. Budaya Indonesia adalah budaya yang bukan-bukan. Karena itu tidak ada budaya mengundurkan diri meskipun sudah melakukan kesalahan. Karena itu tidak ada budaya malu, apalagi bunuh diri, meski sudah jelas melakukan kesalahan.

Yang dicari kemudian adalah pembenaran-pembenaran. Korupsi bisa dicari pembenarannya. Pelanggaran hukum bisa dicarikan pembenarannya. Mengubah undang-undang bisa juga dicarikan pembenarannya.

Karena itu harus kita terima kenyataan bahwa Madame Bansos tidak akan terungkap jatidirinya. Sang Madame akan hilang ditelan zaman. Sang Madame akan menghilang dan akan berstatus ‘’Not Found’’. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler