Sebuah laporan terbaru dari lembaga Human Rights Watch mengungkapkan adanya suasana kekhawatiran dan perasaan tertekan yang dialami oleh mahasiswa Tiongkok yang sedang belajar di Australia. Mereka takut dilaporkan oleh sesama teman ke pihak berwenang di Tiongkok.
Ketika Bonnie Wong (bukan nama sebenarnya) menyaksikan unjuk rasa pro-demokrasi di University of Queensland di Brisbane, pertengahan tahun 2019 lalu, ia melihat ada beberapa orang yang mencurigakan berdiri tidak jauh dari dirinya.
BACA JUGA: Cuma Bisa Mengolok-olok, BEM UI Dikritik Sesama Mahasiswa
Bonnie tidak mengenal mereka dan kehadiran mereka menimbulkan kecurigaan dan rasa khawatir.
"Mereka tidak ikut serta dalam protes, tetapi hanya mengambil gambar kami," katanya.
BACA JUGA: Satu Keluarga dengan COVID-19 Terbang ke Australia Selatan dari Indonesia Naik Pesawat Sewaan
Bonnie berasal dari Hong Kong dan menjadi salah satu yang aktif mengorganisir unjuk rasa tersebut.
Tuntutannya saat itu adalah agar Tiongkok tidak meloloskan UU Keamanan Nasional yang kontroversial, yang akan diterapkan untuk Hong Kong.
BACA JUGA: Meski Orangnya Sudah Berada di Australia, Ribuan Visa Pencari Suaka Belum Diproses
Unjuk rasa itu juga mendapat perhatian dari mereka yang menurut Bonnie adalah aktivis pendukung Pemerintahan Tiongkok.
"Mereka kemudian mengirim foto-foto kami ke jejaring sosial Tiongkok, seperti Weibo, untuk secara terbuka merusak nama baik kami dan mencoba menemukan identitas kami."
"Ini membuat kami berisiko, karena mengatakan kami ingin memisahkan diri, kami menentang UU Keamanan Nasional Tiongkok, hal yang tidak kami lakukan."
"Saya khawatir dengan keluarga saya di Tiongkok, sehingga saya jarang berbicara mengenai kegiatan yang saya lakukan seperti ini."
Bonnie mengatakan salah seorang yang ikut mengorganisir protes, berasal dari kelompok minoritas Uyghur, merasakan dampak langsung tidak lama setelah protes terjadi.
"Setelah beberapa lama, dia tiba-tiba mendapat telepon dari agen Partai Komunis Tiongkok," katanya.
"Dan telepon itu adalah video dan di dalamnya tampak ibunya dikirim ke kamp konsentrasi di Xinjiang.
"Ini sangat mengkhawatirkan dan jelas sekali menunjukkan betapa bahayanya ikut dalam kegiatan protes di universitas." Mahasiswa takut diadukan
Bonnie adalah salah satu dari 50 mahasiswa dan akademisi yang berbicara dengan lembaga Human Rights Watch.
Lembaga ini melakukan penyelidikan mengenai intimidasi, gangguan dan pemantauan terhadap mahasiswa asal Hong Kong dan Tiongkok di kampus-kampus universitas Australia.
Banyak yang melaporkan kekhawatiran bahwa informasi mengenai mereka akan disebar, istilahnya 'doxed', di mana seseorang menyebarkan informasi pribadi orang lain, seperti alamat rumah, tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
Namun yang lain mengatakan ketakutan yang mereka rasakan lebih jauh lagi, misalnya khawatir keselamatan teman-teman atau keluarga mereka di Tiongkok, jika mereka mengeluarkan pendapat mengenai masalah tertentu, seperti situasi politik di Hong Kong.
Peneliti HRW, Sophie McNeill, mengatakan perilaku para pendukung Tiongkok ini sudah menimbulkan perasaan cemas di seluruh Australia, para mahasiswa, serta akademisi.
Mereka tidak mau lagi menyampaikan pendapat dengan jujur karena takut menarik perhatian.
"Sangat mengejutkan melihat begitu meluasnya intimidasi dan tekanan yang ada, namun juga usaha menahan diri untuk mengatakan sesuatu juga mengejutkan," kata Sophie.
"Kami memverifikasi tiga kasus mahasiswa di mana orang tua mereka di Tiongkok didatangi oleh polisi atau diperiksa karena kegiatan anak mereka di Australia.
"Kami mewawancarai mereka yang sudah mengajar mahasiswa Tiongkok selama bertahun-tahun, dan sekarang mengatakan 'saya tidak lagi menggunakan contoh negatif mengenai Tiongkok, karena saya khawatir akan dilaporkan atau diadukan secara online,"
Human Rights Watch mengatakan aktivitas yang bisa menarik perhatian Pemerintah Tiongkok dan pendukungnya bisa dalam bentuk yang sederhana, seperti memiliki akun Twitter, karena Twitter dilarang di Tiongkok, sampai ke berpartisipasi dalam protes pro-demokrasi atau membicarakan soal kedaulatan Taiwan dalam kuliah di kampus.
Sophie mengatakan dia mengonfirmasi adanya seorang mahasiswa Tiongkok yang membuat akun media sosial di Australia, yang kemudian paspornya diambil pihak berwenang sekembalinya dia ke Tiongkok.
"Seseorang yang menyampaikan dukungan terhadap gerakan pro-demokrasi di Australia mendapat ancaman akan dilaporkan ke pihak berwenang Tiongkok. Dan itu benar-benar terjadi, dan dia sekarang merasakan tekanan yang nyata." Australia harus menunjukkan sikap tegas
Menteri Pendidikan Australia, Alan Tudge mengatakan laporan Human Rights Watch menangkat "beberapa masalah yang memprihatinkan".
"Campur tangan apa pun di dalam kampus kita oleh kekuatan asing tidak bisa dibiarkan," katanya dalam sebuah pernyataan.
"Kami sudah mengambil beberapa tindakan untuk memerangi campur tangan asing dan bekerja sama erat dengan universitas, juga segera akan memperbaiki petunjuk di universitas."
Alan mengatakan Komite Mengenai Intelejen dan Keamanan di Parlemen Australia sudah mulai menyelidiki soal risiko keamanan nasional di sektor pendidikan tinggi.
Keprihatinan oleh Menteri Alan uga mendapat dukungan dari pihak oposisi di Australia.
"Salah satu manfaat besar dari pendidikan di universitas di Australia adalah kita bisa menunjukkan kepada mahasiswa dari seluruh dunia soal adanya kebebasan berpendapat di sini, debat yang serius, namun aling menghargai perbedaan pendapat," kata Menteri Pendidikan Bayangan dari Partai Buruh, Tanya Pilbersek.
"Penting sekali universitas melindungi kebebasan ini."
Kedutaan Besar Tiongkok di Canberra mengatakan laporan HRW tersebut adalah "sampah".
"Human Rights Watch sudah berkarat menjadi alat politik dari pihak Barat untuk menyerang dan memperburuk nama negara berkembang."
"Selalu bias terhadap Tiongkok.'
Laporan Human Rights Watch membuat beberapa rekomendasi mengenai bagaimana agar situasi ini bisa lebih baik bagi mahasiswa asing yang sedang belajar di Australia, setelah menemukan banyak mahasiswa tidak melaporkan masalah mereka karena merasa tidak akan ditangani oleh pihak universitas.
Salah satu tuntutan dari HRW adalah universitas secara terbuka mengakui adanya contoh dan peristiwa intimidasi dan penekanan.
"Memberikan ketegasan, memberitahu kepada mahasiswa, bahwa bila mereka terlibat dalam perilaku yang melanggar aturan akademis, mereka akan kehilangan haknya menjadi mahasiswa bila melakukan hal tersebut," kata Sophie.
Direktur Eksekutif Universities Australia, yakni lembaga yang membawahi seluruh universitas di Australia, Catriona Jackson, mengatakan khawatir dampak rekomendasi terhadap privasi mahasiswa yang terlibat.
"Ini bisa menjadi sangat rumit," katanya.
Namun ia mengatakan masih banyak yang harus dikerjakan.
"Setiap pemimpin universitas sedih dan khawatir dengan rincian yang apa dilaporkan Human Rights Watch," katanya.
"Saya ingin mengatakan saya terkejut namun tidak juga terlalu terkejut."
"Ini bukan di satu negara saja, tapi di sejumlah negara memang ada masalah di mana mahasiswa dan staf tidak bebas berbicara dan ini tidaklah bagus."
Menjurut Human Rights Watch sekitar 40 persen mahasiswa internasional di Australia berasal dari Tiongkok,
Catriona menolak pendapat bahwa universitas sengaja tidak mengindahkan masalah ini, karena kekhawatiran akan kehilangan pasar yang besar dari Tiongkok.
"Saya tidak melihat adanya bukti bahwa institusi tidak memiliki komitmen berkenaan dengan kebebasan berpendapat di kampus."
Bonnie mengatakan meski mengalami ketakutan dengan apa yang dialaminya, dia tetap akan terus memperjuangkan apa yang diyakininya.
"Seberapa ancamannya, saya kira saya tidak harus dan tidak akan berhenti," katanya.
"Perjuangan ini tidak hanya mengenai warga Hong Kong, namun juga bagi warga Australia, karena saya kira pihak berwenang Australia harus melindungi mahasiswa Australia dan melindungi apa yang sudah diperjuangkan sebelumnya."
"Saya tidak merasa dilindungi di sini, dan itu yang mengecewakan saya."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Palang Merah Sebut Varian Deltan dan Krisis Tabung Oksigen Mendorong Indonesia ke Jurang Bencana COVID-19