Mahasiswa Indonesia di Australia menyambut baik pelonggaran batas jam kerja bagi mahasiswa internasional yang bekerja di bidang perhotelan dan pariwisata, setelah setahun lamanya terdampak pandemi COVID-19.
Dengan perbatasan internasional yang diperkirakan baru akan dibuka pada tahun 2022, mahasiswa internasional di luar Australia tidak akan dapat datang atau kembali ke negara tersebut.
BACA JUGA: Tujuh Anak Tewas Dalam Aksi Penembakan di Sekolah Rusia
Melihat hal ini, pemerintah untuk sementara akan melonggarkan batas jam kerja mahasiswa internasional di Australia yang bekerja di bidang pariwisata dan perhotelan menjadi lebih dari 40 jam seminggu.
Saat ini, mahasiswa internasional hanya diizinkan bekerja selama 20 jam per minggu, dan baru bisa bekerja penuh waktu di masa libur sekolah.
BACA JUGA: 3 Lockdown untuk 3 Gelombang COVID-19 di Malaysia
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan keputusan ini sangatlah penting bagi "banyak" mahasiswa internasional yang masih tinggal di Australia.
"Jumlahnya jauh lebih banyak dari yang saya pikirkan," kata PM Scott Morrison.
BACA JUGA: Jenazah Memenuhi Tepi Sungai Gangga, WHO Peringatkan Bahaya Varian COVID-19 India
Senang bisa bekerja tanpa batas waktuBeberapa mahasiswi asal Indonesia yang berbicara dengan ABC Indonesia mengatakan senang dengan keputusan tersebut dan akan berusaha untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin.
“Saya akan memanfaatkan hal ini. Ini membuat saya akan bekerja tanpa 'limit' [batas] dan kalau memang harus bekerja di dua tempat tidak usah pusing,” kata Fanny Nathalia, mahasiswi asal Situbondo, Jawa Timur ketika diwawancara kemarin (11/05).
Fanny yang mengambil jurusan Advanced Diploma in Hospitality tersebut kini bekerja di dua tempat bidang perhotelan, yaitu sebuah toko 'Fish and Chips' dan restoran Jepang.
Dengan dilonggarkannya batas jam kerja ini, Fanny mengatakan mahasiswa tidak perlu mencari pekerjaan "gelap" yang dibayar tunai dan di bawah standar gaji minimum.
"Dengan ini saya bisa kerja di dua tempat tanpa harus mencari kerjaan yang dibayar tunai," kata Fanny kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
"Karena kalau masih kerja [dengan] bayaran tunai sebenarnya susah dan banyak majikan yang memanfaatkan mahasiswa dengan membayar rendah."
Pelonggaran ini juga memudahkan Fanny karena bisa "mendapatkan bayaran lebih baik tanpa harus memilih salah satu tempat kerja".
“Kalau dulu karena hanya 20 jam, otomatis kalau kita mau cari tambahan kerja yang resmi yang membayar pajak, kita harus melepas salah satunya,” kata dia. 'Mengatur waktu sehingga tidak mengganggu kuliah'
Keputusan baru ini juga menyumbang kebahagiaan bagi mahasiswi Indonesia lainnya, Jennifer Nio, yang berasal dari Cikarang, Jawa Barat.
Sejak lima bulan terakhir, mahasiswi yang memulai pendidikannya di Melbourne tahun 2019 ini bekerja di sebuah restoran Jepang yang menyajikan ramen di pusat kota Melbourne.
Jennifer merupakan salah satu mahasiswi internasional di Australia yang kehilangan pekerjaannya karena pandemi COVID-19.
“Sebelumnya saya pernah kerja di kantor agen pendidikan dan migrasi. Kantornya kemudian tutup karena COVID-19 sehingga saya pindah kerja di restoran,” katanya.
Walau tidak menggantungkan biaya hidup sepenuhnya dari pekerjaan, Jennifer mengatakan akan menambah jam kerja di restorannya sekarang ini.
“Dengan pelonggaran ini akan membantu juga. Saya juga akan berusaha mengatur waktu sehingga tidak mengganggu jadwal kuliah saya,” kata Jennifer yang sedang studi di bidang 'cookery' atau tata boga tersebut.
Mahasiswa internasional 'pekerja lepas' mengaku masih kesulitan
Bagi mahasiswi Advanced Diploma in Hospitality di Melbourne lainnya, Elga Ayudi, keputusan Pemerintah Australia ini juga adalah hal yang baik.
Namun, Elga mengaku masih kesulitan dalam menemukan pekerjaan "di dapur yang resmi membayar pajak".
Padahal, dia harus praktik di dapur restoran sebagai bagian dari permintaan sekolah untuk dapat menyelesaikan pendidikannya.
“Pekerjaan yang ada saya lihat sih banyak namun juga kebanyakan untuk akhir pekan," kata mahasiswi yang bekerja sebagai pengantar makanan di sebuah pub tersebut.
“Saya sebenarnya perlu pekerjaan di dapur yang resmi yang membayar pajak sebagai bagian dari studi, namun saya kerja ini dulu sambil mencari kesempatan,” katanya.
Menurut Elga, statusnya sebagai pekerja lepas atau 'casual', yang tidak memiliki jam tetap dan hanya dipanggil ketika diperlukan oleh tempat kerjanya juga menimbulkan masalah bagi mahasiswi seperti dirinya sendiri.
“Sebelumnya kadang jam kerja saya yang panjang dihapus begitu saja karena keterbatasan jam kerja. Kadang bisa dapat 20 jam lebih kemudian dipotong tiba-tiba sehingga akhirnya cuma kerja 8-10 jam," katanya.
"Tidak ada jaminan kepastian sebagai 'casual' [pekerja lepas]." Pemberian bagi mahasiswa internasional 'terlalu sedikit dan terlambat'
Walau pada umumnya reaksi positif dari mahasiswa internasional muncul atas keputusan pemerintah Australia tersebut, Presiden Dewan Mahasiswa Internasional Australia (CISA) Belle Lim kurang sependapat.
Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah ini "terlalu sedikit dan terlambat".
Belle mengatakan kurangnya bantuan yang diberikan kepada mahasiswa internasional selama setahun terakhir selama pandemi menunjukkan bahwa "mahasiswa internasional tidak dihargai oleh pemerintah”.
"Tidak disebutkan [dalam pidato APBN] tentang sumbangsih mahasiswa internasional bagi lapangan kerja di Australia, dan peristiwa yang kami lalui tahun lalu tanpa dukungan apapun," kata Belle kepada wartawan ABC Zena Chamas.
Dia mengatakan bahwa pemerintah harus mengakui kontribusi mahasiswa internasional bagi Australia dalam banyak aspek.
“Sudah ada beberapa laporan internasional dan Australia berada di peringkat paling bawah dalam daftar tujuan bagi mahasiswa sekarang. Mereka sekarang memilih ke Inggris dan Kanada, bahkan ke Amerika Serikat.”
Selain mahasiswa internasional, mereka yang saat ini memegang visa sementara yang sudah bekerja atau ingin bekerja di bidang wisata atau perhotelan boleh mendaftarkan diri untuk mendapatkan visa 408 Pandemi COVID-19.
Aplikasi ini harus diajukan paling lambat 90 hari sebelum visa mereka berakhir untuk bisa berada di Australia sampai 12 bulan ke depan.
Laporan tambahan oleh Zena Chamas mengenai pelonggaran jam kerja bagi mahasiswa internasional bisa dibaca di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak-anak di Gaza Terbunuh di Tengah Konflik yang Memanas Antara Israel dan Palestina