Makelar Perdamaian ala Prabowo

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Senin, 05 Juni 2023 – 19:21 WIB
Prabowo Subianto. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com - Perang Rusia vs Ukraina yang sudah berlangsung selama hampir 16 bulan. Namun, perang yang diswali serbuan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 itu belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Sudah banyak proposal perdamaian yang diajukan, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan perang.

BACA JUGA: Raja Charles & Dosa Kolonialisme

Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto mencoba peruntungan untuk menjadi perantara damai dengan mengajukan usulan perdamaian.

Prabowo menyampaikan usulannya saat hadir pada forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 2023 di Singapura, akhir pekan lalu.

BACA JUGA: Presiden Porno

Proposal perdamaian yang diajukan Prabowo ialah penghentian permusuhan segera, gencatan senjata pada posisi sekarang, dan zona demiliterisasi yang akan dijamin oleh pasukan penjaga perdamaian PBB. Prabowo juga menyarankan sebuah referendum di wilayah yang disengketakan yang diselenggarakan oleh PBB.

Namun, usulan Prabowo itu ditolak mentah-mentah oleh Ukraina. Alih-alih mendapat sambutan, proposal itu langsung ditolak di tempat.

BACA JUGA: FIFA Kanjuruhan

Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov yang hadir pada pertemuan itu dengan tegas menolak ide Prabowo. Bukan hanya menolak, Reznikov bahkan mencibir proposal itu dengan menyebutnya sebagai usulan Rusia.

Dengan kata lain, Reznikov menganggap Prabowo hanya sebagai makelar perdamaian yang membawa misi Rusia. Reznikov tegas mengatakan tidak butuh makelar perdamaian dengan usul yang ganjil sebagaimana yang dibawa Prabowo.

Dalam diplomasi internasional, istilah makelar perdamaian bukanlah hal yang pejorative atau merendahkan. Makelar perdamaian atau peacebroker malah mempunyai posisi terhormat dalam proses perdamaian yang melibatkan sengketa besar di dunia internasional.

Tokoh sekelas Jimmy Carter, mantan presiden Amerika Serikat, pernah menjadi makelar perdamaian untuk mendamaikan Mesir dengan Israel setelah Perang Enam Hari pada 1967.

Ketika itu konflik perebutan wilayah antara Israel -yang menduduki Palestina- dengan negara-negara Arab di sekitarnya berujung pada perang besar selama enam hari. Dalam perang singkat itu, Israel berhasil mengalahkan aliansi negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir, Suriah, dan Yordania.

Jimmy Carter menjadi penengah dan muncul sebagai makelar perdamaian yang sukses membawa Mesir dan Israel menandatangani kesepakatan damai. Maka lahirlah persetujuan Camp David yang ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada 1978.

Tidak semua orang menyukai perdamaian. Keputusan damai Anwar Sadat dengan Israel disambut sebagai langkah positif untuk mengakhiri konflik regional yang berkepanjangan.

Namun, banyak pihak menganggap Anwar Sadat yang berdamai dengan Yahudi sebagai pengkhianat. Sadat akhirnya dibunuh oleh tentara Mesir dalam sebuah defile militer pada 1981.

Oleh karena itu, misi makelar perdamaian yang dibawa Prabowo adalah misi yang mulia. Hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Jokowi ketika mengunjungi Ukraina dan Rusia pada 2022 ketika perang baru saja berkecamuk.

Sayangnya, dua misi makelar perdamaian itu sama-sama gagal. Bukan hanya gagal, Jokowi saat itu dianggap memutarbalikkan fakta.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyatakan pihaknya tidak butuh makelar perdamaian karena bisa berkomunikasi langsung dengan pihak Rusia. Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin malah menguliahi Indonesia supaya tidak mengajari cara berdamai dengan Ukraina.

Rupanya Prabowo ingin memanfaatkan posisi Indonesia sebagai ketua Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN)  untuk menjadi mediator damai. Namun, upaya itu gagal, bahkan malah menjadi bumerang yang mempermalukan reputasi Indonesia di dunia internasional.

Di forum itu pula Prabowo terpantik emosinya dan memberi reaksi dengan nada tinggi. Prabowo mengatakan bahwa Indonesia sudah pernah merasakan menjadi korban invasi yang dirasakan oleh Ukraina.

Oleh karena itu, Indonesia berusaha mengajukan proposal damai berdasarkan pengalaman yang pernah dirasakan oleh Indonesia.

Proposal itu sebenarnya berisi hal-hal yang bersifat standar dalam upaya perdamaian di seluruh penjuru dunia. Kedua negara yang berkonflik diminta menghentikan peperangan, kemudian mengadakan gencatan senjata pada posisi sekarang.

Selanjutnya pasukan PBB didatangkan untuk menjaga perdamaian. Adapun untuk perdamaian jangka panjang diusulkan sebuah referendum.

Indonesia punya pengalaman konflik semacam itu, meskipun tidak sepenuhnya sama. Pada 1969, Indonesia terlibat dalam konflik wilayah dengan Belanda untuk memperebutkan wilayah Irian Barat.

Pola perdamaian standar itu ditetapkan dan referendum diadakan. Indonesia memenangkan referendum itu.

Terlepas dari proses referendum yang dinilai banyak cacat, Irian Barat kembali menjadi wilayah Indonesia.

Hal yang sama terjadi pada 1999 ketika Indonesia mengadakan referendum untuk menentukan masa depan Timor Timur. Kali ini Indonesia kalah dan Timor Timur lepas dari kekuasaan Indonesia.

Dua referendum yang dilaksanakan di Indonesia itu mempunyai hasil yang berbeda. Indonesia menang dalam persoalan Irian Barat, tetapi kalah soal Timor Timur.

Pengalaman mengelola konflik wilayah di Indonesia itu menjadi bekal bagi Prabowo untuk menjadi makelar perdamaian perang Rusia vs Ukraina. Sayangnya, proposal itu terlalu sederhana—malah dibilang ganjil—karena tidak melihat konteks global yang menjadi dasar invasi Rusia terhadap Ukraina.

Ukraina menganggap proposal Prabowo ganjil karena mantan Danjen Kopassus itu seolah-olah meminta Ukraina mengalah kepada Rusia. Ukraina tetap kukuh dengan pendiriannya untuk dibiarkan bebas menentukan masa depan negaranya sendiri.

Ukraina tegas ingin menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dengan demikian Ukraina menjadi bagian dari aliansi kekuatan militer Eropa dan Amerika.

Bagi Rusia, membiarkan Ukraina menjadi anggota NATO sama saja dengan menodongkan senjata ke kepala sendiri. Ukraina berada tepat pada perbatasan dengan Rusia.

Di masa lalu, Ukraina adalah bagian dari Uni Soviet. Namun, Uni Soviet bubar dan terpecah menjadi 15 negara-negara kecil pada 1990.

Rusia tetap ingin mengontrol negara-negara bekas jajahannya itu dan tidak menghendaki mereka berpihak kepada Eropa dan Amerika.

Inilah problem pelik yang mirip benang ruwet. NATO dianggap melakukan cawe-cawe terhadap urusan dalam negeri Ukraina yang mengancam Rusia.

Pada 2014, Amerika dituduh berada di balik pendongkelan Viktor Yanukovich dari jabatan Presiden Ukraina. Pada 2019, Zelenskyy yang pro-Barat memegang tampuk kepresidenan Ukraina.

Zelenskyy kemudian bersikeras membawa Ukraina menjadi anggota NATO supaya bisa mendapatkan pengamanan langsung dari ancaman Rusia. Tentu saja Rusia tidak akan membiarkan hal ini terjadi.

Maka, Rusia pun menginvasi Ukraina untuk menghentikan ancaman keamanan yang berada tepat di pintu belakang rumahnya.

Konflik Rusia-Ukraina sangat pelik karena melibatkan persaingan global antara Rusia—sebagai ahli waris Uni Soviet—melawan Amerika yang merasa sebagai penguasa tunggal dunia.

Amerika tidak berani melakukan perang terbuka melawan Rusia yang masih punya 6.000 hulu ledak nuklir aktif. Perang terbuka Amerika vs Rusia akan berpotensi menjadi perang dunia ketiga.

Konflik Rusia-Ukraina superpelik, tetapi proposal Prabowo terlalu sederhana. Maunya menjadi pendamai dunia, tetapi akhirnya harus menahan malu.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... King Maker dan Power Broker


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler