jpnn.com, SURABAYA - Kasus kekerasan atau kekejaman jasmani menempati urutan ketiga faktor penyebab perceraian di Kota Surabaya.
Namun, kekerasan tersebut tidak melulu dilakukan suami kepada istri. Pada beberapa kasus, bahkan terjadi sebaliknya.
BACA JUGA: Oknum Anggota KPU Tanjungkarang Dijerat Pasal Berlapis
Kekerasan jasmani yang dilakukan istri kepada suami tidak banyak terungkap dalam laporan talak atau gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Agama (PA) Surabaya.
Biasanya fakta tersebut baru muncul saat proses persidangan.
BACA JUGA: Astaga, Cekcok soal Lauk Pauk, Jleb, Jleb, Istri Sekarat, Ipar Tewas
''Suami hanya menyebutkan 'istri tidak taat'. Setelah di persidangan, barulah diketahui bahwa ada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," ujar Kepala Humas PA Surabaya Mufi Ahmad Baihaqi.
Namun, angka suami yang menjadi korban KDRT istri masih sangat kecil.
BACA JUGA: Duh Gusti! Suami Tega Siram Bensin ke Tubuh Istrinya Lalu Disulut Api
Berbeda dengan KDRT yang dilakukan suami ke istri, jumlahnya sangat banyak.
''Mungkin saja mereka malu. Hanya waktu persidangan biasanya istrinya mengaku telah melakukan KDRT ke suami," jelas Mufi.
Menurut Mufi, permasalahan seperti itu tidak seharusnya terjadi.
Sebab, yang menjadi korban adalah anak. ''Anak-anak akan trauma melihat orang tuanya bertengkar terus," terangnya.
Biasanya, setelah perceraian, status hak asuh anak akan menjadi rebutan.
Lagi-lagi, hal itu akan menjadi tekanan psikologis bagi anak-anak.
''Dalam perceraian, tahap ini yang paling berat. Sebab, hakim harus sangat teliti dan mempertimbangkan banyak hal karena menyangkut masa depan anak," terangnya. (gal/c7/oni/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cemburu Buta, Pensiunan TNI Pukul Istri dengan Cakram Motor
Redaktur & Reporter : Natalia