jpnn.com, JAKARTA - DPR RI tetap kukuh untuk memasukkan pasal pemberantasan korupsi dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Sikap DPR tersebut mengindikasikan bahwa legislatif hendak berupaya membonsai bahkan melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, pemerintah dinilai lepas tangan sehingga terkesan juga hendak membonsai KPK.
“DPR, jangan melemahkan KPK melalui RUU KUHP,” ungkap Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) RBA Jakarta Pusat TM Mangunsong dalam rilisnya, Minggu (3/6/2018).
BACA JUGA: Buset, Penyidik KPK Temukan Ini di Rumah Bupati Bengkalis
KPK, kata Managing Partner Law Firm TM Mangunsong & Partner ini, adalah anak kandung reformasi. Pasalnya, salah satu tuntutan gerakan reformasi adalah pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang marak semasa rezim Orde Baru.
Menurutnya, pemberantasan korupsi itu amanat reformasi. MPR kemudian melahirkan Ketetapan No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan kemudian pemerintah dan DPR pun melahirkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan juga UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Karena itu, kehadiran KPK ini merupakan pengejawantahan TAP MPR yang merupakan amanat reformasi.
BACA JUGA: Waspada RUU KUHP Melemahkan Pemberantasan Korupsi
“Bila kemudian KPK dilemahkan, berarti DPR dan pemerintah mengkhianati cita-cita reformasi,” jelasnya.
Mangunsong sependapat dengan KPK yang mengirim surat kepada Presiden RI dan DPR, namun pemerintah kemudian lepas tangan ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan surat KPK itu salah alamat, karena yang melakukan pembahasan RUU KUHP adalah DPR.
BACA JUGA: ICW Catat 3 Hal di RUU KUHP Bahayakan Pemberantasan Korupsi
Menurut Mangunsong, masih adanya sejumlah pasal tipikor dalam RUU KUHP akan membahayakan upaya pemberantasan korupsi.
“Pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan serius dan luar biasa atau extraordinary crimeseperti korupsi sebaiknya tidak diatur dalam RUU KUHP, karena sudah diatur dalam UU Tipikor yang merupakan lex specialis (norma khusus), yakni UU No 31/1999 yang kemudian diperbarui dengan UU No 20/2001. Kalau diatur dalam RUU KUHP, bisa overlapping (tumpang-tindih),” paparnya.
Mangunsong mencatat beberapa poin kritis dari rumusan delik korupsi dalam RUU KUHP yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi oleh KPK. Setidaknya ada empat akibat yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK jika RUU KUHP tetap disahkan pada Agustus mendatang. Di antaranya memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan KPK.
Pemerintah dan DPR, katanya, kerap berdalih bahwa jika RUU KUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya.
"Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RUU KUHP disahkan," terangnya.
KPK, lanjutnya, tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP.
“Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan,” cetusnya sambil menambahkan kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU KPK yang secara spesifik menyebutkan KPK berwenang menindak tipikor yang diatur dalam UU Tipikor.
“Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus tipikor nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor,” tambahnya.
Selain KPK, kata Mangunsong, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk RUU KUHP. Pasal 6 UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tipikor sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
“Jika tipikor diatur dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum,” urainya.
Mangunsong berpendapat, bila RUU KUHP disahkan akan menguntungkan koruptor karena ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RUU KUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam UU Tipikor.
“Lebih ironis lagi, koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada negara karena RUU KUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti,” tegasnya.
Ditambahkan, RUU KUHP juga tidak mengakomodir ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana.
“Jika ketentuan Pasal 4 tidak dimasukkan dalam RUU KUHP maka pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara agar tidak diproses oleh penegak hukum,” jelasnya.
Ia mendesak pemerintah bersikap tegas, bukan justru lepas tangan, dengan menolak setiap pembahasan di DPR yang berpotensi melemahkan KPK, baik dari sisi kelembagaan maupun kewenangan.
“Kita justru mendukung agar KPK diperkuat, mengingat korupsi di Indonesia sudah kronis bak kanker yang menggerogoti tubuh bangsa ini,” katanya.
Korupsi, masih kata Mangunsong, enemy (musuh bersama) dan extraordinary crime, sehingga untuk memberantasnya pun dilakukan dengan melibatkan segenap komponen bangsa, dan dengan cara-cara luar biasa pula.
“Kalau dengan cara-cara biasa, jangan berharap korupsi akan lenyap dari Bumi Pertiwi ini,” tandasnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Diminta Jangan Lamban Menangani Kasus Tanah Batu Ampar
Redaktur & Reporter : Friederich