jpnn.com - Pada 21 Desember 2024, banyak sekolah memberikan nilai rapor kepada para murid. Di hari itu, emosi bercampur aduk—ada yang senang, kecewa, bahkan curiga.
Tak jarang, muncul tudingan manipulasi nilai dalam rapor. Namun, benarkah manipulasi ini dapat diterima dalam kacamata pendidikan?
BACA JUGA: Pendidikan Karakter Bangsa Jadi Pondasi untuk Menciptakan Generasi yang Bermartabat
Beberapa pelaku pendidikan mungkin berdalih bahwa ini adalah realitas sosial yang tidak terhindarkan, sejalan dengan budaya "semuanya harus terlihat baik." Tetapi, apakah tujuan pendidikan hanya sekadar memenuhi ekspektasi formal semacam ini?
Dalam pandangan umum, manipulasi nilai sering dianggap sebagai strategi dalam menjaga "muka" sekolah atau menghindari tekanan dari orang tua.
BACA JUGA: Era Baru Pendidikan Toddler, Fokus pada Kreativitas dan Kecerdasan
Sebagaimana seorang guru senior di suatu sekolah pernah berkata, “Nilai bagus sekarang mungkin hanya sementara, tetapi mudah-mudahan anak-anak ini nanti benar-benar belajar setelah lulus.”
Pendapat tersebut seolah-olah menyiratkan bahwa nilai hanya simbol—bukan representasi sejati dari pencapaian siswa.
BACA JUGA: 3 Manfaat Teknologi Virtual Reality dalam Dunia Pendidikan Dokter
Sayangnya, pendekatan seperti itu menciptakan ilusi keberhasilan yang justru berbahaya. Anak-anak yang mendapatkan nilai bagus tanpa usaha nyata dapat bertumbuh dengan pemahaman keliru tentang kerja keras dan konsekuensi.
Orang tua, yang seharusnya menjadi mitra kritis dalam pendidikan, juga terjebak dalam euforia angka-angka semu.
Anthony de Mello, dalam bukunya “Burung-burung Berkicau”, menyinggung bahwa manusia sering lebih peduli pada ajaran yang menyenangkan atasan daripada mencari kebenaran sejati.
Dalam konteks pendidikan, hal demikian mencerminkan kecenderungan memprioritaskan hasil instan demi menyenangkan pemangku kepentingan dibanding menanamkan nilai-nilai pembelajaran jangka panjang.
Di satu sisi, nilai tinggi mungkin menghindarkan siswa dari trauma sementara akibat kegagalan; di sisi lain, praktik ini menanamkan nilai-nilai manipulatif bertentangan dengan tujuan pendidikan.
Sistem pendidikan kita juga turut berkontribusi pada demam nilai tinggi ini. Dahulu, sekadar menghindari nilai merah sudah cukup membuat siswa dan orang tua lega. Namun, kini batas kelulusan (ketuntasan) yang tinggi menambah beban psikologis.
Guru terpaksa memainkan angka demi menjaga reputasi sekolah dan menjaga semangat belajar siswa. Dalam kondisi ini, sekolah tidak lagi menjadi arena pembentukan karakter dan kompetensi, tetapi lebih menyerupai mesin penghasil angka.
Persoalannya, apakah pendidikan di Indonesia masih berfungsi mencari kebenaran atau hanya sekadar memperkuat struktur formal yang ada? Jika kita terus mengedepankan gengsi atas kebenaran, generasi mendatang hanya akan belajar mengakomodasi kebohongan demi kenyamanan.
Siswa tidak akan belajar menghadapi kegagalan dengan bijak, sementara guru kehilangan kesempatan memotivasi muridnya melalui umpan balik yang jujur.
Tentu saja, ada dilema moral yang kompleks di sini. Memberikan nilai rendah dapat mematahkan semangat siswa dan menimbulkan konflik dengan orang tua. Namun, bukan berarti manipulasi nilai adalah solusi terbaik.
Pendidikan seharusnya menghasilkan ruang aman bagi siswa agar dapat belajar dari kesalahan dan berkembang secara autentik. Sistem nilai perlu direformasi agar lebih menekankan pada proses, bukan hanya hasil akhir.
Sebagai pelaku pendidikan, mereka perlu bertanya: apakah tujuan utama pendidik adalah membenarkan ajaran tertentu atau mencari kebenaran? Jika pendidikan bermakna adalah tujuan, maka keberanian mengakui kelemahan sistem dan memperjuangkan pembaruan haruslah menjadi prioritas.
Nilai dalam rapor bukanlah akhir dari segalanya. Pendidikan sejati terletak pada proses belajar, keberanian mencoba, dan kemampuan terus bertumbuh—baik bagi siswa maupun guru.
Sampai kapan para pendidik akan terjebak dalam ilusi angka? Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada angka hanya menghasilkan kepuasan semu.
Untuk menghasilkan dampak lebih mendalam, pelaku pendidikan perlu mengambil sikap tegas: mengutamakan integritas di atas segalanya.
Dengan cara ini, mereka dapat melawan kecenderungan mengejar hasil tanpa substansi.
Pada akhirnya, pendidikan sejati tidak sekadar diukur dengan angka di rapor, melainkan dengan pembentukan karakter dan kemampuan hidup yang berakar pada kebenaran sejati.
Dengan memprioritaskan proses di atas hasil, pendidikan menjadi alat yang memampukan setiap individu dalam menjalani kehidupan dengan keberanian, kejujuran, dan kebijaksanaan.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari