Seorang pria yang ketika remaja pernah dipekerjakan untuk menyortir barang bukti foto-foto kejahatan brutal seperti pemerkosaan, pembunuhan dan mutilasi berniat melaporkan Kantor Kejaksaan negara bagian Victoria, Australia, ke Komisi Pelecehan Seksual Anak.
Pada 1987, pria bernama Paul yang ketika itu berumur 13 tahun, merupakan satu dari sekelompok anak laki-laki yang dibayar untuk menyortir foto, video dan transkrip dari kasus kejahatan seksual dan pembunuhan.
BACA JUGA: Pengungkap Beasiswa Rahasia untuk Anak Tony Abbott Lolos dari Hukuman Penjara
Berkas-berkas itu hendak dimusnahkan dengan tujuan untuk mengurangi jumlah arsip agar dana penyimpanan data yang dibayarkan Kantor Kejaksaan bisa ditekan.
Paul mengaku dirinya beberapa kali berniat melakukan bunuh diri dan marah atas lambannya Pemerintah Victoria untuk menyelidiki apa yang ia katakan sebagai bentuk pelecehan anak.
BACA JUGA: Perusahaan Australia Toll Holdings Lepas Bisnisnya di Indonesia
"Akibat pengalaman ini, pada usia yang sangat muda, kami sudah menyadari ada orang-orang yang akan memperkosa seseorang, membunuh seseorang, melakukan hal-hal pada tubuh korbannya setelah melakukan kejahatan tersebut, dan banyak lagi hal-hal mengerikan yang lainnya," ungkap Paul.
Dia mengatakan, "Pornografi ketika itu masih langka. Jika seseorang telah melakukan pemerkosaan, mereka menggunakan fakta bahwa mereka memiliki barang-barang pornografi sebagai bukti terhadap mereka."
BACA JUGA: Warga Indonesia Berhasil Selamatkan Diri dari Kebakaran di Melbourne
"Kami yang memutuskan dokumen apa yang pantas disimpan atau dimusnahkan, dan sebagai anak berusia 13 tahun jika kami memutuskan untuk memusnahkan dokumen itu maka arsip mereka akan hilang selamanya," jelasnya.
Pekerjaan pada masa liburan sekolah di Kantor Kejaksaan tersebut menghasilkan banyak uang bagi remaja seusia Paul, karena tidak ada staf yang bersedia melakukan tugas tersebut. Ketika bekerja mereka juga diawasi oleh remaja lainnya.
Namun pengalaman itu sangat traumatis, selesai dari mengerjakan tugas, Paul kerap menarik diri dari teman dan keluarga, nilai-nilai sekolahnya juga menurun dan ia juga menjadi tidak yakin dengan keputusannya.
Paul belakangan didiagnosa mengalami Gangguan Pasca Trauma alias PTSD dan ia memikirkan nasib belasan remaja lain yang bekerja bersamanya yang juga mengalami dampak yang sama.
Salah satu dari mereka diketahui melakukan bunuh diri, sementara satu orang lainnya didakwa melakukan pembunuhan ketika berusia 20 tahun.
"Saya menderita gangguan Hypervigilance atau kewaspadaan yang berlebihan, dan itu berdampak pada semua hubungan dan persahabatan yang saya miliki," kata Paul.
Menurut Paul setelah kelompoknya, masih ada sekelompok anak laki-laki lain yang dibayar untuk melakukan tugas serupa dan ia tidak tahu berapa lama praktek tersebut berlangsung.
Paul kemudian menuliskan kisahnya ke Menteri Utama Victoria, Denis Napthine, tahun lalu, namun keluhannya tidak pernah direspon. Satu-satunya respon yang didapatnya adalah permintaan maaf dari Jaksa Agung Robert Clark yang mengatakan dia menyesal mengetahui pengalaman yang dialaminya.
Namun menurut Paul 'pengalaman ' adalah ketika seseorang bepergian keluar negeri, namun tugas yang dia dibayar untuk melakukannya adalah bentuk pelecehan terhadap anak. Oleh karenanya dia memutuskan untuk melaporkan Kantor Kejaksaan Victoria ke Komisi Pelecehan Seksual Anak.
"Saya hendak membeberkan kasus ini dan membela diri saya sendiri agar bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik," tegas Paul.
Sementara itu Psikolog, Rosemary Williams, yang mengobati Paul, mengatakan OPP telah bersikap sangat tidak bertanggung jawab karena menunjukan anak-anak untuk menyortir gambar-gambar sadis tersebut.
"Video dan foto pembunuh dan pemerkosa dan pelaku mutilasi, mereka masih terlalu muda secara kejiwaan untuk dapat mentolerir paparan gambar sadis seperti itu," katanya.
"Saya tidak terlalu paham soal hukum, tapi yang jelas klien saya terlalu belia auntuk terekspose dengan material semacam itu akibatnya mereka sulit beradaptasi di masa dewasa," tambah Williams.
Sementara itu Kantor Kejaksaan mengatakan pihaknya akan mempelajari kasus ini namun membantah telah menawarkan pekerjaan itu kepada siswa yang berusia di bawah 18, mengingat tugas mereka adalah mengadili pelanggaran serupa yang dapat dituntut dengan hukuman serius karena mereka menyadari sangat sulit meminimalkan dampak dari risiko eksposur materi grafis yang mengerikan itu terhadap anak-anak.
Paul sendiri mengatakan dirinya berencana mengajukan gugatan kepada Komisi Royal yang mengusut kasus pelecehan seksual pada anak.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Petani Australia Desak Perpanjangan Visa Pemetik Buah