jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang kerap menimpa warga Indonesia harus terus dilawan.
Apalagi hal itu tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2), yakni tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
BACA JUGA: Besok, Menaker Buka Forum Regional Atasi Human Trafficking
Hal tersebut disampaikan Benny saat menjadi pembicara dalam acara diskusi publik Komunitas Literasi Nusantara (KLN) dengan tema "Solusi Jangka Panjang Perlindungan dan Penegakkan Hukum Terhadap Korban Human Trafficking di NTT" yang diselenggarakan secara hybrid pada Minggu (25/6) kemarin.
"Data korban diduga karena TPPO Per 23 Juni 2023 ialah 102.329 orang yang dideportasi dari luar negeri. Yang meninggal 2.234 dan yang sakit 3.531. Dari semua itu, 90 persen merupakan korban kekerasan PMI," ucap Benny dikutip Senin (26/6).
BACA JUGA: Kematian TKW di Malaysia Ungkap Kebrutalan Human Trafficking
Dia menuturkan bahwa PMI sebagai penyumbang devisa kedua terbesar setelah sektor Migas, sudah selayaknya mendapatkan perlakuan istimewa dari negara.
Perlindungan hukum dan jaminan keamanan pun, bahkan harus menjangkau kepada keluarga PMI yang tinggal di dalam negeri.
BACA JUGA: Benny: Kalau Semua Bekerja, Human Trafficking Hilang
"Sebagaimana pesan Presiden RI, lindungi PMI dari ujung rambut sampai ujung kaki. BP2MI sudah menyiapkan lounge di berbagai bandara dan menyiapkan sejumlah fasilitas istimewa lainnya agar PMI yang pulang ke Indonesia merasa bahwa dirinya begitu terhormat," kata dia.
Benny menambahkan bahwa pihaknya berkomitmen untuk terus memberantas sindikat penempatan PMI ilegal.
Beberapa waktu lalu BP2MI berhasil mengamankan 161 orang ibu-ibu di Bekasi yang hampir diberangkatkan ke Timur Tengah secara ilegal.
Senada dengan Benny, pengusaha, penulis, dan pemerhati ketenagakerjaan Fransiscus Go menjelaskan bahwa pentingnya peran pemerintah daerah untuk menekan angka kriminal TPPO.
Sebagai putra daerah NTT, Fransiscus Go mengaku prihatin lantaran daerahnya termasuk provinsi yang menjadi salah satu wilayah terbesar penyalur PMI ilegal.
"Yang perlu ditelusuri adalah akar masalah dari TPPO ini apa, misalnya rendahnya pendidikan, melonjaknya angka kemiskinan, dan sulitnya lapangan pekerjaan. Jika negara bisa menjawab ketiga akar masalah itu, tentu menjadi PMI bukan sebagai pilihan utama warga Indonesia,” tutur dia.
Lebih lanjut, Frans menuturkan sejumlah solusi dapat dilakukan untuk memberantas praktek TPPO tersebut.
Memberantas mafia TPPO, kata dia, tidak akan sulit jika ada keinginan kuat dan keseriusan dari petinggi negara serta aparat penegak hukum dan semua stakeholders.
"Perlu meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat, lapangan pekerjaan dibuka seluas mungkin, pengetatan regulasi, menjalin kerjasama dengan swasta dan optimalisasi teknologi informasi," ujarnya
Sementara itu, penggiat media Maria Goreti Ana Kaka menjelaskan media memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi berkaitan dengan TPPO atau penyaluran PMI ilegal yang kerap dilakukan masyarakat pinggiran atau warga dengan pengetahuan rendah.
Maria berujar bahwa pelaku perdagangan manusia kerap memanfaatkan teknologi untuk menyasar para korban, terutama melalui media sosial, sehingga sama penting untuk memerangi mereka menggunakan strategi tersebut.
"Media memiliki peran penting dalam menyoroti isu-isu global seperti perdagangan manusia. Media berfungsi sebagai katalisator bagi pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang efektif untuk memerangi dan mencegah perdagangan manusia," tambah Maria. (mcr4/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BP2MI dan Polres Bandara I Gusti Ngurah Rai Ungkap Kasus TPPO, Rinardi: Bukti Kerja Kolaboratif
Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi