Margareith Ikut Mencubit

Kamis, 11 Juni 2015 – 14:09 WIB
Reza Indragiri Amriel. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - PENEMUAN jasad Angeline di dekat kandang ayam halaman belakang rumah orang tua angkatnya, Margareith, menggemparkan publik.

Hasil penyidikan jajaran Polda Bali, diketahui bahwa bocah 8 tahun itu dibunuh secara sadis oleh pembantu keluarga Margareith, Agustinus. Bahkan, kematiannya terbilang sadis karena mendapat dua kali pelecehan seksual sebelum dihabisi. Hingga kini kepolisian masih mendalami kasus ini.

BACA JUGA: Tak Mau Digoda, Tangkis Semua Intervensi

Mungkinkan Agustinus pelaku tunggal? Berikut hasil wawancara repoter JPNN.com M Fathra Nazrul Islam dengan Reza Indragiri Amriel, master psikologi forensik Indonesia pertama yang mendapat gelar MCrim (Forpsych) dari University of Melbourne, Australia, pada Kamis (11/6).

Bagaimana bisa pelaku tega membunuh bocah cantik itu?

BACA JUGA: Ijazah Palsu Harus Habis Tahun Ini

Kita abai pada sebuah simpulan riset yang sebetulnya sudah sangat solid, bahwa dalam banyak kasus kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan seksual terhadap anak, itu pelaku ternyata bukan orang jauh-jauh. Pelaku adalah orang yang dikenal oleh si anak.

Nah, seringkali kita itu abai, dengan menganggap bahwa orang dekat, orang yang kenal dengan kita adalah orang terpercaya sehingga kita berikan akses atau ruang cukup besar bagi orang-orang semacam ini untuk masuk ke ruang private anak, untuk berinteraksi dengan anak tanpa secara terus menerus  dalam pengawasan kita.

BACA JUGA: Gila kan? Sangat Pesat Surabaya Ini

Dengan kata lain, terjadinya peristiwa semacam ini menunjukan betapa lagi-lagi pengabaian terhadap resiko bahaya itulah yang berkontribusi terhadap kemalangan, tragedi terhadap anak-anak semacam Angeline ini.

Andaikan para orang tua, keluarga tetap waspada terhadap siapapun yang disebut orang dekat, itu mudah-mudahan anak kita mengalami victimisasi dapat dicegah.

Apakah Anda melihat ada indikasi keterlibatan orang tua angkatnya, Margareith?

Saya komunikasi dengan Polda Bali sangat intens, bukan hanya saya tapi SCF (Safe Chilhoods Foundation), yang sudah ada MoU dengan Polri. Dalam penanganan kasus ini kami sudah bertemu Pak Kapolda, Kapolresta dan lain-lain. Informasi kami dapat dari tangan pertama yang diyakini kebenarannya dan bisa kami klarifikasi.

Nah soal dugaan, bahkan keyakinan Margareith ikut mengubur, sampai sejauh ini tidak ada informasi semacam itu (dari penyidik). Bahwa Agustinus menuduh Margareith macam-macam, ikut menyakiti pada momen-momen kritis, itu sempat dikeluarkan si Agus, tapi Ibu Margareith mengingkari. Dan akhirnya pada pemeriksaan berikutnya Agustinus mengakui bahwa dialah yang menghabisi bocah itu dengan memerkosa dua kali sebelum dikubur. Jadi pertanyaan (dugaan Margareith ikut mengubur) tadi itu gugur dengan sendirinya.

Kalau dugaan ada pihak lain lagi, mungkinkah?

Segala kemungkinan itu bisa saja dibuka walau jangan sampai jadi penghakiman. Dugaan itu perlu, polisi juga pelru dugaan. Namun ada baiknya kita pilah-pilah sedikit. Kita ini bicara tentang penyiksaan, atau penyiksaan dan pembunuhan, atau pembunuhan. Kalau pembunuhan sepanjang informasi yang saya dapat sampai saat ini, hanya Agustinus lah yang melakukannya.

Tapi kalau bicara penyiksaan, cubitan misalnya. Apakah cubitan masuk dalam penyiksaan? Kalau cubit termasuk penyiksaan, harus saya katakan Margareith adalah orang yang ikut mencubit. Tapi pemberitaan di media kan tidak sebatas mencubit.

Nah untuk indikasi kekerasan yang brutal sifatnya, saya pakai kata brutal, harus dicari oleh teman-teman kepolisian. Yang dilakukan si Agustinus itu berdasarkan hasil pemeriksaan Agus sendiri dan jenazah ANG, memang terjadi cedera berat pada otak tapi tidak keluar darah, walau memang terjadi pendarahan dahsyat (di dalam).

Soal memar sekujur tubuh?

Nah itu juga harus diwaspadai memar di sekujur tubuh, dalam bentuk apa, jangan kita bayanghkan biru lebam dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hasil pemeriksaan jasad, ada bekas sundut (rokok). Sebagai misal Agustinus mengatakan dia menyundut bagian belakang korban dua kali, tapi hasil pemeriksaan forensik hanya satu ditemukan. Satu hal yang masuk akal karena keadaan jasad korban sudah agak-agak busuk (hancur), karena dia kan tergenang dalam air.

Jadi kita gunakan kata lebam sekujur tubuh jangan kita berfikir azab badan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak sedramatis itu, walau harus dicatat saat saya mengatakan ini bukan berarti saya tidak menaruh iba, saya sepakat cubitan pun semestinya tidak dilakukan terhadapn anak.

Dari komunikasi dengan polisi, ada kesulitan tidak polisi dalam mengungkap kasus ini? Terutama pelakunya?

SCF adalah lembaga yang dipercaya oleh keluarga, tapi bukan berarti SCF berusaha mati-matian membela keluarga. Ini tidak ada urusan dengan membela. Saya sampaikan pada Pak Kapolda, bapak saat ini keluarga tidak percaya dengan siapapun termasuk teman-teman polisi. Ini berarti, kalau mereka tutup mulut bagaimana mungkin proses pemeriksaan bisa berlangsung sesuai harapan. Jadi kami kasih lah penyidik bagaimana cara berkomunikasi dengan keluarga (fasilitasi).

Dengan posisi SCF yang dekat dengan keluarga, saya harus akui bahwa dulu sempat keluarga korban memilih untuk menutup diri pada siapapun. Kenapa? Karena mereka takut setengah mati, karena di masyarakat sudah berkembangan dugaan yang berubah jadi penghakiman yang tertuju pada satu nama, yaitu Margereith, Margareith, Margareith.

Intinya ada satu keluarga yang kehilanagan, mereka merasa ada penghakiman publik dan tidak puas dengan kinerja kawan-kawan kepolisian yang mereka rasakan lambat atau tidak serius. Nah, konsekuensi untuk bersikap tertutup membuat langkah kerja polisi terhambat, tapi setelah SCF bantu komunikasi dengan keluarga, Kapolda malah apresiasi, komunikasi lebih lancar termasuk akses masuk lagi ke dalam rumah.

Ini kan pemeriksaan atau penggeledahan yang kedua. Sebelumnya sudah dilakukan tapi tidak ditemukan. Tapi ada orang yang mulut besar menuduh ini loh pelakunya. Itu yang membuat keluarga tertutup.

Sanksi hukum, banyak dorongan supaya pelaku dihukum mati?

Saya orang yang setuju 100 persen, untuk kejahatan tertentu hukuman berat ditegakkan, termasuk penganiyaan ekstrim, brutal, apalagi menyebabkan anak meninggal dunia. Pelakunya layak dihukum mati.

Korban kan anak adopsi ya?

Iya betul

Apa perbedaan sistem adopsi di Indonesia dengan negara lain? Apa ada kelemahan sistem?

Kalau dari sisi administrasi kurang lebih sama. Cuma kalau di Barat prosesnya sangat rumit, ada assesment terlebih dulu, tidak serta merta orang tua yang ingin anaknya diadopsi bisa langsung begitu saja, tidak bisa. Harus dicari tahu alasannya kenapa orang tua ini mau anaknya diadopsi. Karena ada kondisi-kondisi khusus sehingga anak ini tidak pantas diadopsi, harus tetap bersama orangtua biologis.

Kemudian ada assesment terhadap orang tua yang akan mengadopsi. Apakah sungguh-sungguh sanggup mengadopsi. Pemeriksaan komprehensif itu yang berujung pada adopsi bisa dilakukan atau tidak. Kompleksitas prosedur macam itu saya pikir di Indonesia saya kira belum ada. Ada anak yatim pungut, jadikan anak, selesai. Seolah-olah begitu (di Indonesia).

Artinya negara abai juga?

Ya, saya harus katakan begitu.

Bukannya harus ada kontrol, monitoring dari negara terhadap anak yang diadopsi, atau kepada keluarga?

Untuk masa rentan iya. Untuk masa transisi selama proses berjalan harus ada monitoring. Jangankan adopsi, pengawasan dan monitorong dalam konteks perpindahan hak asuh dari suami ke istri dalam konteks perceraian pun sesungguhnya monitoring dilakukan, tapi lagi-lagi monitoring kan tidak ada yang melakukan.

Lalu bagaimana seharusnya pemerintah, karena pengawasan terhadap anak adopsi bisa jadi celah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak?

Saya cukup intens komunikasi dengan teman-teman KPAI, dengan segala hormat mereka orang pintar, punya kekuasaan. Tapi bicara tentang pengasuhan anak, maksud  saya adalah sistem, prosedur, pola pengasuhan dan seterusnya, barangklali saya lebih banyak berbagi perspektif lah dengan mereka.

Yang ingin saya katakan, piranti hukum kita ketika berkaitan dengan adopsi, hak asuh, itu bisa saya katakan masih sangat-sangat minimal. Efeknya banyak laporan, pengaduan anak korban orangtuanya bercerai tidak bisa bertemu salah satu orang tuanya karena ego salah satu pihak. Kenapa itu terjadi, itu menunjukan lembaga terkait, pengadilan, ketika memberikan hak asuh pada pihak tertentu dengan pertimbangan bahwa itu terkait kepentingan anak, faktanya justru membuat anak masuk dalam situasi yang semakin buruk, kan tragis jadinya.

Anda setuju lemahnya sistem adopsi dan pengawasnnya jadi celah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak?

Ya mungkin tepatnya, kurang memadainya perhatian dari berbagai piranti kebijakan terkait adopsi dan kuasa asuh terhadap anak, itu membuat anak masuk dalam situasi yang sesunguhnya semakin beresiko. Maka amanat UU Perlindungan Anak, yaitu terpenuhinya kepentingan terbaik anak, itu macam jauh panggang dari api.

Artinya dalam hal ini pemerintah harus hadir?

Ya, jelas. Melalui piranti hukum tadi.***
    

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jika Islah, Harus Didaftarkan ke Kemenkumham


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler